Jika ada yang meragukan pendapat penulis ini silahkan saja. Namun perlu diketahui secara formal tidak dibenarkan seseorang mengajar (menjadi guru) bukan kompetensinya. Sarjana filsafat mengajar sejarah, sarjana Teologi mengajar bahasa Indonesia, sarjana sumber daya kelautan mengajar IPA adalah keadaan yang masih sering kali kita jumpai di beberapa sekolah swasta. Bukan soal cerdas, bukan soal bisa atau tidak, tapi pengembangan ilmu pengetahuan dalam proses pembelajaran memiliki corak yang berbeda dengan disiplin ilmu lain.
Untuk saat ini dianggap biasa saja mengingat guru-guru semacam ini dikenal cerdas. Tentu keadaan ini akan berbeda dikalangan akademisi pendidikan. Salah satu dosen pembimbing Thesis saya pernah menjadi tim asesor di salah satu sekolah swasta di Flores. Beliau menceritakan bahwa ada salah satu sekolah swasta yang mempekerjakan seorang biarawati (suster) yang tidak memiliki latar belakang guru mengajar bahasa Indonesia. Bagi seorang asesor beliau mengatakan itu sangatlah tidak benar walaupun dikenal cerdas atau merepresentasikan "iman" agama tertentu. Penilaian kualifikasi akademik menjadi prioritas utama bagi seorang pendidik bukan sekedar ketokohan.
Beberapa tantangan di atas tidak bisa dianggap sepele. Jika tidak ditangani secara benar maka semakin dekat kita melihat keruntuhan sekolah swasta. Sebab, ada sekolah yang dahulu pernah besar kini tinggal kenangan. Inilah pelajaran penting untuk otoritas sekolah yang mengelola sekolah swasta. Walaupun demikian, sekolah swasta harus tetap eksis dengan corak yang khas sehingga tetap menghasilkan generasi penerus yang kompeten dan profesional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H