Mohon tunggu...
EDROL
EDROL Mohon Tunggu... Administrasi - Petualang Kehidupan Yang Suka Menulis dan Motret

Penulis Lepas, Fotografer Amatir, Petualang Alam Bebas, Enjiner Mesin, Praktisi Asuransi. Cita-cita: #Papi Inspiratif# web:https://edrolnapitupulu.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Musim Coblos Pilkada, Kenalilah Fenomena Si Bodoh dan Si Buta Huruf

14 Februari 2017   13:43 Diperbarui: 14 Februari 2017   15:22 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemilihan Pemimpin Politik (sumber: marta monteiro/ www.nytimes.com)

Suatu masa seorang pujangga Jerman, Bertolt Brecht pernah berceloteh demikian: “Buta huruf terburuk adalah buta huruf politik, dia tidak mendengarkan, tidak berbicara, ataupun tidak turut serta dalam kegiatan politik. Dia tidak mengetahui biaya hidup, harga kacang-kacangan, ikan, tepung, sewa rumah, sepatu, obat-obatan, semua tergantung pada keputusan politik. Kebuta hurufan akan politik demikian bodohnya sehingga dia bangga dan membusungkan dadanya berkata bahwa dia membenci politik. Si dungu ini tidak tahu bahwa, dari ketidaktahuan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua, politikus jahat, perusahaan nasional dan multinasional yang korup dan bermental jongos penjilat.” 

Pada masa yang lain seorang ilmuwan jenius, Albert Einstein berseloroh: “Ada dua hal yang tak terbatas, alam semesta dan kebodohan manusia; dan saya tak yakin tentang alam semesta. Perbedaan antara jenius dan kebodohan adalah jenius memiliki batas.”

Pada masa lainnya seorang pejuang ternama, Napoleon Bonaparte mengungkapkan, “Seorang manusia akan berjuang lebih keras untuk kepentingannya ketimbang haknya. Dalam politik, kebodohan bukanlah sebuah kecacatan.”

Pada akhirnya persepsi kebodohan, buta huruf, politik dapat bervariasi dan tak terbatas.

Bahkan ada kisah yang menyiratkan bahkan mengungkapkan bahwa penyebab lahirnya pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua, politikus jahat, perusahaan nasional dan multinasional yang korup dan bermental jongos penjilat adalah hasil dari kecerdasan politik penguasa yang menghasilkan keserakahan bukan lantaran kebuta hurufan politik.

Artinya sebagaimana seorang peneliti mengungkapkan, Semakin cerdas seseorang, semakin besar bencana hasil kebodohan mereka. Hal ini termasuk dalam politik, perayaan invasi Irak berfungsi sebagai pengingat bahwa orang cerdas dapat melakukan kebodohan monumental. Kalau di Indonesia, kebodohan politik yang menimbulkan bencana yang monumental adalah mengizinkan hasil perekonomian “gunung emas” dinikmati bangsa asing.

Kembali ke pemilihan politik kepala daerah, fenomena si bodoh dan si buta huruf akan selalu menggema. Mungkin bukan hanya pilkada semata tapi tajuk pemilihan umum lainnya seperti pilpres atau pileg. Masih dalam lingkaran yang sama, yakni bodoh dan buta huruf itu tak terbatas sifatnya dan bukanlah kecacatan.

Bagi politikus tidak ada kebenaran sejati yang ada adalah kepentingan sejati. Dia akan berusaha sekuat daya untuk kepentingannya ketimbang haknya. Kepentingannya untuk berkuasa meskipun haknya sebagai manusia merdeka telah disandera dan dibelenggu oleh organisasi partai. Tentunya tidak ada yang gratis di negeri ini. Semua wajib memberikan sumbangsih atau pun upeti, bahkan rakyat melarat sekalipun. Entah itu yang namanya kasih suara, bayar pajak, bayar iuran atau retribusi dan nama lainnya. Pada musim pesta atau perayaan politik seperti ini semua bisa berperan sebagai si bodoh atau si buta huruf baik itu pemilih, yang dipilih maupun yang tidak ikut memilih (golput).

Yang terpenting, jangan ada penyesalan bilamana negeri dimana kamu tinggal menjadi diluar harapanmu. Hal ini melanda hampir sebagian warga Amerika Serikat (yang terindikasi golput) ketika pada akhirnya Donald Trump terpilih jadi Presiden AS ke- 45, mereka menjadi resah dan berdemo akibat keterpilihan dan kebijakan kontroversial Presiden Terpilih . Para golput ini merasa yakin atau berharap Hillary Clinton yang bakalan terpilih. Ternyata kenyataan berkata lain, mereka menyesal.

Juga jangan terlalu banyak menaruh harapan tinggi kepada pemimpin politik seperti semuanya wajib disediakan oleh penguasa atau pemerintah entah itu sekolah gratis, pengobatan gratis, lapangan kerja luas, rumah murah, mobil murah.

Semuanya yang gratis itu ada pengorbanannya atau ada pajak tinggi yang harus dibayar, coba lihatlah negara maju yang semuanya gratis untuk rakyatnya, pajaknya luar biasa tinggi namun warga taat pajak dan menikmati hasilnya. Karena jalan kehidupan tak sepenuhnya atau melulu dipengaruhi oleh kepemimpinan politik, bila demikian maka pada ujungnya juga penyesalan, mungkin kebencian kepada proses politik atau pemimpin politik.

Ada baiknya untuk menjadi bijak untuk diri sendiri terlebih dahulu. Mungkin bijaknya adalah keluar dari drama si bodoh dan si buta huruf adalah mengikuti nasihat Raja Paling Berhikmat Di Dunia: “Pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya, dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan roti di musim panas, dan mengumpulkan makannanya pada waktu panen.”

Jadi entah kamu memilih untuk turut serta pesta politik Pilkada besok ataupun tidak, sekurang-kurangnya kamu sudah mengenal dan memperhatikan lakunya dan menjadi bijak setelahnya.

Salam Menjadi Bijak,

Edrol70

Jakarta, 14 Februari 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun