Oleh. Eduardus F. L
Para pembaca Kompasiana yang Budiman, mungkin diantara kita saat ini sedang bersiap-siap untuk mudik. Atau barangkali juga, saat ini sudah berada di kampung halamannya masing-masing untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga. Penulis mengucapkan semoga kita bisa bertemu sanak saudara dalam keadaan sehat dan bahagia.
Persis dua tahun, di masa pandemi covid 19, pemerintah melarang masyarakat untuk mudik. Hal ini dilakukan lantaran masih tingginya potensi penyebaran virus tersebut. Namun, kebijakan tersebut tidak berlaku untuk lebaran kali ini.Â
Tentu kita merasa senang dengan kebijakan pemerintah tersebut. Bahkan pemerintah tidak lagi melarang kegiatan keagamaan secara massal. Akan tetapi, sebagai masyarakat kita perlu menyadari pentingnya menjaga kesehatan dengan tetap menaati protokol kesehatan.Â
Mudik adalah perjalan Iman
Disadari atau tidak, mudik memiliki relevansi dengan hari raya besar agama tertentu. Setiap orang akan melakukan mudik ketika menyambut hari raya agama. Tentu hal itu bukan hanya dilakukan oleh saudara kita kaum muslim, namun juga saudara-saudara kita yang non mulim. Misalnya, mudik saat merayakan hari raya Natal oleh saudara-saudara kita umat Nasrani.
Walupun secara prinsip mudik bukan bagian inti dari ritual keagamaan, namun selaras dengan refleksi iman umat yang sedang melakukan mudik. Bagi sekelompok orang mudik bukan hanya bagian dari tradisi semata. Mudik merupakan perjalanan iman dalam kehidupan sosial dan budaya.
Tujuan mudik tidak hanya sekedar berlibur atau rehat dari hiruk-pikuk aktivitas keseharian. Setidaknya ada beberapa makna mudik sebagai perjalan iman. Perjalanan iman yang mestinya disadari oleh setiap masyarakat Indonesia.
Pertama, mudik mengingatkan eksistensi manusia sebagai alfa dan omega. Sebab, hidup selalu memulai dari Alfa dan berakhir pada Omega. Mudik merefleksikan kembali dari mana kita berasal dan kemana kita akan berakhir.
Berkunjung ke rumah orang tua (ayah dan ibu) saat mudik merupakan cara mengobati kerinduan kita terhadap orang yang mencintai dan tulus membesarkan kita. Seakan kita menyadari pula bahwa kita tidak bisa lepas dari semua rasa cinta yang pernah kita alami sebagai Alfa atas hidup kita. Termasuk kembali pada dia yang memiliki alfa dan omega yaitu Tuhan Yang Maha Esa.