Mohon tunggu...
Edi Santoso
Edi Santoso Mohon Tunggu... Dosen - terus belajar pada guru kehidupan

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Jenderal Soedirman.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ramadhan dan Momentum Kebangkitan

25 Mei 2018   23:28 Diperbarui: 25 Mei 2018   23:34 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendadak, saya diminta menjadi khotib pengganti untuk Jumatan tadi siang. Karena bingung mau membawakan tema apa (maklum ustadz gadungan, hehe..), saya coba hubungkan Hari Kebangkitan Nasional yang baru saja berlalu dengan Ramadhan. Biar agak aktual, pikir saya.

Jika kebangkitan diartikan sebagai sebuah gerakan, aktivitas yang merujuk pada perubahan dari diam menuju gerak atau dari gerak lambat ke gerak cepat, maka modal atau prasyarat utamanya sebetulnya melekat pada Ramadhan. Pertama, modal semangat transendental. Sebuah tindakan sosial selalu lahir dari motif, begitu juga kebangkitan, selalu berawal dari tujuan-tujuan tertentu. Dan tak ada motif yang lebih kuat untuk bangkit selain motif 'mardhotillah' (mencari ridloh Allah). Dari sinilah, Ramadhan memberikan pelajaran.

Ibadah puasa yang istimewa---karena menyangkut urusan kita dan Allah semata, adalah pelajaran penting tentang kemurnian niat (keikhlasan). Orang bisa pura-pura puasa, misalnya dengan diam-diam minum atau makan, tapi sebagian besar tak melakukannya. Karena yakin, ini semata persembahan untuk Allah, maka tak boleh ada campur baur motif-motif duniawi.

Betapa rapuhnya upaya bangkit yang didorong oleh motif-motif duniawi. Mungkin popularitas telah membuat orang menjadi gila pencitraan. Bisa jadi hasrat kekayaan telah menjadikan orang bekerja siang malam. Tapi lihatlah, betapa semua itu sangat absurd dan temporer. Banyak peristiwa tragis membayangi motif-motif materiil seperti itu, misalnya kasus stres, depresi, dan bahkan bunuh diri.

Tapi niat karena Allah semata terbukti menjadi endurence, sebuah daya yang terus menggerakkan. Itulah daya keimanan, sehingga kita bisa melihat bagaimana seorang Bilal tahan ditindih batu besar di padang pasir yang panas. Kita saksikan keteguhan Mus'ab bin Umair untuk meninggalkan segala atribut duniawi di Makkah dan rela berpindah ke Madinah, dan kemudian menjadi perintis masyarakat yang siap menerima Islam.

Kedua, modal spritual transformatif. Menurut para ulama, ibadah---apapun bentuknya, pada dasarnya memiliki sifat transformatif, yakni memiliki efek perubahan. Seperti sholat, yang dalam QS al Ankabut:45 disebut bisa mencegah orang dari tindakan keji dan munkar. Begitu juga dengan puasa yang diwajibkan untuk orang beriman, agar mereka menjadi muttaqiin (QS al Baqarah:183). Taqwa adalah derajat tertinggi, maka muttaqiin (orang-orang bertaqwa) merujuk pada sebuah kondisi orang-orang yang berkualitas tertinggi.

Ketiga, modal motivasi historis. Dengan berpuasa---yang membatasi orang untuk makan dan minum, orang semestinya tak menjadi lemah. Sebaliknya, jika mengacu pada pengalaman masa lalu, produktivitas berupa capaian-capaian besar justru terjadi di bulan Ramadhan. Perang Badar yang menjadi salah satu milestone dalam sejarah Islam terjadi di bulan Ramadhan. Begitupula dengan Fathul Makah---kembalinya Kota Suci Makkah ke dalam pangkuan kaum Muslimin, pun terjadi di Bulan Suci. Kita bisa tambahkan kejadian-kejadian lain, seperti penaklukan Andalusia, kemenangan atas pasukan Tartar (Perang Ain Jalut), atau yang lebih terkini adalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Ramadhan yang mulia ini telah menyiapkan modal kebangkitan bagi umat Islam. Masalahnya, mau tidak kita menangkap momentum ini. Tentu ini lebih dari sekadar kebangkitan pribadi---sebagaimana anak muda yang bangkit dari beban masa lalu (move on), tapi kebangkitan umat dari tidur panjangnya. Berbagai indeks atau angka-angka statistik menunjukkan betapa umat Islam masih ada di pinggiran pentas peradaban.

Banyak PR di pundak kita, mulai dari masalah sosial, budaya, ekonomi, hingga politik. Melalui Ramadhan, setidaknya kita ikhtiarkan untuk menangkap 'ruh kebangkitan' itu. Mari terus kita akumulasi kesadaran untuk bangkit, sampai suatu saat nanti ketika takdir baik menjadikan umat ini benar-benar bangkit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun