Mohon tunggu...
Edi Santoso
Edi Santoso Mohon Tunggu... Dosen - terus belajar pada guru kehidupan

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Jenderal Soedirman.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Waspadai Hoaks di Bulan Suci

6 Mei 2019   10:59 Diperbarui: 6 Mei 2019   11:12 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beruntunglah kita kembali berjumpa dengan Ramadhan. Lebih beruntung lagi, mereka yang diterima ibadahnya di bulan suci ini. Memang tak serta merta semua dapat ampunan dan berkah, sebagaimana tak otomatis ibadah puasa kita diterima. Kata Nabi, ada yang hanya dapat lapar dan dahaga saat berpuasa. Maka, kita harus mewaspadai penyebabnya.

Salah satu penyebabnya adalah berdusta. Dalam salah satu hadist, Nabi bersabda, "Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan pengamalannya, maka Allah tidak butuh kepada perbuatannya yang meninggalkan makan dan minum." Ironisnya, dusta di era media sosial ini kian menggejala, bahkan telah menjadi komoditi. Kita menyebutnya sebagai hoaks (kabar bohong).

Pada momen tertentu, misalnya pada musim pemilu ini, hoaks semakin meningkat. Sepanjang bulan April kemarin saja, Kominfo mengidentifikasi setidaknya ada 486 hoaks. Sebuah pengantar yang tak pantas untuk bulan suci yang jatuh di bulan Mei ini. Celaknya, yang ikut membagi kabar bohong ini justru orang-orang baik, termasuk pemuka agama. Benarlah kata pegiat literasi Maman Suherman, "Hoaks itu diproduksi oleh orang cerdas tapi jahat dan disebarluaskan oleh orang baik tapi bodoh."

Jangan sensi dulu dengan ungkapan 'bodoh'. Ini mungkin lebih tepat diartikan sebagai rendah literasi medianya. Tak sedikit, bahkan yang bergelar Doktor pun jadi penyebar hoaks. Mereka bersemangat untuk membagi informasi, tetapi malas untuk melakukan verifikasi. Pendidikan tinggi tak menjamin cermat dan teliti dalam menakar otentitas sebuah kabar.

Tentu kita masih ingat warning Qur'an terhadap orang-orang fasiq yang membawa kabar. "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (Q.S. 49: 6). Nah, batasan 'fasiq' inilah yang harus kita perhatikan lagi.

Ketika da yang mendapat sebuah informasi dari seorang ustadz, maka yang bersangkutan tak ada keraguan untuk membagi ke yang lainnya. Jelas ustadz itu orang baik. Dia tak termasuk faasiqun yang informasinya harus di-tabayyun. Persoalannya, apa informasi itu memang berasal dari ustadz itu sendiri atau sang ustadz juga sekadar membaginya dari grup sebelah?

Istilah 'Faasiqun' (orang fasiq) merujuk pada seseorang yang kita tahu siapa dia. Sementara hoaks menyebar tanpa kejelasan siapa sumber informasinya. Informasi yang menyebar tanpa kejelasan sumber, secara kualitas lebih rendah daripada informasi dari orang fasiq. Kalau dari orang fasiq kita harus tabayyun (cek dan ricek), apalagi dari kabar yang dibawa burung.

Cukuplah pelajaran dari Ummul Mukminin Aisyah yang jadi korban hoaks. Waktu itu, Aisyah r.a. menyertai Nabi dan rombongan sesuai perang Muraisi'. Dalam perjalanan pulang, Aisyah ketinggalan rombongan, karena kesalahpahaman. Saat sendiri menunggu ada yang kembali menjemputnya, lewatlah Shafwan bin al Muatthal. Sahabat ini terkejut bukan main. 

Dia hanya berucap, 'Innalillah wa Inna Ilaihi Raji'un'. Bagaimana bisa istri Nabi yang mulia ini berada seorang diri di tempat seperti ini. Dia mempersilahkan Aisyah naik ke ontanya. Shafwan pun menuntun ontanya hingga sampai Madinah, tanpa mengucap sepatah kata pun.

Orang Munafik menjadikan kabar ini sebagai hoaks. Mereka memutarbalikkan fakta, membantuk frame pertemuan Aisyah dan Shafwan itu sebagai perselingkuhan. Beberapa sahabat terpengaruh rumor ini. Hubungan Nabi dan istrinya pun sempat terganggu. Aisyah sendiri sampai sakit berhari-hari. Sungguh jahat! Untunglah Allah sendiri, melalui al Qur'an, yang membersihkan namanya (QS An-Nur: 11-20)

Hari ini, tak ada lagi wahyu yang turun untuk membersihkan nama seseorang karena hoaks. Para penyebar informasi lah yang ikut bertanggung jawab, ketika ada orang yang rusak kehormatan dan integritasnya karena hoaks. Nampaknya sepele ketika jari kita menyentuh tombol 'send', tapi dampaknya sungguh serius.

Mestinya memang, bukan hanya mulut dan kemaluan yang berpuasa, tetapi juga jari-jari kita yang gemar berbagi informasi. Sebelum sharing, saring dulu. Pastikan semua memiliki pijakan fakta, bukan semata 'konon' dan 'katanya'. Semoga ibadah Ramadhan kita diterima.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun