Bagi penulis, tidak ada cara lain untuk Ketum PDI-P selain merujuk pada elektabilitas tokoh. Tidak bermaksud membandingkan tokoh Ganjar Pranowo dengan Puan Maharani. Sama-sama kader partai, sama-sama diorbitkan partai, sama-sama banteng sejati. Celaka kalau mengikuti logika Bambang Pacul yang sengaja menggiring opini publik bahwa Ganjar Pranowo adalah kader yang tidak tahu berterima kasih.
Sejauh ini Ganjar Pranowo tidak melakukan manuver politik yang sekiranya dapat mencoreng partai. Petugas partai harus menjalankan perintah partai sesuai instruksi ketua umum partai PDI-P. Ganjar Pranowo sudah menjalankan perintah partai. Jika insentif kerja Ganjar Pranowo adalah kenaikan elektabilitas maka tak perlu dipersoalkan. Bukan kah itu keinginan seluruh partai? Kaderisasi berjalan dengan baik.
Belajar dari kekalahan PDI-P di masa lalu
Tidak bermaksud menggurui Megawati Soekarnoputri, namun fakta sejarah tidak selalu berpihak pada partai PDI-P. Di era reformasi PDI-P pernah kalah di pemilu tahun 2004 dan 2009. Kekalahan terbesar PDI-P terjadi di pada tahun 2009 di masa emasnya presiden Susilo Bambang Yudhoyono.Â
Penulis sengaja memberikan pengantar untuk mengingatkan kita bahwa di masa reformasi PDI-P pernah kalah dalam pilpres. Ini berarti kekuatan PDI-P secara kepartaian jika tidak didukung oleh figur yang dicintai rakyat maka akan kalah dalam konstelasi pemilu. Oleh karena itu diawal tulisan ini ingin menegaskan bahwa PDI-P bisa keok kalau tidak mencalonkan figur yang potensial untuk menang alias direstui rakyat.
Sekaligus mengcounter isu bahwa Ganjar Pranowo tidak apa-apa nya tanpa PDI-P. Benarkah demikian? Jawabannya tidak demikian. Tugas partai adalah melakukan kaderisasi secara baik. Dan Ganjar Pranowo melalui proses tersebut. Lalu apa yang mau dipertentangkan dari itu semua.
Justru kalau tanpa kader berkelas seperti Joko Widodo, Ganjar Pranowo dan Tri Rismaharini maka PDI-P tidak akan bisa menjadi the ruling party. PDI-P perlu belajar dari kekalahan di pilpres 2004. Megawati Soekarnoputri berpasangan dengan Hasyim Muzadi kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Jusuf Kalla. Di putaran kedua, pasangan Mega-Hasyim hanya meraut 39,38% suara dan pasangan SBY-JK yang meraut suara 60,62%.
Jika mengikuti logika bahwa kekuatan partai dapat mendorong elektabilitas tokoh dan memenangkan pilpres, maka sejauh ini di Indonesia belum pernah terjadi. Justru kebalikannya, iya. Partai kecil menjadi besar karena ada figur yang yang berpengaruh dan dapat menarik simpati rakyat. Salah satu contoh partai Demokrat yang besar karena ada figur SBY. Ini fakta yang tidak bisa terbantahkan.
Di pileg tahun 2004 PDI-P kalah dari partai Golkar. Kemenangan Golkar kala itu karena konfigurasi para caleg partai Golkar yang memiliki basis masa yang kuat di daerah-daerah. Demikian halnya PDI-P yang mengandalkan figur Megawati Soekarnoputri, Golkar pun mengandalkan kekuatan para tokoh di setiap daerah yang masih berpengaruh dari masa orde baru. Â