Berkaca dari situasi sekarang, kita tidak akan pernah selesai membicarakan penyebaran Covid-19 yang saban hari semakin masif, bahkan dari berbagai perspektif sekalipun, kita belum mampu memutus mata rantai penyebaran virus ini. Sangat jelas, bahwa belum surutnya wabah virus corona, menimbulkan banyak persoalan di berbagai sendi kerhidupan.Â
Saya yakin, kita semua pasti sudah/sedang merasa bosan atau jenuh dengan situasi yang 'tidak biasa', sebab aktivitas kita terhambat bahkan tidak terlaksana.Â
Ditambah lagi, jumlah pasien, baik yang dinyatakan suspek (3052 orang), probable (51 orang), maupun yang terkonfirmasi (3218 orang), terus meningkat (Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 NTT, last update: 2021-01-18, 23:21:15). Saya kira, situasi di awal tahun baru ini akan menjadi penentu keberlanjutan hidup kita ke depan dalam menghadapi serangan Covid-19 yang belum surut.
Ditengah situasi yang 'abnormal' ini, Pemerintah tengah berjuang memberi himbauan dan instruksi untuk mencegah penyebaran Covid-19. Anjuran pencegahan dalam protokol kesehatan sudah dikumandangkan sampai ke elemen masyarakat akar rumput, terlebih ketika akan memasuki liburan Hari Raya Natal kali lalu.Â
Walau begitu, penambahan jumlah kasus positif saban hari tetap ada dan terus meningkat. Akibatnya, muncul banyak penilaian, komentar dan kritikan yang dialamatkan pada kinerja Pemerintah, termasuk perilaku masyarakat yang tidak terkontrol. Ada yang menilai Pemerintah tidak tegas, tidak konsisten, dan seolah 'kurang' serius dalam menangani wabah ini.Â
Hal tersebut terjadi manakala banyak kebijakan Pemerintah yang 'melonggarkan' PSBB dan lebih fokus pada urusan ekonomi. Belum lagi, Pemerintah juga menghimbau agar masyarakat 'berdamai' atau hidup berdampingan dengan Covid-19, di mana kita beraktivitas seperti biasa, tetapi tetap memperhatikan protokol kesehatan.Â
Di lain kata, aktivitas kita dilakukan secara normal di tengah situasi 'abnormal' dengan tetap memperhatikan semua himbauan agar tidak terpapar virus mematikan ini. Inilah pemahaman sederhana dari gagasan new normal yang sudah/sedang dijalani.
Bagi saya, makna, 'new normal' yang bisa dilihat dari aktivitas dan perilaku kita antara lain; selalu menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), memakai masker kalau keluar rumah, mencuci tangan, menjaga jarak dalam keramaian, dan seterusnya. Memang ini niat mulia dan wajib kita indahkan agar jumlah kasus bisa menurun.Â
Akan tetapi, kita tak bisa menutup mata bahwa perilaku masyarakat saat ini, masih jauh dari kata 'disiplin' apalagi 'taat'. Saya melihat, perilaku masyarakat kita seolah tidak peduli dan tidak takut dengan virus ini. Mereka kelihatan 'masa bodoh' dengan protokol kesehatan yang sudah sering disampaikan.Â
Pesta demi pesta terus dilaksanakan, sehingga kerumunan masa pun tak terhindarkan. Akibatnya, para tenaga medis (kesehatan) pun mulai merasa kesal dan memprotes perilaku masyarakat yang tidak taat, tidak peduli dan cuek terhadap protokol kesehatan.
Saya kira, saat ini bukan waktu yang tepat untuk saling mempersalahkan, atau mencari mana yang benar dan mana yang salah. Kita harus ingat bahwa sudah banyak dokter yang gugur, itu pun belum terhitung tenaga kesehatan dan tenaga medis lainnya. Peristiwa ini, hendaknya dijadikan bahan refleksi bagi kita agar lebih mewas diri dalam beraktivitas di luar rumah, di tempat kerja, maupun di pusat perbelanjaan. Kita tidak boleh berjalan sendiri dan menjadi individualis dalam perjuangan melawan wabah ini, sebab semangat kita adalah 'gotong royong'. Karena itu, sikap saling memperingati, saling membantu, saling berbagi, dan saling peduli harus terpatri dalam nurani kita. Situasi 'new normal' tidak boleh membuat kita menjadi individualis, egois, dan tidak peduli dengan sesama, apalagi tidak taat pada protokol kesehatan. Justru sebaliknya, 'new normal' harus membuat kita menjadi semakin peka, peduli, dan disiplin dalam menjaga kesehatan diri.
Hemat saya, gagasan 'new normal' yang sudah/sedang berjalan ini belum optimal. Mengapa? Karena esensi dari 'new normal' bukan saja soal mengikuti protokol kesehatan, melainkan lebih kepada new paradigm, new behavior, dan new activity yang lebih tertib, lebih disiplin, dan saling menjaga satu sama lain. Pertanyaan sekarang adalah, mampukah kita menjalaninya? Sudah tertib dan disiplinkah kita dalam setiap aktivitas? Saya kira, jawabannya kembali ke pribadi kita masing-masing. Karena itu, untuk mengetahui mengapa aktivitas masyarakat saat ini seolah 'kurang' peduli terhadap protokol kesehatan, maka saya coba menganalisisnya dengan pendekatan teori atribusi dalam psikologi sosial.
Secara sederhana, teori atribusi menjelaskan bagaimana orang menyimpulkan penyebab tingkah laku yang dilakukan diri sendiri atau orang lain. Teori ini menjelaskan proses yang terjadi dalam diri kita sendiri sehingga memahami tingkah laku orang lain. Setidaknya ada dua bentuk atribusi yakni atribusi situasional dan atribusi disposisional. Sebagai contoh, kalau kita melihat perilaku orang ketika berada di keramaian, atau di pasar/pusat perbelanjaan, banyak dari mereka yang tidak mematuhi protokol kesehatan. Lantas, mengapa demikian? Kalau menggunakan atribusi situasional, kita bisa menjawab bahwa banyak orang kurang mematuhi protokol kesehatan di tengah keramaian pasar/pusat perbelanjaan karena mereka memang membutuhkan barang/jasa, butuh makan, butuh bekerja untuk bisa bertahan hidup, harus berjualan untuk mendapat penghasilan, dan seterusnya. Akan tetapi, kalau menggunakan atribusi disposisional, maka jawabannya adalah, orang tidak mengindahkan protokol kesehatan karena memang pribadi dan karakter atau watak orang tersebut pada dasarnya tidak displin, tidak taat, dan tidak peduli.
Jelas ada dua perspektif berbeda dari jawaban di atas. Karena itu, kita jangan sampai salah kaprah dalam menilai perilaku masyarakat saat ini. Kita harus objektif dalam menyimpulkan hubungan sebab-akibat terhadap aktivitas kita sendiri maupun orang lain. Kita jangan terlalu cepat menyimpulkan berdasarkan petunjuk yang tersedia, atau bahkan berdasarkan faktor emosional saja.
Perilaku masyarakat saat ini bisa saja terlihat kurang peduli. Akan tetapi, kita juga harus maklum bahwa masyarakat kelas menengah ke bawah, tetap harus beraktivitas di luar rumah agar bisa hidup. Kalau serangan Covid-19 ini membuat Pemerintah kemudian menerapkan kembali PSBB secara total, maka saya yakin, banyak masyarakat yang akan protes. Persoalan melawan Covid-19 memang kompleks dan tidak mudah. Perilaku masyarakat pun selalu memiliki alasan yang rasional, sehingga kita tidak bisa memaksa kehendak untuk menertibkan kegiatan/aktivitas masyarakat kecil dan menengah ke bawah. Sebab hidup mereka bergantung pada usaha UMKM harian. Jadi, sekali lagi, kita perlu bekerja sama memecahkan persoalan ini dengan pendekatan yang elok. Ingatlah bahwa kita sedang mengalami 'badai' yang sama, tetapi 'kapal' kita berbeda. Kita harus jeli dan bijak dalam berperilaku, beraktivitas, berbagi, dan menilai, sehingga situasi 'abnormal' saat ini dapat tergantikan dengan'new normal' yang tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H