Sementara konten hiburan yang banyak diakses adalah video online 49,3%, game online 16,5n streaming musik 15,3%, (VOI-Tekno 10/11/2020).
Sedangkan platform media sosial favorit pengguna adalah Facebook, Instagram dan Twitter, dan sebanyak 61% responsen sering mengakses YouTube untuk menonton konten film, musik, dan olahraga.
Fenomena melonjaknya akses media sosial sepanjang pandemi ini kemudian menjadikan sebagian dari kita mulai merasa 'nyaman' dalam berinteraksi dan berkomunikasi secara virtual.Â
Bahkan, tanpa kita sadari, komunikasi virtual dalam dunia maya sudah membuat kita merasa seolah-olah nyata. Harus kita sadari bahwa dunia interaksi manusia pada hakekatnya adalah nyata (face to face).Â
Internet dengan segala anak cucu media sosialnya, haruslah dipandang sebagai sarana penghubung, dan tidak bisa dijadikan sebagai keadaan yang nyata atau benar-benar terjadi.Â
Ke-maya-an dunia interaksi manusia melalui internet (baca:media sosial) yang ditawarkan saat ini, tidak bisa menjadi alasan untuk merubah budaya gotong royong, kebiasaan duduk bersama, kebiasaan bacerita sambil makan siri pinang, budaya musyawarah-mufakat, budaya kekeluargaan dalam arisan, dan sebagainya.
Ke-nyata-an interaksi manusia yang sebanarnya harus terus terjaga, kendati perkembangan sarana komunikasi terus berkembang, karena pada hakekatnya, interaksi dan komunikasi adalah kesempatan di mana, dua atau lebih orang saling bertatapan mata, dan dilengkapi dengan 'sentuhan', baik itu berupa jabat tangan, berpelukan, bergandengan, atau dalam tradisi kita di NTT ada 'cium hidung', dan beragam sentuhan rasa saudara yang lazim dilakukan masyarakat selama ini.
Bagi saya, tradisi sapaan dan sentuhan kekeluargaan yang sudah sejak lama kita lakukan itu adalah tindakan nyata yang tidak bisa tergantikan dengan teknologi secanggih apapun. Kita hanya bisa merindu saat itu, karena masih berada dalam masa pandemi.
Tegas saya, manusia membutuhkan sesama yang nyata, bukan maya. Memang tak bisa dielak bahwa perkembangan telekomunikasi dan teknologi saat ini terus berjalan.Â
Akan tetapi, kita perlu ingat bahwa sebenarnya kita masih hidup dan berinteraksi di dunia nyata. Karena itu, pantas dan layaklah kalau saya mengatakan bahwa intensitas berkomunikasi di dunia nyata harus menjadi prioritas utama, supaya rasa kekeluargaan kita semakin kuat.Â
Saya tahu, bahwa situasi di tengah pandemi ini memang memaksa kita untuk berkomunikasi secara virtual dengan orang lain. Tetapi kita harus ingat, jangan sampai di dalam rumah (serumah) pun kita berkomunikasi secara maya dengan orang tua, atau kakak-adik, atau dengan anggota keluarga lainnya.