Mohon tunggu...
EDROL
EDROL Mohon Tunggu... Administrasi - Petualang Kehidupan Yang Suka Menulis dan Motret

Penulis Lepas, Fotografer Amatir, Petualang Alam Bebas, Enjiner Mesin, Praktisi Asuransi. Cita-cita: #Papi Inspiratif# web:https://edrolnapitupulu.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Inilah Jayapura, Pace!

28 Juni 2017   22:09 Diperbarui: 29 Juni 2017   22:37 2514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir di setiap tempat umum maupun di toilet, kerap terpampang stiker untuk membuang muntahan pinang di tong sampah supaya bersih. Sedangkan di toilet, dilarang untuk membuang muntahan pinang di closet sama halnya dengan larangan membuang pembalut wanita. Bercak merah kejinggaan marak kita jumpai di pinggiran tong sampah akibat muntahan pinang yang sulit dibersihkan entah itu bandara maupun di pusat perbelanjaan. 

Marka dilarang muntahan pinang di area bandara Sentani (sumber: informasibandara.org)
Marka dilarang muntahan pinang di area bandara Sentani (sumber: informasibandara.org)
Orang Gunung vs Orang Pantai

Konon kabarnya kekuasaan sesungguhnya tanah Papua dipegang oleh orang gunung namun hal ini tidak sepenuhnya di-amini oleh sebagian masyarakat Papua yang berdiam di sepanjang pesisir pantai laut atau sungai yang dikenal sebagai orang pantai. Namun yang nampak oleh keadaan saat ini cenderung bilamana yang menjabat kekuasaan adalah keturunan orang gunung maka jajaran pemerintah atau penguasa di tingkat bawah juga orang gunung. 

Gubernur Papua saat ini yakni Bapak Lukas Enembe, dikabarkan adalah keturunan orang gunung, lahir di daerah pegunungan Tolikara. Sebelumnya pada zaman Presiden Soeharto, Gubernur Irian Jaya berada di tangan Bapak Barnabas Suebu yang konon adalah keturunan orang pantai, lahir di Sentani. 

Stigma orang gunung dan orang pantai ini kerap kali dijadikan alat untuk memecah kebersamaan di tanah Papua hanya untuk mengejar kekuasaan atas nama golongan tertentu. Tentunya hal ini sudah saatnya digerus untuk keberlangsungan kesejahteraan semua masyarakat Papua.

Budaya orang Papua Pantai di Festival Danau Sentani (sumber: indonesiatravelguides.com)
Budaya orang Papua Pantai di Festival Danau Sentani (sumber: indonesiatravelguides.com)
Foto suku Mei di Pegunungan Paniai (sumber: beautifulcendrawasih.blogspot.co.id)
Foto suku Mei di Pegunungan Paniai (sumber: beautifulcendrawasih.blogspot.co.id)
Bangun Dulu, Bayar Kemudian

Kabarnya ada pasar ternama di kota Jayapura namanya Pasar Mama-mama. Pasar Mama-mama ini awalnya adalah sekumpulan pedagang yang membuka lapak dagangan di pinggir jalan yang mayoritas adalah ibu-ibu yang menjual kebutuhan dapur dan buah pinang layaknya pasar kaget. Lambat-laun berkembang dan marak hingga menyebabkan kemacetan jalan. 

Pada akhirnya para pedagang dan kumpulan masyarakat menggagas agar pemerintah menyediakan lahan untuk pasar Mama-Mama. Lokasi yang dipilih adalah depan hotel Aston, yakni lahan bus Damri karena dianggap strategis. Ketika saya menginap di hotel Aston, nampak bangunan menjulang tinggi layaknya gedung perkantoran namun tanpa lahan parkir, masih tersegel rapi dan pagar terkunci rapat dengan baleho raksasa menutupi jendela bertuliskan sponsor gedung dukungan BUMN untuk negeri dan rencana peresmian oleh Presiden Jokowi (tidak sempat saya ambil foto karena gelap).

Spanduk tagihan sebelum ditutup spanduk BUMN (harianpapua.com)
Spanduk tagihan sebelum ditutup spanduk BUMN (harianpapua.com)
Gedung pasar mama-mama masih kosong melompong. Saya sempat bertanya kepada salah satu masyarakat sekitar perihal pasar Mama-Mama yang tersohor tersebut. Menurutnya, bangunan pasar itu sudah lumayan lama selesai pembangunannya dan Presiden Jokowi memang datang ke pasar tersebut namun dalam rangka meninjau bukan meresmikan karena uang ganti rugi lahan belum selesai dengan pemangku adat setempat. 

Pembangunan mulai dari peletakan batu pertama hingga gedung siap operasi memang lancar namun begitu selesai mulailah berdatangan masyarakat yang mengaku lahan tersebut adalah tanah adat mereka yang mereka miliki dari nenek moyang mereka. Meskipun kabarnya sudah diganti rugi oleh pemerintah dulu namun mereka menganggap itu perjanjian tidak berlaku sekarang, karena itu perjanjian dulu, kakek dan orang tua mereka dahulu. Sekarang generasi sekarang punya hak ganti rugi dengan pemerintah sekarang sesuai ketentuan adat mereka. Boleh bangun dulu, bayar kemudian.

Hal bangun dulu, bayar kemudian memang adab pembangunan yang berlaku di Jayapura. Semua pembangunan menjadi lambat beroperasi karena uang belakang bukan uang muka. Uang belakang ini umumnya ditetapkan sekehendak hati masyarakat adat setempat, jumlahnya bisa ratusan juta hingga milyaran rupiah tergantung negoisasi dan unjuk kuasa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun