Hampir di setiap tempat umum maupun di toilet, kerap terpampang stiker untuk membuang muntahan pinang di tong sampah supaya bersih. Sedangkan di toilet, dilarang untuk membuang muntahan pinang di closet sama halnya dengan larangan membuang pembalut wanita. Bercak merah kejinggaan marak kita jumpai di pinggiran tong sampah akibat muntahan pinang yang sulit dibersihkan entah itu bandara maupun di pusat perbelanjaan.Â
Konon kabarnya kekuasaan sesungguhnya tanah Papua dipegang oleh orang gunung namun hal ini tidak sepenuhnya di-amini oleh sebagian masyarakat Papua yang berdiam di sepanjang pesisir pantai laut atau sungai yang dikenal sebagai orang pantai. Namun yang nampak oleh keadaan saat ini cenderung bilamana yang menjabat kekuasaan adalah keturunan orang gunung maka jajaran pemerintah atau penguasa di tingkat bawah juga orang gunung.Â
Gubernur Papua saat ini yakni Bapak Lukas Enembe, dikabarkan adalah keturunan orang gunung, lahir di daerah pegunungan Tolikara. Sebelumnya pada zaman Presiden Soeharto, Gubernur Irian Jaya berada di tangan Bapak Barnabas Suebu yang konon adalah keturunan orang pantai, lahir di Sentani.Â
Stigma orang gunung dan orang pantai ini kerap kali dijadikan alat untuk memecah kebersamaan di tanah Papua hanya untuk mengejar kekuasaan atas nama golongan tertentu. Tentunya hal ini sudah saatnya digerus untuk keberlangsungan kesejahteraan semua masyarakat Papua.
Kabarnya ada pasar ternama di kota Jayapura namanya Pasar Mama-mama. Pasar Mama-mama ini awalnya adalah sekumpulan pedagang yang membuka lapak dagangan di pinggir jalan yang mayoritas adalah ibu-ibu yang menjual kebutuhan dapur dan buah pinang layaknya pasar kaget. Lambat-laun berkembang dan marak hingga menyebabkan kemacetan jalan.Â
Pada akhirnya para pedagang dan kumpulan masyarakat menggagas agar pemerintah menyediakan lahan untuk pasar Mama-Mama. Lokasi yang dipilih adalah depan hotel Aston, yakni lahan bus Damri karena dianggap strategis. Ketika saya menginap di hotel Aston, nampak bangunan menjulang tinggi layaknya gedung perkantoran namun tanpa lahan parkir, masih tersegel rapi dan pagar terkunci rapat dengan baleho raksasa menutupi jendela bertuliskan sponsor gedung dukungan BUMN untuk negeri dan rencana peresmian oleh Presiden Jokowi (tidak sempat saya ambil foto karena gelap).
Pembangunan mulai dari peletakan batu pertama hingga gedung siap operasi memang lancar namun begitu selesai mulailah berdatangan masyarakat yang mengaku lahan tersebut adalah tanah adat mereka yang mereka miliki dari nenek moyang mereka. Meskipun kabarnya sudah diganti rugi oleh pemerintah dulu namun mereka menganggap itu perjanjian tidak berlaku sekarang, karena itu perjanjian dulu, kakek dan orang tua mereka dahulu. Sekarang generasi sekarang punya hak ganti rugi dengan pemerintah sekarang sesuai ketentuan adat mereka. Boleh bangun dulu, bayar kemudian.
Hal bangun dulu, bayar kemudian memang adab pembangunan yang berlaku di Jayapura. Semua pembangunan menjadi lambat beroperasi karena uang belakang bukan uang muka. Uang belakang ini umumnya ditetapkan sekehendak hati masyarakat adat setempat, jumlahnya bisa ratusan juta hingga milyaran rupiah tergantung negoisasi dan unjuk kuasa.Â