Tak semua kemajuan itu baik. Seperti shaf sholat yang semakin 'maju' di bulan Ramadhan ini. Maksudnya, jumlah jumlah shaf jamaah semakin berkurang, sehingga semakin maju ke depan. Padahal, di awal Ramadhan lalu, masjid-masjid atau mushola penuh sesak oleh jamaah, khususnya saat sholat tarawih. Untuk menampung jamaah yang membludak, beberapa masjid bahkan sampai membuat tenda tambahan di halaman.
Memasuki pertengahan Ramadhan seperti ini, keramaian berpindah dari masjid ke pasar atau mall, di mana orang mulai sibuk mempersiapkan lebaran. Jika Anda melewati tempat-tempat perbelanjaan, akan nampak tempat-tempat parkir sudah dipenuhi kendaraan. Dilihat dari sudut pandang budaya, mungkin ini hal yang wajar, mengingat bagi Muslim Indonesia, idul fitri itu seperti  segala-galanya. Lihatlah hiruk pikuk orang-orang yang mudik dari kota-kota Besar menjelang Lebaran. Mereka bekerja keras selama setahun di kota dan hasilnya dibawa pulang ke kampung.
Karena Lebaran identik dengan baju baru dan makanan enak, orang pun memadati pasar-pasar untuk persiapan hari istimewa tersebut. Sementara masjid-masjid seperti dilupakan, seolah Ramadhan hanya berlangsung selama sepekan. Inilah persoalannya, karena dari sudut pandang agama, beralihnya jamaah dari masjid ke pasar ini sungguh merupakan ironi.
Betapa tidak, Ramadhan adalah bulan istimewa. Teramat istimewa untuk dilewatkan mengingat inilah bulan di mana Allah 'obral' pahala. Allah menjanjikan ampunan, barokah, dan balasan yang berlipat untuk setiap amal di bulan ini. Ibadah sunnah bernilai wajib, yang wajib berbalas sekian kali lipat. Setiap detik dalam Ramadhan sungguh sangat berharga.
Dengan keistimewaannya itu, Ramadhan yang yang hari-harinya terus berkurang ini semestinya disikapi dengan perasaan sedih, karena kesempatan untuk panen pahala dan ampunan kian menipis. Hari-hari di bulan suci ini terus berkurang satu-satu, mengikuti laju bulan. Begitulah orang-orang soleh generasi dulu yang selalu galau menjelang perpisahan dengan Ramadhan.
Masa-masa akhir itu penentuan, siapa yang lulus dan siapa yang gagal, sebagaimana dalam lomba lari, pemenang dan pecundangnya akan nampak pada akhir perhelatan. Begitu juga Ramadhan, fase-fase akhir itulah pembuktian, siapa yang sungguh sungguh berharap pahala atau ampunan dan siapa yang hanya menikmati sensasinya.
Momen-momen istimewa Ramadhan pun Allah letakkan di akhir. Lailatul Qodar--malam yang lebih baik dari seribu malam, menurut banyak hadist, akan turun di sepuluh hari terakhir, khususnya pada malam-malam ganjil. Untuk menutup Ramadhan dengan ibadah terbaik, Rasulullah saw pun menganjurkan kita untuk melakukan i'tikah.
Para ulama menyebut i'tikah adalah ibadah sunnah muakadah (sangat dianjurkan). I'tikaf ini seperti puncak ibadah Ramadhan, di mana seorang Muslim sepenuhnya melepaskan ikatan dunia, terutama bagi yang bisa full 10 hari terakhir di masjid. Jangankan urusan belanja, segala yang nampak penting seperti kerja atau keluarga pun sejenak 'diabaikan', demi mendekat pada Yang Maha Kuasa.
Memang tak terelakkan, lebaran menuntut persiapan, misalnya baju baru untuk anak atau makanan buat tamu yang akan silaturahmi. Kalau semua sudah terencana, agenda itu mestinya bisa kita lakukan sebelum Ramadhan datang. Tapi kalau terlanjur belum siap, kita bisa atur sedemikian rupa, agar tak menjauhkan kita dari masjid. Kita bisa manfaatkan waktu siang hari, sehingga agenda ibadah malam seperti tarawih tidak terganggu.
Ramadhan terus melaju, semoga kita semakin fokus dan serius. Mari kita lihat target-target amal di bulan istimewa ini, misalnya sudahkah kita khatamkan Qur'an? Seberapa banyak yang sudah kita infakkan? Seberapa sering kita memberi buka untuk orang yang berpuasa? Ibarat lomba sprint, mendekati finish, mari kita percepat lari. Semoga amal ibadah kita diterima. Amiin....***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H