Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mengapa Takut dengan Buzzer?

9 November 2021   13:57 Diperbarui: 21 Desember 2021   15:12 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Buzzer di media sosial (sumber: news.detik.com)

Oleh. Eduardus Fromotius Lebe

Akhir-akhir ini banyak orang dikaitkan atau dituduh sebagai buzzer. Seperti, buzzer politik, buzzer pemerintah, buzzer bayaran dan lain sebagainya. Begitu kira-kira tuduhan kepada penggiat media sosial yang berbeda pemikiran dengan mereka.

Mereka menganggap buzzer adalah hama demokrasi. Karena membungkam suara kaum kritis. Padahal kalau diperhatikan secara saksama bukan demikian adanya. Alasannya sederhana, karena buzzer jauh lebih cerdas dari pada mereka yang melabeli diri sebagai orang-orang kritis.

Menurut Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), buzzer adalah individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan, lalu bergerak dengan motif tertentu. Itu berarti semua penggiat sosial yang memiliki kemampuan memberikan pesan sehingga mampu menggerakkan orang lain adalah buzzer. Penulis juga bisa saja disebut buzzer di Kompasiana.

Sebagian kelompok mengkonotasikan jelek tentang buzzer. Bagi mereka buzzer harus diberantas karena merusak alam demokrasi terutama dalam ruang digital. Namun mereka lupa bahwa kehadiran buzzer merupakan salah indikator peningkatan demokrasi dalam ruang digital.

Berbeda pendapat dituduh buzzer, berbeda pandangan politik dituduh buzzer, membela kebijakan pemerintah dituduh buzzer. Kalian mau nya apa sih? Begitulah dengungan para buzzer yang dituduh buzzer oleh para buzzer juga. Sebab, sejatinya baik yang dituduh atau pun yang menuduh adalah buzzer. Hanya beda peran saja. Oleh karena itu, jangan cepat-cepat menuduh orang lain buzzer.

Sialnya yang sering menuduh buzzer adalah orang yang seyogyanya paham demokrasi dan mengerti perbedaan pendapat. Tokoh-tokoh seperti Rizal Ramli, Susi Pudjiastuti, Mardani Ali Sera, Muhammad Said Didu seperti alergi dengan keberadaan buzzer.

Eksistensi buzzer di alam demokrasi bukan sesuatu yang perlu ditakutkan. Walaupun sering kali merepotkan orang-orang seperti Rizal Ramli dan kawan-kawan. Lalu, mengapa takut dengan buzzer. Berikut ini penulis menguraikan beberapa alasan mengapa peran buzzer dirasa sangat membahayakan kelompok tertentu.

1. Meruntuhkan Hegemoni berpikir

Salah satu kekuatan buzzer adalah meruntuhkan hegemoni berpikir yang selama ini dikesankan hanya milik orang-orang tertentu. Dalam ruang digital, publik tidak lagi percaya 100 persen apa yang disampaikan oleh ahli atau tokoh-tokoh tertentu. Butuh pendapat lain selain ahli atau para tokoh. Suara itulah yang dimanfaatkan para buzzer.

Semua orang dianggap punya hak yang sama untuk menyampaikan pendapat, dengan analisis nya masing-masing. Tidak bergantung pada pendapat orang-orang tertentu. Buzzer sering kali tampil dengan argumentasi yang rasional dengan data-data yang kuat. Para buzzer memberikan masukan kepada pemerintah yang berimbang. Sehingga dominasi buah pikiran para ahli seperti direduksi oleh para buzzer.

Dalam ruang digital siapa saja boleh berpendapat dan berkomentar. Tidak dimonopoli oleh orang-orang yang dianggap ahli. Tidak ada batasan yang jelas, asalkan tidak melanggar aturan dan norma hukum maka layak untuk berpendapat.

Adu argumentasi di dalam dunia maya tidak bisa dihindarkan lagi. Di ruang maya tidak ada lagi ahli atau pakar layaknya di dunia kampus yang disegani dan dihormati. Pendapat yang ditulis pasti akan ada pro dan kontra. Semua hanya dianggap sebagai buzzer, tidak lebih.

Jika kalah dalam berargumentasi, jangan lantas dicap buzzer. Tidak boleh ada hegemonisasi berpikir, agar tidak menciptakan kebenaran tunggal. Semua pendapat memiliki kekuatan dan kelayakan dalam alam demokrasi. Boleh setuju boleh tidak asal tidak melanggar hukum.

Buzzer telah mengambil peranan yang setidaknya mereduksi monopoli pemikiran dari kelompok tertentu. Jika mereka menuduh buzzer dibayar, sebenarnya tuduhan itu dialamatkan untuk mereka. Sebab, atas nama ahli mereka juga dibayar kala tampil di televisi. Walaupun argumentasi mereka kadang tidak berdasar dan menyesatkan. 

2. Penyeimbang media-media mainstream

Buzzer hadir sebagai penyeimbang media-media mainstream. Sering kali publik geram dengan ulah media yang tidak netral dalam hal pemberitaan. Kondisi ini dimanfaatkan oleh buzzer sebagai kekuatan baru dalam memberikan informasi, klarifikasi agar publik memperoleh informasi secara berimbang.

Salah satu media yang pernah berurusan dengan buzzer adalah Tempo. Bagi buzzer, Tempo sendiri yang sebenarnya buzzer. Bersembunyi dibalik ketiak karya jurnalis, Tempo sering kali memberitakan informasi yang tidak berimbang. Alhasil buzzer melakukan gerakan uninstall aplikasi Tempo.co di platform google play store.

Aplikasi Tempo memperoleh satu bintang setelah mengeluarkan majalah bersampul ilustrasi Jokowi dengan latar bayangan sosok mirip Pinokio. Bagi buzzer tempo sudah keterlaluan, namun bagi Tempo ini Karya jurnalis. Tidak ada yang salah, namun menuduh buzzer sebagai hama demokrasi itu juga kebangetan. 

Media yang sebenarnya menjadi corong demokrasi harus dibabat abis oleh buzzer. Kekuatan media masa seketika runtuh. Kekuatan media seperti Tempo misal, tidak sekuat sebelum media sosial eksis. Buzzer adalah gerakan perlawanan terhadap monopoli media masa dalam memberitakan informasi penting. Sebab, buzzer tahu bahwa media sekelas Tempo tidak mungkin tanpa ada dukungan modal dari pihak ketiga. Dari situ lah titik balik serangan buzzer untuk media-media mainstream ini.

Serangan buzzer kepada media-media mainstream sangat terukur. Dengan akurasi serta didukung fakta-fakta yang kuat membuat media masa kerepotan. Kehadiran buzzer mengubah media masa seperti kehilangan jati diri karena apa yang ingin diberitakan selalu mendapat bantahan dari buzzer. 

Buzzer melihat bahwa media-media mainstream tidak netral karena terafiliasi dengan tokoh-tokoh yang memiliki kepentingan politik. Sejatinya, media-media mainstream tersebutlah yang sebenarnya buzzer. Sebab, mereka dibayar mahal untuk kepentingan politik. Ini bukan cerita fiksi, ini nyata dan kasat mata.

3. Penetrasi buzzer menembus ruang privat

Ini yang paling ditakutkan oleh beberapa kelompok yang menyuarakan agar buzzer diberantas. Mereka sepertinya takut bila kehidupan pribadi dikuliti abis-abisan oleh buzzer. Sering kali aib para tokoh maupun para ahli di umbar di media sosial oleh buzzer. Ramai-ramai melakukan perundingan sebagaimana ciri khas netizen Indonesia yang ganas.

Beberapa tokoh nasional pernah merasakan ganasnya para buzzer. Para buzzer secara brutal menyerang privasi yang sangat rahasia itu. Entah darimana mereka mendapatkan bukti-bukti, namun mereka berhasil melucuti kemunafikan dan keborokan para tokoh.

Keberhasilan para buzzer tersebut membuat sebagian tokoh geram. Masa lalu diungkit, kejelekan beberapa tokoh di ranah privat diumbar. Seakan ingin membuktikan bahwa apa yang mereka tampilkan di ruang publik tidak selalu sama dengan di ruang privat. Misal: nasihat bijak tokoh diruang publik, ternyata tidak sebanding dengan perbuatan tokoh di ranah privat. Ini lah yang coba dimainkan oleh para buzzer.

Kasus selingkuhan, chat mesum atau aib lainnya berhasil dibongkar oleh buzzer. Sebagian besar menganggap buzzer sebagai gerakan yang menghancurkan karakter pribadi seseorang. Namun, buzzer tidak peduli yang penting bagi mereka membongkar kemunafikan para tokoh adalah penting untuk diketahui publik.

4. Serengan nya struktur, masif dan sistematis

Seperti ada yang mengkoordinasikan, serangan buzzer memang terkesan struktur, masif dan sistematis. Penulis menyadari bahwa kecurigaan terhadap gerakan buzzer di ruang maya karena ada yang memotori adalah sesuatu yang mengada-ada. Gerakan di ruang maya berbeda dengan dengan gerakan di ruang nyata. 

Gerakan di ruang maya tidak membutuhkan mobilisasi fisik yang tentu membutuhkan tenaga, waktu dan finansial. Gerakan di dunia maya bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Dan tentu tidak membutuhkan modal banyak, cukup modal punya pulsa data, handphone dan jaringan internet.

Gerakan buzzer di ruang maya sangatlah mudah. Tidak butuh sosok untuk mengkoordinasikan nya. Cukup bermodalkan tagar seperti di Twitter misalnya, maka ramai langsung bergerak cepat mengikuti isu yang lagi trending tersebut. Ini yang mestinya disadari bahwa media sosial sekarang adalah rajanya media. Siapa saja bisa masuk untuk berpendapat dan berkomentar.

Kesan senasib dan sepenanggungan ini membuat buzzer seperti begitu kompak. Serangan yang secara sporadis ke beberapa tokoh tertentu, membuat beberapa tokoh tersebut kewalahan dan geram. Alhasil, banyak akun buzzer yang diblokir oleh beberapa tokoh.

Bagi buzzer apa yang dilakukan oleh beberapa tokoh dengan cara memblokir adalah pecundang. Kalah dalam berdebat lalu di blokir. Bagi buzzer, orang-orang tersebut kelakuannya seperti anak kecil yang selalu merengek bila kalah saat berdebat.

Penulis mengingatkan bahwa jangan hanya beda peran kita mengutuk orang lain. Biarkan kita saling mengontrol agar ruang demokrasi berjalan secara berimbang. Tidak didominasi oleh orang yang melabeli diri ahli namun syarat kepentingan. Semoga!!


Mengeruda, 09 November 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun