Mohon tunggu...
EDROL
EDROL Mohon Tunggu... Administrasi - Petualang Kehidupan Yang Suka Menulis dan Motret

Penulis Lepas, Fotografer Amatir, Petualang Alam Bebas, Enjiner Mesin, Praktisi Asuransi. Cita-cita: #Papi Inspiratif# web:https://edrolnapitupulu.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Papua Memang Bhineka, Tetapi Benarkah Masyarakatnya Ingin Merdeka?

7 Desember 2018   16:17 Diperbarui: 7 Desember 2018   16:54 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan Trans Papua (sumber:haipapua.com)

Tak dapat saya pungkiri, pengetahuan saya tentang Papua  lumayan sedikit. Dulu waktu duduk di bangku sekolah dasar, saya mengenalnya bernama IRIAN JAYA , konon menurut artikel yang saya baca ini IRIAN sendiri merupakan singkatan dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederland. Sedangkan JAYA menandakan Kejayaan atau Kemenangan atas wilayah Dutch New Guinea yang dulunya dikuasai Belanda. Asal kata PAPUA kemungkinan berasal dari kata dalam bahasa Melayu: "Papuwah"  (Berambut Keriting/ Fuzzy Hair).

Pengetahuan saya hanya diperoleh dari informasi lewat buku, internet dan kunjungan ke Pulau Papua baru 3 (tiga) kali selama 5 tahun belakangan ini.

Papua Memang Bhineka

Papua boleh saya katakan mulai dari jenis suku, bahasa ibu, cara berpakaian, ritual perang, seni budaya sangat beraneka ragam (Bhineka). Secara sekilas memang orang Papua sama-sama berasal dari ras Aborigin namun ras ini di Papua bagian Indonesia sendiri konon jumlah suku mencapai 466 suku, yang cukup dikenal dan terdata di wikipedia hanya 19 nama yaitu Amungme, Arfak, Asmat, Bauzi, Dani, Ekari, Fayu, Kombay, Koroway, Koteka, Lani, Matbat, Marind, Mek, Moni, Sawi, Wolani, Yali, dan Wamesa. Belum lagi bahasa daerah orang Papua hingga saat ini baru terdata sebanyak 300 bahasa.

Belum lagi rumpun suku yang masih mungkin satu keluarga tersebar ke wilayah Papua Nugini, tercatat ada sekitar 800 suku dengan bahasa yang berbeda-beda.

Dari ratusan ragam suku dan bahasa, orang Papua memiliki satu hukum atau etika yang berlaku universal yaitu timbal balik dalam hubungan sosial dan bersikap ramah terhadap tamu dan pengunjung yang tidak diharapkan. Satu lagi yakni kebiasaan berbagi buah pinang (buai) serta masyarakat jelata harus tunduk kepada kepala adat/klan sekaligus tidak boleh mengambil makanan yang khusus disediakan untuk kepala klan dan keluarganya.

Orang Papua Mau Merdeka?

Tak dapat dipungkiri, tanah Papua tak pernah lepas dari adab kalau tak mau dikatakan sebagai kutukan yakni Perang Antar Suku konon dikisahkan sejak ribuan tahun yang lalu. Selain karena salah satu keluarga menjadi korban dari suku lain atau bisa juga akibat pelintasan teritori lahan oleh yang bukan empunya suku. 

Hubungan kekeluargaan dan menjaga tanah adat suku sendiri adalah sesuatu yang sangat sakral bagi orang Papua sehingga keputusan harus melalui adu kuat kekuatan militer antar suku dengan tombak, panah bahkan sihir bila perlu. Intinya peperangan tidak akan timbul bila prinsip timbal balik dipegang teguh seperti menghargai antar suku dengan tidak menciderai ataupun menguasai lahan yang bukan empunya. Perang antar kelompok ini bisa berlangsung mingguan bahkan bulanan.

Sesekali dalam kunjungan ke Jayapura, saya berdiskusi dengan seorang sahabat yang puluhan tahun menjadi abdi negara dan kerap masuk ke wilayah pedalaman Papua untuk membangun infrastruktur. 

Menurut pengalaman sahabat saya tersebut, dengan beragamnya suku atau klan di tanah Papua dan kepentingan golongan atau masing-masing suku yang kuat untuk menjadi terpandang atau punya status ekonomi mapan dan sosial terangkat naik boleh dikatakan adalah suatu kemustahilan orang Papua Merdeka sendirian. Dari segi kedudukan sahaja dalam keseharian di kota Jayapura sulit bersatu antara yang namanya orang gunung dan orang pantai/lembah. Konon lagi untuk bersama-sama merasa merdeka demi kepentingan sekelompok orang saja.

Pendapat ini senada dengan supir taksi maupun pegawai hotel tempat saya menginap terkait kemungkinan masyarakat adat Papua bersatu padu menjadi orang merdeka.

Dugaan Penyebab Insiden Satu Desember
Peristiwa pembunuhan terhadap petugas keamanan dan pekerja proyek diduga berjumlah semntara berjumlah 20 (dua puluh) orang yang sedang membangun koneksi jalan Trans Papua  yakni membangun jembatan penghubung Kali Yigi dan Kali Aurak, Distrik Yigi , Kabupaten Nduga, Papua  dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata yang diketuai oleh Egianus Kogoya, menurut keterangan pers pihak Kepolisian RI.

Gambaran alam jalan Trans Papua (sumber:kbr.id)
Gambaran alam jalan Trans Papua (sumber:kbr.id)
Kejahatan dengan kekerasan senjata terhadap para korban yang tak berdaya (tak bersenjata) merupakan kejahatan pembantaian tak berdasar bila dikaitkan dengan adanya salah satu korban memotret acara upacara Papua Merdeka.  

Ketua Kelompok, Egianus Kogoya diduga merupakan faksi atau sempalan Komandan sayap militer OPM (Organisasi Papua Merdeka), Kelly Kwalik yang awalnya beraksi di wilayah Kabupaten Timika juga diduga sebelumnya telah melakukan serangakaian kejahatan sebelumnya di sekitar wilayah Kabupaten Nduga baik terhadap personil keamanan saat pilkada, proyek Trans Papua, maupun penyerangan fasilitas masyarakat seperti sekolah dan puskesmas sepanjang 2017 hingga 2018 ini.

Komandan penerus OPM, Jack Kemong sudah 2012 yang lalu sudah undur dari pergerakan bersama dengan 23 anak buahnya. Lalu bila demikian mengapa masih hidup faksi OPM yang dimotori oleh Egianus Kogoya ini. Bisa jadi kelompok yang sudah tidak ada komandan menjadi tentara bayaran (mercenary) yang didanai oleh kelompok yang sepaham dengan gerakan Papua Merdeka.

Kelompok Kriminal Bersenjata, sempalan OPM (sumber: Antara)
Kelompok Kriminal Bersenjata, sempalan OPM (sumber: Antara)
Nyata kejahatan kelompok Egianus Kogoya ini cenderung dalam rangka menghentikan proses pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten Nduga, Papua. Bukan tidak mungkin bisa jadi kejahatan ini adalah perpanjangan tangan dari aktivis Papua Merdeka.

Tak dapat dipungkiri, Papua Merdeka merupakan isu yang senantiasa hidup di tanah Papua. Isu ini juga santer dipromosikan oleh seorang aktivis Papua Merdeka yang saat ini berada di Inggris juga menjabat sebagi Ketua Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka (Demmak) bernama Benny Wenda yang sejak awal mengaku membawa suara masyarakat Papua dan tidak menghendaki adanya otonomi khusus sebagaimana yang saya kutip dari artikel kantor berita BBC. Mungkinkah ada keterlibatannya?

Saya sendiri tidak dapat menduga dalang kejahatan tersebut, yang jelas siapa pun otak atau dalang dari insiden satu desember 2018 yang lalu adalah orang atau sekelompok orang yang berniat jahat  menghambat pembangunan di tanah Papua, mungkin akibat trauma kekerasan di masa lalu atau kepentingan golongan tertentu. 

Jalan Trans Papua (sumber:haipapua.com)
Jalan Trans Papua (sumber:haipapua.com)
Mari kita percayakan pihak pemerintah dibantu dengan kesatuan kepolisian dan TNI dapat memulihkan gangguan keamanan dan pembangunan Trans Papua ini.

Jakarta, 7 Desember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun