Anak lelaki itu berdiri dengan tegap mengendong prakaryanya layaknya ransel. Namanya Timoci Naulusala, anak kampung pantai dan seorang pelajar Sekolah Naivicula berusia 12 tahun dari Tailevu, Fiji. Di atas panggung dan berdiri depan podium, Timoci mendeskripsikan keindahan bumi dengan pohon, lautan dan ikan pertama kali diciptakan oleh Tuhan dengan mata berbinar-binar namun ketika manusia hadir seiring perjalanan waktu masa kini, bumi berubah. Kemudian menggema nada sedih Timoci mengenang keluarganya yang telah kehilangan rumah, uang dan makanan di kampung pantainya tinggal akibat badai tahun lalu.Â
Dia mencoba mencari tahu mengapa bencana ini terjadi. Ternyata dampak perubahan iklimlah penyebabnya, ini kenyataan yang Timoci alami, sedang terjadi dan dampaknya bisa terjadi dalam semalam. Tindakan untuk menyelamatkan bumi harus segera dilakukan ujarnya kepada para pemimpin dunia termasuk Presiden negaranya dan delegasi negara peserta Konferensi Perubahan Iklim 2017 (COP 23) di Bonn, Jerman termasuk dari negara kita Indonesia.
Negara Indonesia termasuk salah satu negara yang tidak hanya meratifikasi Perjanjian Paris namun telah menindaklanjuti dengan berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon guna mereduksi dampak perubahan iklim global secara resmi kepada dunia sejak November 2016 yang lalu.
Ketua Delegasi Indonesia dalam COP 23 di Bonn, Jerman tersebut, Dr. Nur Masripatin menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan rentan terhadap perubahan iklim sehingga berencana akan mengurangi emisi karbonnya sekitar 29 hingga 41 persen melalui 5 sektor yaitu energi, limbah, kehutanan, pertanian dan proses industri dengan program yang terperinci.
Krisis energi listrik di Indonesia memaksa pemerintah menggenjot multiplikasi pembangunan pembangkit listrik seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di seluruh Indonesia yang memanfaatkan muatan lokal yang murah dan berlimpah yakni batubara. Bahkan dengan melimpahnya batubara Indonesia yang tersedia mampu mengebulkan uap penghasil energi listik hingga tiga ratus tahun atau tiga abad.Â
Indonesia sedang gencar-gencarnya memanfaatkan energi fosil batubara untuk menerangi kepulauan Indonesia dan menggerakkan perekonomian serta kesejahteraan masyarakat Indonesia. Ini menjadi alasan kuat Pak Menteri Jonan menganjurkan kepada PLN untuk menggenjot konsumsi batubara bahkan kalau perlu lokasi PLTU dibangun dekat mulut tambang.
Batubara merupakan salah satu penghasil emisi karbon yang nyata akan memperburuk pemanasan global dan berdampak negatif terhadap perubahan iklim global. Bahkan dalam pertemuan COP 23 yang berakhir 16 November 2017 yang lalu telah terbentuk kesepakatan 15 negara peserta yang membentuk aliansi anti-batubara menentang negara industri maju khususnya Amerika Serikat. Ironisnya, aliansi ini tidak digubris oleh Jerman sebagai penyelenggara konferensi diikuti oleh sekutu AS lainnya seperti Kanada dan Kerajaan Inggris.
Lantas bagaimana dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon yang dinyatakan kepada dunia global bahkan ditegaskan kembali oleh Ketua Delegasi Indonesia untuk COP 23 tadi?
Jelas ini sebuah realita nyanyian panggang Indonesia di muka peserta Konferensi Perubahan Iklim Bonn 2017. Indonesia menyuarakan nyanyian pengurangan emisi karbon namun praktiknya menggenjot pemakaian emisi karbon, ibarat peribahasa "Jauh Panggang Dari Api" yang berarti banyak bedanya, tidak kena, tidak benar. Inilah namanya Nyanyian Panggang.
Jelas sebuah langkah positif bagi Indonesia menindaklanjuti Perjanjian Paris dan komitmen mengurangi emisi karbon. Namun keterbatasan kemampuan finansial negara Indonesia cenderung berpihak kepada ekonomi berbiaya rendah meski tidak ramah lingkungan. Memang menjadi buah simalakama jadinya. Negara Indonesia melalui pemerintah Indonesia dan segenap masyarakatnya masih berproses panjang untuk menyediakaan energi dan pemerataan infrastruktur dan percepatan pertumbuhan ekonomi di seantero kepulauan Indonesia