Dari data tersebut, secara rata-rata sumbangsih air tawar per tahun dari gletser dari seluruh wilayah geografis per kilometer persegi adalah sekitar 235 kilometer kubik per tahun. Bila diasumsikan dengan luasan gletser di pegunungan Jaya Wijaya saat ini, katakanlah yang berada di bagian timur NorthWall Firn dengan luas area 1,8 x 0,8 km atau sekitar 1,44 kilometer persegi.
Katakanlah dengan parameter yang sama walaupun pada iklim tropis es lebih mudah mencair (angka limpasan bisa lebih tinggi). Artinya limpasan air tawar dari pegunungan Jaya Wijaya adalah sekitar 235 kilometer kubik per tahun per kilometer persegi, dikalkulasikan dengan luasan Northwall Firn maka limpasan air tawar menjadi 338 kilometer kubik per tahun air tawar jatuh ke lembah, celah bebatuan, sungai, anak sungai terutama daerah aliran sungai (DAS) Kabupaten Mimika.Â
Walaupun hingga kini belum ada penelitian dan catatan limpasan air tawar glester namun asumsi angka tersebut di atas mampu menjawab betapa luar biasanya limpasan gletser Pegunungan Jaya Wijaya mampu membentuk sebanyak kurang lebih 94 (Sembilan Puluh Empat)  DAS Kabupaten Mimika sehingga mendapat julukan  "Negeri Di Atas Sungai" yang aliran terus membelah wilayah pemukiman masyarakat Papua daratan Papua mulai dari Timika, Jayapura hingga Nabire dan pada akhirnya bermuara di Laut Arafura, selatan Samudera Pasifik.
Sudah dapat saya bayangkan bila sekitar 40% persediaan air tawar hampir seluruh wilayah Papua adalah dari limpasan gletser pegunungan Jaya Wijaya. Pada akhirnya bila gletser hilang dalam 20 tahun mendatang bukan tak mungkin krisis air bahkan kekeringan akan melanda sebagian wilayah Papua khususnya Mimika, yang dahulu kala adalah negeri di atas sungai.
Hingga saat ini masih beroperasi pompa-pompa di Grasberg mengalirkan sebagian besar air limpasan dari gletser dan cerukan air pegunungan ke jalur produksi pengelolahan konsentrat emas tembaga perusahaan tambang, yang haus akan berton-ton kubik air guna memisahkan batuan bijih yang sudah dihancurkan oleh mesin crusher dari emas, tembaga, perak dan logam lainnya menggunakan metode floatation dan leaching. Â Kegiatan pengelolahan konsentrat emas tembaga ini sangat menguras sumber daya air kabupaten Mimika. Bukan tak mungkin di masa mendatang, sungai-sungai yang berada pada daerah aliran sungai sebanyak 94 itu sudah menjadi tercemar bahkan mungkin jumlahnya sudah berkurang karena telah mati kekeringan.
Kabupaten Mimika, Papua tidak hanya mengalami krisis gletser namun juga mengalami krisis air bersih dan sungai kering, pada nantinya. Sungguh pemandangan menyedihkan yang enggan saya saksikan atau dengar.
Aktivitas Tambang Emas dan Kepunahan Manusia Papua
Berdasarkan penelitian terakhir tahun 2010, diperkirakan gletser akan hilang pada tahun 2015. Namun hingga tulisan ini saya tayangkan masih ada gletser di kedua puncak pegunungan Jaya Wijaya meskipun sepertinya sebarannya mulai mengecil.
Perihal besaran volume gletser bahkan inventarisasi menyeluruh ekosistem dan bentangan alam serta sumber daya air Pegunungan Jaya Wijaya nyaris tidak pernah ada sebab kepedulian pemerintah atas keberlangsungan lingkungan hidup atau alam yang sehat berkesinambungan tidak jelas kentara.
Konon lagi bila dikaitkan dengan perusahaan pengelola tambang emas tembaga, yang sudah memecahkan rekor dunia dan mengubah gunung emas  Grasberg (gunung berumput hijau) menjadi mahakarya lubang raksasa yang kelihatan dari angkasa.
 Sejak awal aktivitas tambang emas semata-mata untuk mengeruk keuntungan semata bagi pemodal tanpa memperhatikan keselamatan dan keberlangsungan lingkungan hidup areal konsesi tambang. Falsafah SAM (Sustainable Accepatable Mining) yakni pengelolahan aktivitas pertambangan yang ramah sosial, berkesinambungan dan berwawasan lingkungan yang jadi model perusahaan tambang modern sejak puluhan tahun tidak pernah dilirik oleh perusahaan tambang, PT Freeport Indonesia, perusahaan afiliasi Freeport-McMoran milik Amerika Serikat.