Apalagi bila kenyamanan dan kesejahteraan para ojek online seperti Pak Asep terancam seperti penuturan kisahnya di atas maka tentunya mengganggu fokusnya mengabdi kepada perusahaan teknologi transportasi. Â Penghasilannya kadang membuat dia tekor karena menguras tenaga dan pikirannya.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa perusahaan teknologi lebih cenderung memanjakan konsumen pemakai aplikasi dengan promo ketimbang menyesuaikan kenyamanan dan kesejahteraan mitra pengemudinya. Bahkan aplikasi transportasi seperti ini di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris menuai banyak kecaman dari sebagian besar konsumennya karena kecenderungan perusahaan teknologi tersebut memeras pengemudinya dengan jam kerja panjang dan bayaran yang rendah dengan iming-iming bonus atau insentif sulit untuk dicapai bak mitos belaka.
Seyogyanya memang perusahaan teknologi berbasis aplikasi hanya sebagai perantara layaknya aplikasi seperti Traveloka contohnya. Mitra mereka seperti hotel, maskapai penerbangan dan tempat hiburan yang menetapkan harga jualnya yang ekonomis bukan menetapkan harga super murah yang mengorbankan pendapatan dan mengancam kelangsungan bisnis mitranya.
Sepertinya ke depan mitra pengemudi di Indonesia kecenderungannya akan mengalami praktek bisnis buruk dari perusahaan teknologi berkapital besar seperti yang terjadi di Inggris dan Amerika Serikat bila mereka sama sekali hanya mengikuti penetapan tarif kilometer perusahaan. Bila demikian maka mungkin wujud solidaritas masyarakat terhadap "perbudakan terselubung" nantinya harus dihentikan dengan menghapus aplikasi dan menggunakan transportasi publik secara bijak dan menghidupkan ojek pangkalan yang ekonomis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H