Dari ketiga kelompok tersebut, penulis mengidentifikasi bahwa kelompok pertama adalah partai politik yang hari ini memiliki kursi mayoritas di parlemen seperti PDIP. Kelompok kedua adalah partai politik yang memiliki kursi minoritas di parlemen seperti PKS. Sedangkan kelompok ketiga adalah partai politik dan atau kumpulan individu atau perseorangan tidak memiliki kekuatan politik namun berambisi ingin mencalonkan diri pada Pilpres 2024.
Masing-masing kelompok memiliki alasan yuridis yang berbeda-beda. Penulis tidak ingin masuk pada ranah yuridis. Sebab berulang kali judicial review mengenai batas ambang syarat pencalonan presiden ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).Â
Fokus penulis adalah ingin menguraikan sekaligus mempersoalkan argumentasi bahwa semakin banyak calon, semakin banyak alternatif pilihan, maka kualitas demokrasi akan semakin baik.
Hal ini penulis uraikan menjawab berbagai argumentasi dari kelompok yang menginginkan presidential threshold 0%. Ada kekeliruan konstruksi berpikir bahwa adanya presidential threshold telah merusak demokrasi.Â
Seolah-olah jika presidential threshold tidak berlaku atau 0%, maka pilpres di Indonesia akan menghasilkan para pemimpin yang berkualitas. Atau dalam bahasa penulis presidential threshold 0% bukan solusi krisis kepemimpinan di Indonesia.
Berikut ini beberapa argumentasi yang penulis uraikan untuk mendukung konstruksi berpikir yang tetap berpendirian bahwa presidential threshold harus tetap ada.
1. Presidential threshold menguatkan fungsi partai politik sebagai infrastruktur politik
Infrastruktur politik adalah adalah kelompok kekuatan politik dalam masyarakat yang turut berpartisipasi secara aktif. Kelompok tersebut dapat berperan menjadi pelaku politik tidak formal untuk turut serta dalam membentuk kebijaksanaan negara.Â
Jelas bahwa sebagai infrastruktur politik, partai politik harus menyiapkan kader terbaiknya untuk menjadi pelaku politik termasuk memimpin negara maupun daerah.
Dalam sistem presidensial harusnya ada keseimbangan antara pemimpin (presiden) dan partai politik. Pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kualitas yang mumpuni lahir dari kaderisasi yang optimal oleh partai politik. Oleh karena, itu partai politik dituntut untuk bekerja secara maksimal dalam hal pengkaderan.
Presiden dan partai politik terikat dalam satu historis perjuangan. Sebelum menjadi presiden, seseorang yang adalah kader partai bersama-sama dengan kader yang lain membangun partai. Jika bekerja secara baik maka insentifnya adalah mendapatkan mandat dari rakyat melalui pemilihan umum (pemilu).
Ini bukan soal menghilangkan hak seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai capres akibat adanya presidential threshold 20%. Seseorang yang ingin mencalonkan diri menjadi presiden harus sadar diri bahwa hanya melalui partai politik ia bisa dicalonkan. Tentu partai politik yang mendapatkan mandat dari rakyat. Bukan partai politik musiman, yang muncul ketika akan dilaksanakan pemilu setelah itu hilang entah kemana.