[caption caption="Ilustrasi: KOMPAS/HANDINING"][/caption]Beberapa hari yang lalu saya menghadiri undangan RRI Purwokerto untuk berpartisipasi dalam diskusi seputar RUU RTRI. Di awal presentasinya, Darmanto (pegiat Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik, Yogyakarta) sebagai pemakarsa acara ini bertanya kepada hadirin, “Apakah Bapak Ibu sebelum mendapat undangan acara ini tahu tentang RUU RTRI?” Ternyata hampir semua peserta diskusi, termasuk saya, mengaku tidak tahu.
Agak memalukan memang, khususnya buat saya: pengajar ilmu komunikasi, yang kadang merasa sebagai pengamat media. Tapi begitulah faktanya. Jujur, saya baru searching, setelah mendapat undangan. Dari situlah, saya menemukan beberapa fakta menarik. Rancangan Undang-undang Radio Televisi Republik Indonesia ini merupakan inisiatif Komisi I DPR, sebagai upaya memperkuat keberadaan lembaga penyiaran publik, khususnya RRI dan TVRI. Keberadaan dua lembaga penyiaran publik itu sebelumnya hanya diatur dalam Undang Undang Penyiaran No 32 tahun 2002.
Dalam UU Penyiaran itu, keberadaan RRI dan TVRI dirasa belum mendapat tempat yang jelas, khususnya secara struktural ketatanegaraan. Istilah lembaga penyiaran publik (LPP) misalnya, tak dikenal dalam nomenklatur negara. Sehingga, kucuran APBN untuk pendanaan bagi LPP pun tidak jelas. Konon, ada pembiayaan bagi RRI yang diturunkan dari mata anggaran bencana. Begitupula dengan masalah SDM. Pegawai RRI sempat menginduk pada kementerian keuangan, dan kemudian berada dalam kementrian Kominfo per 2015, sebagaimana karyawan TVRI.
Melalui RUU RTRI ini, RRI dan TVRI akan digabung, sehingga menjadi LPP yang lebih kuat, efisien, dan profesional. Keberadaannya akan diperjelas sebagai lembaga di bawah badan Negara, yakni Badan Penyiaran Publik (BPP). Soal SDM juga diperjelas, misalnya bagaimana ketua LPP dipilih, juga tentang komposisi karyawan (PNS dan non-PNS), termasuk jenjang karir mereka. Ini semua demi terwujudnya LPP yang independen, netral, dan profesional.
Melalui LPP, kita memang berharap banyak. Dengan fungsinya sebagai pelayan publik, keberadaannya menjadi urgen, terutama pada fakta betapa lembaga penyiaran swasta abai pada aspek moral dan pendidikan. Atas nama rating, berbagai tv swasta berlomba menawarkan acara yang menarik. Acara yang diinginkan khalayak, bukan acara yang dibutuhkan. Jadilah beragam acara dengan konten yang tak mendidik (low taste content). LPP diharapkan menjadi media alternatif. Sayangnya, selama ini RRI dan TVRI dianggap tak menarik, kuno, dan kadang bahkan masih dianggap sebagai corong pemerintah.
Mimpi kita, RTRI akan sekelas LPP di negara lain seperti BBC (Inggris) dan NHK (Jepang). Di tengah kerasnya kompetisi media, BBC dan NHK mampu bersaing dengan media-media komersial. Mereka bisa kuat karena didukung oleh SDM hebat. Isi siaran mereka mendidik, karena tak tersandera kepentingan pasar. Mereka tak menerima iklan, tetapi dibiayai oleh iuran publik.
Jika dianggap urgen, tapi kenapa RUU RTRI tak jelas nasibnya? RUU ini sebetulnya sudah masuk dalam agenda prolegnas 2011, dan ditargetkan selesai tahun 2013. Tapi hingga anggota dewan berganti, RUU ini tak jelas nasibnya. Itulah alasan para aktivis sosial seperti yang tergabung dalam Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik terus mengalang dukungan masyarakat dan melakukan loby agar RUU ini bisa segera disahkan. Jika melihat agenda DPR, RUU ini masuk dalam prioritas prolegnas 2016. Semoga saja RUU ini tak lagi dikesampingkan, demi dunia penyiaran yang lebih sehat dan ramah keluarga. Demi masa depan Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H