Pernyataan itu seperti sudah melekat dalam template ucapan Idulfitri, sebagaimana ikon bedug atau ketupat yang selalu ada dalam kartu atau flyer Lebaran.
Lebaran identik dengan permohonan maaf. Setidaknya dalam budaya Indonesia, momen 1 Syawal, adalah kesempatan orang untuk saling bermaaf-maafan. Saat kecil dulu, di kampungku, rasanya tak afdhol kalau kita tidak datangi rumah-rumah tetangga hampir satu dusun, untuk meminta maaf. Kini, di era media sosial, gantian inbox atau time line kita yang penuh dengan ucapan permohonan maaf.
Berganti atau bergesernya ruang saling memaafkan itu apakah juga mereduksi hakikat kata "maaf"? Meminta maaf atau memaafkan, pada dasarnya adalah aktivitas personal, ketika seseorang merasa ada yang keliru dengan perilakunya terhadap pihak lain. Dia perlu memperbaikinya dengan menemui orang yang bersangkutan dan meminta maaf. Relasinya sangat personal dan intim. Begitu juga dengan orang yang memaafkan akan berada dalam kondisi yang sama.
Jadi, permohonan maaf atau pemberiaan maaf pada hakikatnya adalah ujaran performatif (meminjam istilah Austin dengan teori Speech Act-nya). Maksudnya, pernyataan itu menyatakan sebuah tindakan dengan konsekuensinya, sebagaimana pernyataan berupa sumpah, akad, peresmian, atau kebijakan.
Meminta maaf berarti sesorang menyadari kesalahannya atas orang lain, dan karenanya meminta permakluman kepada yang bersangkutan dengan mendatangi langsung atau melalui komunikasi jarak jauh. Sedangkan memberikan maaf, berarti memaklumi, bisa menerima kesalahan orang, atau menghilangkan marah dan dendam atas kesalahan orang lain. Saling memaafkan berkonsekuensi damai dan harmoni. Seringkali, proses meminta dan memberikan maaf ini harus mewakili serangkaian proses yang rumit, mulai dari melawan ego pribadi, mengelola rasa malu, sampai pada ekspresi keberanian atau kebesaran hati.
Aspek performatif permohonan maaf saat Lebaran meredup seiring bergesernya aktivitas "maaf-maafan", dari kesadaran personal menjadi ritual tahunan. Ketika menjadi ritual, tujuan berhenti pada aktivitas itu saja, sehingga lebih mencerminkan kesadaran mekanis ketimbang kesadaran diskursif. Reflektivitas permaafan hilang, ketika orang berpikir, karena ini Lebaran, maka saya harus meminta maaf atau meberikan maaf, kepada siapa saja, baik kenal atau tidak, baik merasa punya salah atau tidak.
Dimensi ritual akan menjadikan aktivitas "maaf-maafan" lebih sebagai ujaran deklaratif ketimbang performatif. Maksudnya, orang tak sungguh-sungguh ---dari hati hati kecilnya, meminta atau memberi maaf.Â
Pernyataan itu seperti sudah melekat dalam template ucapan Idulfitri, sebagaimana ikon bedug atau ketupat yang selalu ada dalam kartu atau flyer Lebaran. Meminta maaf kemudian lebih menegaskan sebuah pesan deklarasi, aku ikut berlebaran, aku bersama kalian dalam kegembiraan hari raya, atau aku juga merayakan Idulfitri.
Di era media sosial, pernyataan itu semakin profan dengan bantuan teknologi. Satu ucapan disiapkan untuk banyak orang, bahkan dikirimkan dalam satu terikan nafas, cukup dengan satu tombol share atau broadcast. Fitur yang mempercatik ucapan itu, baik grafis ataupun animasi --yang nampaknya jadi tren tahun ini, tak mengubah apapun.
Gejala itu mirip dengan doa-doa yang diucapkan atau dituliskan di media sosial atau grup-grup instant messenger. Doa semestinya performatif, karena itu aktivitas nyata berupa permintaan pada Tuhan.Â