Kekerasan sebagai Kultur
Dalam konteks peradaban manusia, kekerasan sudah terjadi sejak lama. Beberapa kajian menunjukkan bahwa  kekerasan sering dipakai untuk mempertahankan kekuasaan atau sekedar membela diri. Sejak jaman kerajaan, kekerasan terjadi saat merebut atau mempertahankan tahta kerajaan.
Kekerasan tetaplah kekerasan. Kekerasan tidak pernah akan berdampak baik pada kehidupan manusia. Kekerasan esensinya akan melahirkan kekerasan baru. Karena dibiarkan tanpa ada solusi, maka penulis berani mengatakan kekerasan adalah kultur yang hidup di kalangan masyarakat.
Dalam kultur masyarakat yang heterogen kekerasan terjadi karena ingin mempertahankan identitas termasuk suku, ras dan golongan. Kemajemukan masyarakat memang rentan terhadap kekerasan. Apalagi jika ego masing-masing individu dipertahankan.
Dikalangan pelajar, kekerasan sebagai pembuktian identitas diri yang paling sering dilakukan. Padahal, kekerasan tidak selau ekuivalen dengan keberanian. Lihat saja ada banyak orang yang melakukan kekerasan namun tidak berani untuk bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya.
Kekerasan dikualifikasikan sebagai ketidakmampuan manusia dalam mengelola amarah. Secara berulang-ulang dan terjadi hampir di seluruh lapisan masyarakat, maka kekerasan layak di sebut sebagai kultur yang sudah mengakar. Kebiasaan menyelesaikan masalah dengan kekerasan oleh sebagian kelompok dianggap lumrah.Â
Kekerasan sebagai kultur dibentuk sejak individu berada di keluarga. Sebagian orang berpikir bahwa kekerasan adalah salah satu cara mendidik anak. Sebab, kekerasan akan dengan mudah mengendalikan seluruh sikap dan perbuatan anak. Benarkah demikian?
Tentu dalam jangka pendek, kekerasan mampu mengkondisikan seluruh tingkah laku anak.Â
Walaupun pengkondisian tersebut hanyalah semu. Kekerasan sama sekali tidak punya andil positif  dalam pembentukan sikap dan karakter seorang anak.
Kekerasan yang Dibiarkan