Mohon tunggu...
Edi Santoso
Edi Santoso Mohon Tunggu... Dosen - terus belajar pada guru kehidupan

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Jenderal Soedirman.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Awas, Pesan Kebencian di Bulan Ramadhan!

12 Mei 2019   09:18 Diperbarui: 12 Mei 2019   09:20 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki bulan suci, tak serta merta hadir harmoni dalam ruang-ruang komunikasi. Selain kabar bohong (hoaks), beragam kosakata kebencian masih saja berseliweran, terutama di jejaring virtual. Tema seputar pemilu terus mendominasi. Determinasi kepentingan kontestasi lebih terasa kuat dibanding kepentingan pribadi untuk menggapai kesucian.

Ah, tidakkah Ramadhan menghajatkan puasa? Tak semata puasa makan minum, tetapi juga puasa bicara yang tak perlu, apalagi biacara yang bisa melukai. Jauh sebelum orang membincangkan ujaran kebencian (hate speech), al Qur'an sudah mewanti-wanti kita untuk mengendalikan lidah. Setidaknya ada beberapa jenis ujaran terlarang.

Pertama, talmizah (celaan). Ini sejenis perkataan yang merendahkan  harkat dan martabat orang lain. Ungkapan yang melukai hati dan perasaan. Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki mencela kumpulan yang lain, boleh jadi yang dicela itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan mencela kumpulan lainnya, boleh jadi yang dicela itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."

Celaan biasanya datang dari kesombongan. Karena dalam terminologi agama, sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Jebakan kesombongan bisa mengenai siapa saja, termasuk orang-orang yang kita kenal paham agama. Misalanya perasaan paling benar, akan membawa seseorang pada superioritas. Dia akan melihat orang lain berada di level bawahnya.

Pada tingkat yang paling mengkhawatirkan, perasaan paling benar itu bisa bermuara pada bentuk pe-negasi-an atas liyan. Inilah penyakit yang banyak menjangkiti 'orang soleh baru'. Belum lama belajar agama, tetapi semangatnya luar biasa. Tahu sedikit tapi merasa tahu banyak, atau bahkan merasa paling tahu. Karena merasa dia dan kelompoknya saja yang paling benar, orang seperti ini mudah nyinyir pada orang lain.

Kedua, ghibah (mengumbar aib orang). Dalam al Qur'an, ghibah ini dikaitkan dengan dzon (prasangka) dan tajassus (mencari-cari keburukan orang lain). "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain" (QS Al Hujurat: 12).

Dzon, tajassus, dan ghibah berakar dari penyakit hati yang sama: suka atas aib orang lain. Diawali dari prasangka, kemudian aktif mencari-cari kebenaran atas prasangka itu, lalu menyebarkannya pada orang lain. Normalnya seseorang, jika ada saudaranya bertindak salah, dia akan mengingatkan atau mencegahnya. Bukan justru dicari-cari kesalahannya dan kemudian di-viral-kan.

Hasrat membagi aib itu cermin kebencian atas orang lain. Pertanyaannya, kenapa kita mudah benci pada orang lain? Apalagi saat ini, kebencian seperti sudah menjadi kelaziman, bahkan telah menjadi identitas yang kadang dibanggakan. Misalnya, ada komunitas 'hater si Anu'.

Salah satu sebab munculnya benci adalah perasaan iri/ dengki. Perasaan tidak suka jika ada orang lain sukses dan bahagia, apalagi jika melebihi kesuksesan yang dicapainya. Menurut Sosiolog Ariel Heryanto, perasaan sebagai yang 'paling murni' juga membuat orang mudah membenci orang atau kelompok lain. Misalnya, perasaan paling pribumi, paling NKRI, atau paling Islami.

Di bulan pembinaan bernama Ramadhan ini, kita berlatih untuk menjadi baik, lahir dan batin. Selain agar fisik kita lebih sehat, jiwa kita juga lebih tenang, lebih khusyu', lebih tawadhu'. Sungguh tak pantas membanggakan apa yang telah kita capai. Tak ada alasan untuk merasa lebih dari yang lain, sehingga juga tak ada pembenar untuk merendahkan orang lain. 

Atas nama kesucian yang dibawa Ramadhan atau kepentingan pribadi agar diterima ibadah kita, sudah semestinya kita kendalikan ucapan atau tulisan yang berpotensi menyakiti perasaan orang lain. Cukuplah ancaman dari Allah ini menjadi pengingatnya: "Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela" (QS. Alhumazah:1)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun