Mohon tunggu...
Edi Santoso
Edi Santoso Mohon Tunggu... Dosen - terus belajar pada guru kehidupan

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Jenderal Soedirman.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mengingat Kembali Pelajaran Ramadhan

15 Juni 2018   21:24 Diperbarui: 15 Juni 2018   21:27 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Ternyata, yang kita butuhkan jauh lebih sedikit dari yang kita bayangkan. Selama ini, yang kita penuhi adalah keinginan, yang sayangnya tak punya batas. Keinginan satu akan bersambung dengan keinginan yang lain, kemudian yang lain lagi, begitu seterusnya. Inilah kunci sulitnya seseorang bersyukur. Dengan mengambil apa yang kita butuhkan, kita akan merasa betapa Allah telah memberikan segala kemelimpahan.

Nabi saw bersabda, "Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak."

Ketiga, Ramadhan mengajarkan makna pengendalian. Puasa Ramadhan tak hanya soal menghindarkan dari hal yang membatalkan, tetapi menjaga keutamaan. Itulah yang disebut Imam al Ghozali sebagai shiyam bathiniyah, di mana orang bisa mengendalikan seluruh bagian tubuhnya. Lisan kita misalnya, bisa menjadikan puasa kita tak berarti manakali yang keluar darinya adalah fitnah, adu domba, caci maki, atau kebohongan. Hari-hari ini, bangsa kita hendak dipecah, diadu domba, lewat persengketaan yang dihembuskan melalui ujaran kebencian dan berita bohong (hoaks) di berbagai media sosial. Dari Ramadhan, diingatkan kembali agar lisan kita lurus, perkataan kita benar.

Allah swt berfirman dalam Qur'an surat al Ahzab, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan yang besar."

Keempat, Ramadhan mengajarkan kita makna solidaritas. Melalui puasa kita belajar untuk berempati, merasakan beratnya mereka yang tak selalu mendapati makanan setiap harinya. Budaya berbagi yang menguat saat Ramadhan menyadarkan kita, bahwa kita, orang-orang mukmin adalah saudara. Ibarat satu tubuh, derita mereka adalah derita kita juga. Seperi yang disabdakan Nabi saw, "Orang-orang mukmin dalam cinta, kasih sayang, dan kelemahlembutan mereka umpama satu tubuh, jika satu anggota tubuhnya mengeluh sakit, maka sekujur tubuhnya akan ikut merasakan sakit."

Persaudaraan ini tak bisa dibatasi oleh garis-garis kenegaraan atau kebangsaan, apalagi ras atau suku. Hari ini, ketika kita bergembira dengan makanan beraneka rupa atau pakaian baru, mungkin saudara kita di Palestina, di Syiria, Rohingnya, dan negeri-negeri berkonflik lainnya dalam kondisi sebaliknya. Maka, di tengah kegembiraan ini, sisakan empati untuk mereka. Setidaknya, jangan pernah lupa untuk mengirimkan doa untuk mereka.

Pada akhirnya semua pelajaran hanya mungkin terbangun dengan fondasi spritual yang memadai. Itulah rahasia segala amaliah Ramadhan yang semestinya telah kita ikuti, mulai dari puasa, sholawat tarawih, tilawah Qur'an, hingga i'tikaf. Pelatihan selama satu bulan penuh, menurut para pakar pendidikan, adalah periode yang cukup untuk membentuk kebiasaan, atau setidaknya akan memudahkan bagi kita untuk melanjutkan di bulan-bulan berikutnya. Maka, langkah nyata dan mulia untuk melepas perginya Ramadhan adalah tekad untuk menjadikan bulan-bulan selanjutnya laksana Ramadhan, baik dari sisi ritual ataupun semangatnya. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun