Adanya sejumlah oknum yang masih menggunakan istilah "titipan" masih ditemukan saat ini. Baik oknum yang melibatkan tanaga pendidik atau tenaga kependidikan maupun oknum dinas pendidikan sendiri yang mencoba "bermain-main" dengan sistem yang diterapkan.Â
Upaya menindak tegas para oknum yang dimaksud tampaknya belum bahkan cenderung tidak dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Kecenderungan membiarkan praktik ini terus terjadi sepertinya sudah menjadi pemandangan yang lumrah saja.
Begitu rumitkah sebenarnya permasalahan PPDB 2020 sehingga sangat sulit mencari akar permasalahannya. Jika kita berbesar hati menerima bahwa niat pemerintah melaksanakan sistem PPDB dengan berbagai kriteria yang ditentukan adalah bukan untuk menyulitkan calon peserta didik dan orang tuanya.Â
Bahkan, satu hal yang mestinya disadari oleh orang tua, yaitu terkadang keinginan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah tertentu bukanlah semata-mata kehendak anaknya.Â
Orang tua sering memaksakan kehendak dirinya sendiri demi gengsi tertentu bahwa jika anaknya bersekolah di sekolah tersebut akan ada kebanggaan yang diperoleh.Â
Sebenarnya, anaknya sendiri tidak mau bersekolah di sekolah yang dituju oleh orang tuanya. Lalu, berbagai upaya dilakukan dengan sangat terpaksa dan memaksa agar anaknya diterima di sekolah tersebut.
Pada jenjang, SMA atau SMK, seorang calon peserta didik sedianya sudah bisa memilih dan mendaftarkan sendiri ke sekolah mana yang dituju dan diinginkannya tanpa campur tangan orang tua yang terlalu jauh. Akan tetapi, kembali ke soal gengsi-gengsian tadi, akhirnya segala daya dan upaya ditempuh dengan segala risikonya.
Semoga semua orang tua mau berbesar hati bila anaknya tidak mendapatkan sekolah seperti yang diharapkan. Bukankah semua sekolah sama saja tergantung bagaimana siswa belajar dan menyesuaikan diri dengan sekolahnya yang baru nantinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H