Keberdayaan pemerintah dalam mengatur aktivitas pertambangan perusahaan tersebut yang seyogyanya berwawasan lingkungan ibarat jauh panggang dari api. Belum lagi undang-undang yang mengatur jelas tentang usaha pertambangan guna menganulir kontrak kerja pemerintahan sebelumnya, demi kemaslahatan bangsa dan negara Indonesia, khususnya manusia Papua kini mampu diakali lagi.
Hasilnya dapat diduga kontak pengerukan emas tembaga Grasberg masih akan terus berlanjut dengan metode underground miningyang disebut sebagai Grasberg Block Cave (GBC) dan Kucing Liar Block Cave (KC) yang menurut rencana akan selesai commisioning akhir 2017 dan berproduksi penuh pada tahun 2018 nanti. GBC dan KC ini memiliki miing rate, 160 ribu ton per hari akan siap untuk menghabiskan cadangan bijih sejumlah 1.357 MM tonnes dengan penghasilan tembaga (Cu)  27.8 Billion lbs dan emas (Au) 22 MM ozs diluar area tambang yang sudah berfungsi seperti Grasberg Open Pit, Deep Ore Zone, Big Gossan, dan Deep Mill Open Zone.  Cadangan terbesar biji ada di GBC yakni sebesar 962 MM Tonnes.  Rencana dengan kapasitas produksi penuh tersebut PT. Freeport Indonesia akan jatuh tempo masa ekonomisnya pada tahun 2024.
Meminggalkan banyak sekali masalah kemanusiaan dan kesehatan sebagaimana yang telah terjadi di daerah tambang emas di belahan dunia lainnya yang telah ditinggalkan seperti pengangguran, penyakit kritis entah itu HIV/AIDS, Malaria Akut Bermutasi, Silicosis, kekeringan sungai, dan akhirnya krisis air bersih. Pada akhirnya satu per satu generasi manusia Papua selama kurun setelah masa eksploitasi masif diambang kehancuran lingkungan dan sosial, ujungnya mungkin kepunahan manusia Papua yakni terusir  dari tanah sakralnya, Pegunungan Jaya Wijaya.
Sungguh Grasberg-Freeport sayang, Grasberg-Papua malang. Ibarat pepatah orang asing makan buahnya, bangsa Indonesia dapat sepahnya. Â
Timbul pertanyaan dalam batin saya: Kapan lagi Puncak Jaya atau  saya lebih suka menyebutnya Puncak Soekarno ketimbang puncak Cartensz/ Cartensz Pyramid (karena Cartensz sejarahnya diambil dari seorang penjelajah Belanda yang pertama kali saat melintas Teluk Carpentaria, perairan Australia pada hari cerah di tahun 1623 melihat gletser khatulistiwa di puncak gunung, adalah fenomena mustahil yang menjadi bahan olokan masa itu oleh pemerintah Belanda dan seluruh Eropa) dapat kita selamatkan dari kepunahan gletser? Kemudian sekelebat  datang jawabannya bagai kerasnya hembusan angin lautan Samudera Pasifik menuju puncak Maoke, mengelegar menghunjamkan sepotong syair sebuah lagu  pop: "....Matre, Ke Laut Aja"
Hmm... Puncak Soekarno sepertinya akan tenggelam dalam lautan sejarah belaka sebagai monumen satu-satunya gletser tropis di garis khatulistiwa. Hanya tinggal cerita...katanya, katanya.
Saya sejenak berpikir dan  merenung, betapa dahsyat kedigjayaan akal sehat yang punah di puncak es dan betapa dalam serta lebarnya  bangsa Indonesia jatuh ke jurang kemiskinan layaknya lubang raksasa itu.Â
Apalagi kalau saya memandang dari Puncak Soekarno yang konon pernah mencapai ketinggian 5000 mdpl. Hari itu , Kamis 6 Juli 2017 saya mendengar kabar bahwa pemerintah diduga telah menyetujui perpanjangan operasi pertambangan PT Freeport Indonesia hingga akhir. Ini sama halnya dengan miskin sampai akhir. Tragis.
Olok-olokan bangsa Belanda dan seluruh Eropa tentang gletser khatulistiwa di puncak Soekarno terhadap Jan Cartenszoon mungkin kini hampir menjadi kenyataan karena punah. Saya berimajinasi sambil membayangkan raut Jan Cartenszoon yang bersedih atas kenyataan tersebut. Dan juga membayangkan raut penemu Erstberg yang gagah menamakan daerah gunung biji Anton Colijn dkk ternyata tak seberapa kapasitas emasnya dibandingkan Grasberg (gunung lapangan rumput hijau). Apa boleh dikata, ekspedisi tersebut kini berakhir tragis dan ironi, korbannya adalah manusia dan alam Papua, lagi-lagi bangsa Indonesia.
Â