Pada Rabu, 7 Desember 2017 yang lalu saya berkesempatan mengikuti acara seminar  Sharing Knowledge tentang berwirausaha di bidang teknologi finansial, yang dikenal dengan sebutan Financial Technology (Fintech) di Menara Danamon, Kuningan, Jakarta Selatan. Acara ini merupakan salah satu rangkaian acara Danamon Entreprenuer Award 2017 yang mengangkat tema "Fintech Solusi Literasi di Era Digital" .
Dalam kegiatan tersebut dimoderasi oleh salah satu pengurus Asosiasi Fintech Indonesia yaitu Bapak Aji dengan menghadirkan dua orang panelis utama pemenang kategori Fintech dalam ajang Danamon Enterprenuer Award 2017 yakni Bapak Andrian Gunadi, perwakilan dari PT Investree Radhika Jaya sebagai pemenang The Best Fintech of The Year 2017 dan Bapak Marshall Pribadi, perwakilan dari PT Privy Identitas Digital sebagai pemenang The Best Promising Fintech of The Year 2017. Kemudian sebagai panelis pendukung ada dua orang pemenang kategori Best Small Enterprenuer yakni Ibu Nike Lidiastuti Aritovani dari Ambon dengan usaha Abon Cakalang  dan kategori Social Enterprenuer yakni Ibu Irma Suryati dari Kebumen dengan usaha kerajinan keset dari kain perca yang memberdayakan kaum difabel.
Kalau dulu saya mengenal kata buta aksara artinya ketidak mampuan untuk membaca dan menulis. Anti kata tersebut dalam bahasa Inggris dinamakan "literacy", is the ability to read and write, artinya kemampuan membaca dan menulis. Dalam banyak bahasan di berbagai kalangan masyarakat pada akhirnya diserap menjadi kata "literasi". Itulah mengapa banyak bermunculan penggunaan kata tersebut seperti literasi media, literasi digital, literasi dan inklusi keuangan, dan sebagainya.
Fintech yang sedang berkembang ini menyasar pada masyarakat yang sudah masuk ke dunia digital yang paham menggunakan smartphone dan terhubung pada jaringan internet. Fintech digadang-gadang menjadi solusi yang memudahkan masyarakat tidak hanya sebatas mengenal lembaga keuangan dan manfaatnya tetapi juga memudahkan akses investasi dan permodalan ke berbagai lembaga keuangan yang ada. Intinya fintech merupakan solusi teknologi digital yang menciptakan marketplace entah itu antara konsumen dan supplier, kreditur dan debitur, pemilik saham dengan pembeli saham, investor dan kreator, dan sebagainya. Dengan demikian literasi fintech adalah literasi gabungan antara literasi digital dan literasi dan inklusi keuangan.
Fintech dalam operasionalnya di Indonesia diatur dan diawasi oleh regulator seperti  Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebagai contoh marketplace peer-to-peer lending (pinjam meminjam antar individu atau kelompok individu) yang dibuat oleh PT Investree Radhika Jaya (Investree) diatur dan diawasi oleh OJK untuk menghindari tumbuhnya "shadow banking" sebagaimana yang terjadi di China saat ini. Kemudian produk digital signature (tandatangan digital, hasil revolusi dari tanda tangan elektronik) dari PT Privy Identitas Digital yang mengusung "Privy ID" yang memiliki izin dari Kemenkominfo dan diatur secara khusus dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE ).
Kisah Ibu Nike yang kesulitan akses menambah modal dari dunia perbankan untuk buat beli mesin dan peralatan guna mengembangkan bisnis abon cakalangnya adalah gambaran bisnis usaha kecil menengah di seluruh Indonesia. Untuk bisa mendapatkan modal dari bank adalah sulit karena regulasi perbankan yang kaku.
Dalam lingkungan usaha atau ekosistem fintech saat ini juga belum ada marketplace untuk pemodalan sistem "peer-to-peer lending". Marketplace yang digagas oleh Pak Adrian dan rekan-rekannya terbatas pada usaha kecil menengah yang beresiko gagal bayarnya kecil latau NPL-nya 0%. Usaha kecil menengah yang bermitra atau mengadakan proyek dengan perusahaan BUMN atau perusahaan besar asing seperti Telkom dan Unilever yang sudah punya invoice berjatuh tempo (pasti bayar). Misalnya agency periklanan yang mengerjakan proyek iklan untuk perusahaan besar atau pelaku industri kreatif seperti seniman atau dekorator interior atau web designer yang memiliki kerja kreasi atau proyek dengan perusahaan BUMN atau perusahaan asing ternama.
Kalau menurut pendapat saya, usaha Ibu Nike bisa diperantarai oleh Investree bila mengerjakan proyek atau bermitra dengan perusahaan BUMN dalam bidang perikanan, PT Perikanan Indonesia atau menjadi supplier untuk produk pangan Unilever misalnya.
Dalam era digital saat ini ke depannya, identitas digital akan menjadi kebutuhan bagi masyarakat digital Indonesia. Privy ID adalah teknologi identitas digital yang mencakup tanda tangan elektronik juga biodata elektronik pemakai produk. Sertifikasi dan verifikasi tanda tangan elektronik dilakukan oleh badan atau institusi terpercaya (Certification Authorithy) layaknya Master dan Visa pada kartu elektronik yakni seperti Entrust, dan sebagainya. Tanda tangan digital bukanlah tanda tangan yang merekam gambar layaknya potret melainkan menjalankan dua fungsi legalitas tandatangan, yakni menunjukan status subyek hukum dari penanda tangan (prinsip verifikasi) dan memastikan bahwa subyek penandatangan tidak menampik dokumen yang dibuatnya kemudian hari (prinsip autentifikasi). Teknologi tanda tangan digital mengadopsi asymmetric cryptography yang memiliki dua kunci dengan enkripsi khusus seperti yang bisa kamu lihat di layar Whatsapp yakni Public Key dan Private Key.Â
Secara ringkas, tidak hanya kekakuan administrasi dunia keuangan namun juga akses permodalan bagi usaha kecil yang tidak bankable(tidak ramah perbankan) bisa dijembatani dengan hadirnya para wirausaha digital atau start-up fintech. Inilah solusi literasi dan inklusi keuangan yang ditawarkan oleh salah satu komunitas Fintech Indonesia pemenang penghargaan yang bekerja sama dengan Bank Danamon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H