Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Membaca Arah Politik Pragmatis Partai Nasdem

3 Desember 2021   20:23 Diperbarui: 6 Desember 2021   07:15 2305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Momen kedekatan Anies Baswedan dengan Ketua umum partai NasDem Surya Paloh (foto: ANTARA FOTO/Fauzi Lamboka/wpa/wsj via tirto.id)

Partai Nasional Demokrat atau lebih dikenal NasDem merupakan salah partai politik di Indonesia yang diresmikan di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara pada tanggal 26 Juli 2011. 

Partai ini didukung oleh Surya Paloh yang merupakan pendiri organisasi bernama sama yaitu Nasional Demokrat. Partai besutan Surya Paloh ini, secara praktis telah mengikuti dua kali pemilu pada skala Nasional yaitu tahun 2014 dan tahun 2019.

Partai NasDem pertama kali mengikuti pemilu di tahun 2014 dan langsung lolos parliamentary threshold. Perolehan suara Partai NasDem pada  Pileg 2014  adalah  8.402.812 (6,72 %). Kala itu, partai NasDem meloloskan 35 kadernya menuju kursi Senayan.

Pada pemilu 2019, suara Partai NasDem  mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Kala itu partai yang mengusung tema restorasi ini mendukung Joko Widodo sebagai calon presiden. 

Alhasil, suara partai NasDem naik menjadi 12.661.792 atau 9,05 persen suara. Perolehan ini mampu menaikan posisi Nasdem yang semula berada pada urutan 7 menjadi 5 besar.

Peningkatan suara partai NasDem ini merupakan hasil dari politik pragmatis yang merekrut sejumlah tokoh berpengaruh di daerah untuk maju menjadi calon legislatif pada pileg 2019.

Mantan Bupati, mantan gubernur, istri gubernur, diajak masuk ke dalam partai NasDem dan langsung memberikan tiket untuk bertarung menuju kursi Senayan. 

Nama besar beberapa tokoh tersebutlah yang sekiranya paling berpengaruh dalam meningkatkan suara partai NasDem di pileg 2019. 

Walaupun perlu diakui pula, sebagai partai pendukung Joko Widodo kala itu, tentu juga mendapat efek ekor jas dari pilpres. Itu tidak sebesar PDI-P, namun partai NasDem tentu mendapatkan efek elektoral dari seorang yang bernama Joko Widodo.

Jargoan "politik tanpa mahar" oleh partai NasDem pada pemilu 2019 juga telah menarik simpati publik. Dengan politik tanpa mahar ala partai NasDem ini juga melirik banyak tokoh-tokoh daerah yang cukup potensial dan berpengaruh bergabung bersama partai NasDem. 

Oleh karena itu, mencalonkan para tokoh tersebut partai NasDem diuntungkan secara elektoral.

Slogan politik tanpa mahar oleh partai NasDem (sumber: fraksinasdem.org)
Slogan politik tanpa mahar oleh partai NasDem (sumber: fraksinasdem.org)

Pada pileg 2019, partai NasDem mengusung banyak eks kepala daerah. Beberapa caleg yang diusung NasDem kala itu adalah mantan Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi, mantan Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak, mantan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, dan mantan Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh. 

Selain kepala daerah, ada 16 artis dan atlet ikut dicalonkan oleh partai NasDem. Mereka Syahrul Gunawan, Nurul Komar, Olla Ramlan, Farhan, Wanda Hamidah, Firly Putra dan Eddies Adelia. Ada pula artis Nafa Urbach, Tessa Kaunang, Manohara Pinot, Kristina, Jonathan Frizzy, dan eks petinju Chris John.

Cara kerja politik pragmatis ala partai NasDem tersebut ternyata cukup efektif untuk pemilu 2019 kali lalu. Mengamankan 9,05 persen suara sebagai modal untuk mengusung calon presiden di pilpres 2024. 

NasDem memang cukup percaya diri untuk mengusung calon presiden di pilpres 2024 walaupun sejauh ini belum ada kader potensial yang berpotensi untuk maju.

Lalu, siapa sosok capres yang paling ingin didukung partai NasDem?

Bicara siapa yang layak didukung partai NasDem memang masih sangat abu-abu. Sejauh ini partai NasDem masih melakukan penjajakan ke berbagai tokoh potensial. Tentu rujukannya adalah elektabilitas setiap figur berdasarkan hasil survei dari berbagai lembaga yang kredibel.

Sederhana saja membaca manuver yang dimainkan oleh partai NasDem. Beberapa hal yang sekiranya menjadi pertimbangan partai NasDem dalam memilih figur untuk bertarung di pilpres 2024.

1. Figur non partai

Partai NasDem dibeberapa kesempatan memberikan signal bahwa tidak akan berkoalisi dengan partai yang sudah memiliki capres sendiri untuk pilpres 2024. 

NasDem menginginkan adanya koalisi yang terbuka dan bebas. Artinya, penentuan calon tersebut tidak bisa tertutup satu jalan oleh karena partai yang akan berkoalisi sudah menutup ruang untuk alternatif calon lain. 

Maka yang paling realistis bagi Partai NasDem adalah memilih figur non partai. Figur tersebut bisa dari kalangan profesional, bupati maupun gubernur. Tujuannya sederhana bisa membawa nama partai NasDem ketika figur tersebut maju sebagai calon presiden.

Bacaan cukup jelas mengarah pada figur Anies Baswedan. Partai NasDem sejauh ini cukup dekat dengan Gubernur DKI Jakarta. Kedekatan ini dibaca sebagai signal kuat partai NasDem mendukung Anies Baswedan di pilpres 2024.

Momen kedekatan Anies Baswedan dengan Ketua umum partai NasDem Surya Paloh (foto: ANTARA FOTO/Fauzi Lamboka/wpa/wsj via tirto.id)
Momen kedekatan Anies Baswedan dengan Ketua umum partai NasDem Surya Paloh (foto: ANTARA FOTO/Fauzi Lamboka/wpa/wsj via tirto.id)

Bagi NasDem, Anies Baswedan adalah sosok yang mampu membawa nama partai. Hal ini mengingat Anies Baswedan sampai saat ini belum menjadi anggota partai apa pun. Dengan demikian, mudah bagi NasDem untuk mengajak Anies Baswedan bergabung satu gerbong menuju perhelatan pilpres 2024.

Selain Anies Baswedan, nama lain yang juga berpotensi didukung partai NasDem adalah Ridwan Kamil. Gubernur Jawa Barat ini memang secara terang-terangan menyatakan diri untuk maju di pilpres 2024. Cuman satu kendala, Ridwan Kamil tidak memiliki kendaraan politik untuk maju di pilpres 2024.

Momen Ridwan Kamil bersama Ketua umum partai NasDem Surya Paloh (sumber: m.merdeka.com)
Momen Ridwan Kamil bersama Ketua umum partai NasDem Surya Paloh (sumber: m.merdeka.com)

Kesempatan ini tentu dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh partai NasDem. Baik Ridwan Kamil maupun NasDem memiliki kebutuhan yang sama yaitu sama-sama saling membutuhkan (simbiosis mutualisme politik). 

Akan tetapi, sejauh ini elektabilitas Ridwan Kamil belum semoncer rival-rival lainnya seperti Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. 

Ganjar Pranowo bisa saja masuk radar partai Nasdem bila tidak didukung oleh PDI-P. Akan tetapi sampai sejauh ini PDI-P belum menentukan figur yang tepat untuk diusung pada pilpres 2024. 

Memang tidak salah, sebab pilpres masih jauh dan tentu sangatlah tidak etis bila partai pendukung pemerintah saat ini sibuk memikirkan pilpres. Sedangkan negara Indonesia masih mengalami tantangan yang luar biasa yaitu pandemi covid-19.

2. Pertimbangan efek ekor jas

Partai NasDem tentu saja realitas terhadap dinamika perpolitikan di internal partai. Tanpa ada kader yang memiliki elektabilitas mumpuni maka langkah yang terbaik adalah mendukung calon diluar kader partai. Tentu figur yang dapat mempengaruhi suara partai (efek ekor jas).

NasDem termasuk partai yang bisa dengan mudah beradaptasi dengan beberapa tokoh. Termasuk beberapa tokoh yang dianggap berhaluan kanan yang selama ini dikesankan berbeda dengan pemerintah Joko Widodo. Berbeda dengan PDI-P yang secara terbuka "mengunci pintu koalisi" terhadap tokoh dan beberapa partai politik. 

NasDem memiliki kepentingan untuk tetap mempertahankan sebagai salah partai yang lolos parliamentary threshold pada pileg 2024.

Hasil survei SMRC menunjukan bahwa partai NasDem berada pada Klaster 4, partai yang kurang stabil untuk lolos ambang batas parlemen bersama PAN, dan PPP. Walaupun pemilu masih lama, namun ini menjadi acuan utama bagi NasDem dalam menentukan strategi politik kedepannya. 

Beberapa petinggi partai NasDem berpendapat bahwa pemilih lebih melihat figur dari pada partai dalam menentukan pilihan. 

Sejalan dengan itu, tentu partai NasDem akan menerapkan strategi yang sama untuk untuk pileg dan pilpres 2024. Sama-sama mengandalkan figur potensial untuk menggaet suara.

NasDem menginginkan figur non partai sehingga memudahkan mereka dalam mengkapitalisasi figur tersebut menjadi keuntungan elektoral. 

Dan figur tersebut adalah Anies Baswedan, yang belakangan santer terdengar bakal didukung oleh partai NasDem. Soal menang atau kalah itu tidaklah penting, yang penting adalah mempertahankan eksistensi partai.

Eksistensi partai NasDem harus tetap ada sembari menunggu kematangan dari kader potensial untuk maju sebagai calon orang nomor 1 di republik ini. 

Surya Paloh tentu telah mempersiapkan putra mahkotanya Prananda Surya Paloh untuk meneruskan estafet kepemimpinannya baik di partai ataupun menjadi calon presiden di masa yang akan datang. Tentu bukan 2024, tapi kelak.

Prananda Surya Paloh, Ketua Koordinasi Bidang Pemenangan Pemilu partai NasDem (sumber: tribunnews.com)
Prananda Surya Paloh, Ketua Koordinasi Bidang Pemenangan Pemilu partai NasDem (sumber: tribunnews.com)

Saat ini Prananda Surya Paloh adalah anggota DPR RI dari partai NasDem. Di partai Nasdem sendiri, Prananda Surya Paloh didapuk sebagai Ketua Koordinasi Bidang Pemenangan Pemilu. Jabatan strategi dan juga menjadi asa untuk melatih dan menggempleng kualitas seorang Prananda Surya Paloh. 

Partai NasDem lebih mempertahankan eksistensi partai ketimbang harus all out memenangkan figur yang akan didukungnya di pilpres 2024. Apalagi harus bekerja sama dengan kelompok yang bisa saja menggerus suara partai. 

Hal itu dilakukan hanya sekedar untuk mempertahankan suara partai. Sekalipun Anies Baswedan yang akan dicalonkan, partai NasDem akan berusaha keluar dari citra partai yang didukung oleh kelompok kanan.

Namun, jika itu dipaksakan maka partai NasDem akan kehilangan suara di daerah yang secara umum memiliki sentimen negatif terhadap kelompok kanan ini. 

Di NTT misalnya, jika NasDem mendukung Anies Baswedan dan strategi yang digunakan sama dengan pilkada DKI Jakarta tahun 2017, tentunya partai NasDem akan kehilangan suara seperti yang dialami oleh partai Gerindra. 

Saat ini partai NasDem memiliki 3 kursi di Senayan yang mewakili provinsi NTT. Selain itu, partai NasDem adalah partai pemenang pileg 2019 di provinsi NTT. Jika salah menerapkan strategi, maka bukan tidak mungkin akan kehilangan tiga kursi dari dapil NTT 1 dan NTT 2. Sekian!

Oleh. Eduardus Fromotius Lebe
(Penulis, Konsultan Skripsi dan Dosen)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun