Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Algoritma Media Sosial di Era Post Truth

16 Januari 2022   07:14 Diperbarui: 16 Januari 2022   07:23 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi alogaritma media sosial (sumber: viva.co.id)

Oleh. Eduardus Fromotius Lebe

(Penulis, Konsultan Skripsi, Dosen)

Para pembaca Kompasiana yang budiman, adakah diantara kita yang tidak menggunakan media sosial? Penulis meyakini bahwa semua  menggunakan media sosial. Sekali pun masing-masing kita memiliki tujuan yang berbeda dalam bermedia sosial.

Interaksi di media sosial dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Tujuannya tidak hanya sekedar bersosialisasi, namun juga bertujuan untuk berbisnis, berkampanye, beriklan dan lain sebagainya. Orang-orang yang berinteraksi dalam media sosial tidak hanya terbatas pada status sosial, gender atau pun usia tertentu. 

Hampir semua kalangan memiliki akun media sosial. Bahkan, demi kepentingan tertentu seseorang bisa memiliki dua atau tiga akun media sosial tertentu. Ada juga satu orang memiliki semua akun media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan lain sebagainya.

Pada prinsipnya media sosial dibuat untuk tujuan yang mulia. Memudahkan manusia untuk berkomunikasi dan beriteraksi satu dengan yang lain. Pada awalnya berjalan normal sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh para pendiri media sosial. Namun, tanpa sadar ternyata media sosial juga berpengaruh negatif terhadap kehidupan manusia.

Baca juga : "Media Sosial, Ancaman, dan "Self Regulation"

Beberapa laporan menunjukkan bahwa penduduk Indonesia mengalami peningkatan dalam menggunakan media sosial. Salah satunya adalah laporan agensi marketing We Are Social dan platform manajemen media sosial Hootsuite. Secara umum menyimpulkan bahwa lebih dari separuh penduduk di Indonesia telah "melek" alias aktif menggunakan media sosial pada Januari 2021.

Dalam laporan berjudul Digital 2021: The Latest Insights Into The State of Digital itu, disebutkan bahwa dari total 274,9 juta penduduk di Indonesia, 170 juta di antaranya telah menggunakan media sosial. Dengan demikian, angka penetrasinya sekitar 61,8 persen.

Angka pengguna aktif media sosial di Indonesia tersebut tumbuh sebesar 10 juta atau sekitar 6,3 persen dibandingkan bulan Januari 2020. Dalam periode yang sama, pengguna internet di Indonesia tumbuh 27 juta atau 15,5 persen menjadi 202,6 juta. 

Ilustrasi sekelompok Pemuda sedang bermain media sosial (sumber: idmtimes.com)
Ilustrasi sekelompok Pemuda sedang bermain media sosial (sumber: idmtimes.com)

Bagi penulis, data mengenai kenaikan penggunaan media sosial tersebut sangatlah wajar. Hal ini sangat dipengaruh oleh kebijakan PKM akibat pandemi covid 19. Selama masa pandemi covid 19 aktivitas masyarakat dibatasi dan harus berada di rumah. Oleh karena itu, untuk menghindari kejenuhan sebagian orang bermain media.

Selain game online, bermain media sosial juga sebagai alternatif untuk menghilangkan kejenuhan. Sejauh ini pendaftaran akun media sosial memang tidak sesulit yang dibayangkan. Bermodalkan nomor handphone dan email, akun media sosial seperti facebook dapat dengan mudah dibuat.

Berdasarkan hasil survei dari lembaga yang sama, menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia menggunakan platform media sosial YouTube. Disusul platform media sosial WhatsApp dan selanjutnya platform media sosial Instagram dan Facebook.

Berikut ini besar persentase pengguna dari masing-masing platform media sosial:

  • Pengguna Youtube di Indonesia sebanyak 93,8% dari jumlah populasi.

  • Pengguna Whatsapp di Indonesia sebanyak 87,7% dari jumlah populasi.

  • Pengguna Instagram di Indonesia sebanyak 86,6% dari jumlah populasi.

  • Pengguna Facebook di Indonesia sebanyak 85,5% dari jumlah populasi.

Merujuk dari data tersebut, tidaklah berlebihan bila pola interaksi sosial masyarakat sangat dipengaruhi oleh media sosial. Menarik, bahwa pola interaksi di media sosial juga dipengaruhi oleh alogaritma yang digunakan oleh suatu platform media sosial.

Sekilas tentang Algoritma Media Sosial

Kita sering mendengar istilah alogaritma media sosial. Pro kontra mengenai alogaritma media sosial pun tidak bisa terhindarkan. Sebab, sebagian kalangan menilai penggunaan algoritma pada platform media sosial tertentu bisa berdampak negatif.

Maria Alessandra Golino dari Universiteit Maastricht di Belanda mengatakan, algoritma di platform media sosial merupakan cara teknis untuk memilah-milah unggahan berdasarkan beberapa kriteria, sehingga pengguna akan disuguhi posting-posting yang membuat mereka ingin terus mengikuti muatan spesifik seperti itu.

Alogaritma media sosial adalah "ilmu hipnotis" yang ada media sosial. Para pengguna media sosial diarahkan untuk mengikuti pola tertentu. Pola tersebut diadaptasi berdasarkan kecenderungan dan keinginan dari para pengguna media sosial.

Setiap platform media sosial memiliki pola logaritma yang berbeda-beda. Perlu dicatat bahwa pola tersebut tidak memiliki satuan yang baku. Semua sangat bergantung pada pendekatan yang dilakukan oleh platform media sosial tertentu. 

Berikut ini cara kerja algoritma media sosial bekerja dari masing-masing pada platform yang dikutip dari Digital Marketing Akademy

1. Algoritma Facebook

Facebook ingin mengintensifkan keterlibatan audiens (para pemgguna). Umpan dirancang untuk mencerminkan postingan yang merangsang emosi, bukan promosi. Para pengguna diarahkan untuk melihat posting dari keluarga dan sahabat terlebih dahulu. Baru kemudian postingan berita, bisnis dan lain sebagainnya.

Rupanya pendekatan yang dilakukan oleh Facebook menekankan pada emosional personal. Iklan berbayar berharap dapat menutupi kekurangan visibilitas ini. Tetapi postingan ini juga bergantung pada keterlibatan dan respons pengguna. Facebook juga telah menindak spam dan konten promosi yang terang-terangan.

2. Algoritma Instagram

Algoritma Instagram 2021 jauh lebih kompleks dan holistik. Ini tidak hanya mempertimbangkan keterlibatan, relevansi, dan ketepatan waktu, tetapi juga perilaku dan preferensi pengguna secara keseluruhan. Semakin banyak suatu foto yang mendapatkan like atau  komentar maka semakin sering foto tersebut muncul.

Di bagian pengikut di Instagram, jika perhatikan bahwa akan menunjukkan kepada kita, akun yang paling jarang berinteraksi dan paling banyak ditampilkan di umpan. Data ini diambil dari komentar, suka, bagikan, dan simpan kita di pos akun tertentu. Algoritma Instagram selanjutnya menggunakan informasi ini untuk memahami suka dan tidak suka pengguna untuk mempromosikan posting akun itu ke peringkat yang lebih tinggi di umpan pengguna dan menyarankan akun serupa di bagian 'jelajahi'.

3. Algoritma Twitter

Algoritme Twitter memungkinkan relevansi dan waktu penerbitan sebagai parameter peringkat. Pengguna yang ingin melihat posting terbaru dapat mengubah pengaturan preferensi konten mereka. Jika ini tidak dipilih, Twitter akan memberi peringkat pada postingan seperti Facebook dan Instagram.

4. Algoritma LinkedIn

LinkedIn adalah platform unik yang lebih berfokus pada jaringan daripada menumbuhkan pengikut. Ini telah membantu para profesional menemukan pekerjaan yang tepat dan membantu perusahaan membangun reputasi merek.

Algoritma ini juga berfokus pada keterlibatan dan membangun koneksi. Pengguna LinkedIn bahkan dapat melihat postingan dari orang-orang yang belum terhubung dengan mereka di feed mereka jika seseorang dalam daftar mereka menyukai postingan tersebut.

5. Algoritma YouTube

YouTube adalah platform khusus video, dan karenanya, algoritmenya bekerja secara berbeda. Itu ingin pengguna menemukan, dengan cepat dan terus-menerus, video yang mereka minati untuk ditonton untuk terlibat dengan mereka dalam jangka panjang. Platform ini adalah mesin pencari dan, oleh karena itu, memberi peringkat konten berdasarkan relevansi dan minat pemirsa.

Para pembaca Kompasiana yang Budiman, perlu dipahami bahwa pola alogaritma yang digunakan oleh sebagian platform media sosial mengikuti kecenderungan dari para pengguna. Walaupun tentu tidak memiliki standar baku dari setiap platform media sosial tersebut. Sebagai misal, apabila seorang pengguna media sosial menyukai berita tentang hiburan, maka pengguna tersebut hanya akan mendapatkan segala macam berita yang bertema hiburan. Begitupun dengan pengguna lainnya yang menyukai suatu hal masing-masing.

Sadar ataupun tidak para pengguna  merasa bahwa media sosial yang paling mengerti dirinya dibandingkan dengan orang lain. Namun, hal ini memiliki kerugian karena media sosial memiliki segala informasi setiap penggunanya tanpa terkecuali bahkan sampai mengetahui hal yang sangat pribadi sekalipun. Problem semacam ini terus meningkat di era post truth.

Sekilas tentang era post truth

Istilah post truth digunakan pertama kali tahun 1992 oleh Steve Tesich. Dalam tulisannya The Government of Lies dalam majalah The Nation, menulis, “Kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan kita ingin hidup di dunia post truth.” selain itu, Tesich mengungkapkan pandangannya mengenai serangkaian skandal pemerintahan Amerika Serikat yang pada akhirnya mendorong rakyat Amerika untuk memilih "berlindung" dari kebenaran.

Tahun 2004, Ralph Keyes dan komedian Stephen Colber dalam tulisan The Post Truth Era, menulis hal yang kurang lebih sama: truthiness. Hal itu mengacu kepada sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali.

Istilah post truth bahkan menjadi word of the year di kamus Oxford pada tahun 2016. Puncaknya pada peristiwa yang menjadi momentum saat itu adalah keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat . Maka dari itu, Oxford sendiri mendefinisikan post truth sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal.

Pada era post truth, kebenaran tidak lagi disepakati dan diterima secara umum karena masyarakat seringkali lebih memilih mengabaikan fakta-fakta obyektif. Dengan kata lain, setiap orang memiliki versi kebenaran masing-masing dalam memandang sesuatu, yang dipengaruhi oleh aspek emosional dan keyakinan pribadi. Ini tentu berbahaya bagi kehidupan sosial.

Alogaritma media sosial di era post truth

Sadar atau tidak, gelombang alogaritma media sosial menguat di era post truth seperti saat ini. Platform media sosial tentang memahami perilaku masyarakat di era post truth. Oleh karena itu, penggunaan algoritma media sosial menjadi sangat penting untuk menarik para pengguna media sosial.

Mengarahkan para pengguna media sosial berdasarkan kecenderungan pada perasaan suka atau tidak suka adalah hal yang paling mudah. Sangat mudah bagi platform media sosial men-tracking keinginan dari para penggunanya. Salah satunya adalah menggunakan filter Bubble.

Filter bubble adalah algoritma yang dibuat oleh media sosial, di mana kita disuguhkan informasi “sesuai dengan yang kita suka aja”. Aktivitas pengguna di media sosial direkam yang kemudian dilihat berdasarkan tingkat kecenderungan. Kecenderungan inilah yang coba dimanfaatkan oleh platform media sosial melalui sistem alogaritma.

Sebagai contoh di platform media sosial YouTube dengan pola alogaritma ah yang menekan pada minat pengguna. Bagi para pengguna yang suka menonton sepak bola, pada laman YouTube akan selalu ditampilkan video-video tentang sepak bola. Hal demikian terjadi karena kecenderungan dari para pengguna yang mencari video sepak sepak bola. Inilah yang coba dimanfaatkan oleh platform media sosial YouTube melalui sistem alogaritma.

Lain hal dengan platform media sosial Instagram. Jika kita sering love postingan mobil atau motor di instagram. Di explore kita akan banyak konten-konten bermuatan otomotif. Kalau kita sering love konten penyanyi/band favorit, maka explore kita penuh dengan band atau penyanyi serupa.

Sepintas hal ini tidak ada masalah, namun perlahan telah menghipnotis pengguna media sosial. Selain menghipnotis juga menguatkan apa yang tidak disukainya. Inilah problem utama alogaritma media sosial di era post truth.

Dampak yang paling dirasakan adalah ketika memasuki tahun politik. Seseorang yang tidak suka dengan calon tertentu akan dengan mudah menemukan konten-konten yang cendrung menjelek-jelek calon tersebut. Termasuk isi konten yang bermuatan hoax

Politik identitas akan semakin menguat manakala informasi yang diperoleh tidak berimbang. Kecenderungan ini diperparah oleh pola alogaritma yang mengakomodasi sentimen emosional. Untuk itu kita mengharapkan para pengguna media sosial lebih bijaksana. Sekian!

Sumber Bacaan:

1. Riset Ungkap Lebih dari Separuh Penduduk Indonesia "Melek" Media Sosial


2. Hootsuite (We are Social): Indonesian Digital Report 2021

3. Algoritma di Media Sosial

4. Algoritma Sosial Media 2021 yang Perlu Diketahui

5. Media Sosial Miliki Algoritma Tersendiri untuk Para Pengguna, Alasannya?

6. Melihat Kembali Sejarah Kemunculan Istilah Post-truth

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun