Saya meski keturunan suku bangsa Batak Toba namun Kota Jakarta sudah mendarah daging sejak saya lahir hingga saat ini. Tampilan promosi media online, elektronik , cetak hingga spanduk di jalanan kampung tentang slogan pasangan calon Pemimpin Jakarta yang akan bertarung di Pilkada 2017 nanti menurut pandangan saya cukup menarik dan berwarna serta bervariasi namun bila setelah memperhatikan visi-misi maupun program ketiga calon mulai dari nomor urut 1, 2 dan 3 adalah ibarat setali tiga uang.
Artinya apa semuanya layaknya balon warna-warni yang indah memukau dan menarik namun isinya hanya angin belaka atau kosong. Tidak memiliki ruh atau jiwa. Hanya mengambang di awan-awan alias tidak membumi. Apalagi tidak satupun calon pasangan tersebut menjual “obat” untuk krisis yang sudah pada tahapan penyakit kritis kota metropolitan DKI Jakarta yakni masalah lingkungan hidup yang sehat: ketersediaan air bersih dan udara bersih.
Penyakit Kritis DKI Jakarta Pertama : Krisis Air Bersih
Manusia dapat secara produktif dan sejahtera bilamana lingkungan hidupnya didukung oleh oksigen atau udara segar dan bersih dan air bersih yang layak untuk dikonsumsi. Tentunya lingkungan hidup yang sehat akan menciptakan kualitas hidup yang baik.
Kualitas hidup yang baik termasuk kesehatan terjaga dengan paparan polusi udara yang rendah dan air bersih yang mudah diakses dan murah. Semuanya bisa dengan aman dinikmati oleh segenap peduduk kota metropolitan. Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan meningkat karena penduduk tidak mudah terjangkit penyakit ISPA atau penyakit lain akibat polusi udara dan rendah kualitas air bersih.
Akibat tidak tersedianya air bersih, air minum dari Perusahaan Air Minum semakin jauh dari memadai kualitas dan kuantitasnya, belum lagi harga jualnya lebih mahal dari negara tetangga kita, Singapura.
Dengan kondisi seperti ini, hampir dipastikan warga DKI Jakarta di tiap rumahnya memiliki galon air minimal 2 galon. Galon ini setiap dua hari sekali harus diisi ulang dengan air bermerk atau air pegunungan dengan harga kisaran Rp 7,000 hingga Rp 15,000 per gallon. Dengan asumsi perorangan menghabiskan 3 liter per hari dan bila dalam keluarga terdiri dari ayah, ibu dan 2 orang anak maka dalam satu hari menghabiskan 12 liter air minum per keluarga plus sekitar 7 liter untuk keperluan memasak nasi, sayur dan lauk pauk dan minuman seduh maka 1 galon air per hari dikonsumsi keluarga DKI Jakarta. Bila kita ambil harga tertinggi per gallon air adalah Rp 15,000 maka dalam sehari per rumah tangga harus mengeluarkan kocek sebesar Rp 15,000 yang dalam sebulan sekitar Rp 450,000 atau dalam setahun menelan biaya Rp 5,475,000. Menurut data BPS 2015, DKI Jakarta dihuni oleh sekitar 2,66 Juta rumah tangga. Ini artinya dalam sehari, setiap rumah tangga DKI menghabiskan uang sekitar Rp 39,9 Milyar atau sekitar Rp 14,5 Trilyun menghabiskan 184 Juta Megaliter setahun. Volume air sebesar itu dapat memenuhi sekitar 73 Ribu unit kolam renang ukuran Olimpiade, dimana setiap unit kolam memerlukan air sebanyak 2,5 Megaliter.
Penyakit Kritis DKI Jakarta Kedua : Krisis Udara Bersih
Selain krisis air bersih, kota metropolitan ibukota ini yang merupakan tampilan terdepan Negara Indonesia sudah lama mengidap polusi udara yang berbahaya.
Data yang dilansir terakhir dari stasiun ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara) DKI Jakarta di web hari ini: http://iku.menlhk.go.id/index/index/prop/31/id/ID-JK kategori sedang, itupun hanya 5 yang masih berfungsi yang sebagaian besar terletak di area taman, kantor kelurahan dan halaman parkir yang tidak efektif, dari 12 stasiun yang ada di 5 (lima) kotamadya. Kelima stasiun itu Sedang artinya tingkat kualitas udara tidak memberikan efek bagi kesehatan manusia atau hewan tetapi berpengaruh pada tumbuhan yang sensitif dan nilai estetika.
Hal tersebut tentunya masih dapat diperdebatkan akurasi dan validitas data ISPU. Lain halnya dengan hasil riset yang dilakukan pada tahun 2006 oleh Universitas Indonesia. Di tahun tersebut saja, dimana menurut riset kadar hidrokarbon yang ada di udara di wilayah DKI Jakarta menunjukkan bahwa udara di DKI Jakarta sudah jauh di bawah garis rata-rata layak untuk paru-paru. Urin masyarakat DKI Jakarta sudah mengandung kadar Polycyclic aromatic hydrocarbons(PAHs) sebanyak empat kali lipat lebih tinggi dari yang diperbolehkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Ini diperkuat lagi dengan data riset oleh KPBB yang dilansir oleh Ahmad Syariffudin, kondisi udara di Jakarta sejak 2012 lalu jauh melampaui ambang batas hingga mencapai 150 mikrogram per meter kubik padahal Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yang dikatakan indikator kualitas udara bersih jika partikel debu maksimal 60 mikrogram per meter kubik. Tambahan data lagi darinya yakni penelitian dari Kementerian Lingkungan Hidup pada 2010 mencatat 57,8 persen atau setara dengan sekitar lima juta penduduk Indonesia mengalami penyakit akibat polusi udara. Cara paling mudah menguji kalau polusi udara di lokasi tertentu sudah sangat parah bisa diketahui dari masyarakat yang menggunakan transportasi umum atau sedang berjalan kaki di pusat kota, yang mana mudah mencium bau bensin menempel pada pakaian dan kulit mereka.
Udara kotor terkait erat dengan kualitas hidup warga Jakarta sehingga warga tidak rentan terkena penyakit dan harus antri dalam pelayanan kesehatan di puskesmas dan RS mitra BPJS.
Menurut Dr Budi Haryanto, SKM, MSPH, MSC, Peneliti Perubahan Iklim dan Kesehatan Lingkungan dari Universitas Indonesia, dari studi yang dilakukannya di tahun 2010 menempatkan gangguan pernapasan sebagai penyakit yang paling banyak diderita oleh warga Jakarta. Tak tanggung-tanggung, hampir 60 persen warga Jakarta mengidap gangguan pernapasan akibat polusi udara.
"Yang paling tinggi itu Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) 25,5 persen. Kedua adalah penyakit jantung koroner kurang lebih 16 persen. Dan ketiga itu asma 12,6. Sisanya terbagi menjadi pneumonia dan lain-lainnya, yang kalau ditotal jumlahnya 57,8 persen," ungkapnya.
Promosi Obat Pilkada DKI 2017
Pilkada DKI 2017 masih promosi obat yang sama hanya beda penjualnya. Seperti pilkada sebelumnya, kedua penyakit kritis masih menjadi isu marjinal yang memang sulit dan kompleks obatnya karena sama sekali terus dibiarkan berkembang menjadi bom waktu.
Tidak satupun yang katanya pemimpin Jakarta dan calon pemimpin Jakarta memberikan perhatian khusus untuk penyakit kritis ini. Saya paham bahwa sudah banyak penelitian bahkan media nasional serta internasional yang menyoroti penyakit ini, tapi apa mau dikata hanya sekedar angin lalu. Jadi tak aneh bila dalam pilkada, tidak ada promosi obat atau rencana operasi bedah/ penanganan kedua penyakit kritis tersebut diaatas.
Bayangkan dengan biaya setahun untuk konsumsi air minum galonan sebesar Rp 14,5 Trilyun, nilai ini lebih besar daripada mengakusisi lahan hutan resapan air dengan akses tertutup untuk jangka waktu 100 tahun seluar ribuan hektare dan membangun penamupungan air mulai resapan air bersih waduk dan bendungan untuk memproses air keran siap minum seperti di Melbourne yang hanya menelan biaya Rp 1,7 Trilyun Rupaih, mampu menyimpan air 13,4 Juta Megaliter. Investasi air minum memang besar namun kan kembali ke komunitas warga dan meningkatkan kualitas hidup dan ekonomi.
Pembangunan bangunan pencakar langit dan perumahan-perumahan mewah menambah beban bagi persediaan dan resapan air kota Jakarta, tak heran wilayah pemukiman yang berdekatan dengan proyek pembangunan bangunan pencakar langit dan perumahan mewah menjadi mudah tergenang banjir, yang secara historis belum pernah banjir atau kini genangan bertambah tinggi. Hal yang lumrah, kerusakan ekologis sudah mengangga depan mata. Sudah krisis air bersih terkena banjir pula.
Guna menciptakan udara bersih Jakarta, mau tidak mau volume kendaraan pribadi harus segera dibatasi bukan hanya ditengah kota namun seyogyanya kendaraan pribadi yang masuk dari akses jalan pingggiran kota Jakarta sudah saatnya dibatasi jumlah masuknya pada saat jam sibuk pagi hari da sore hari. Pembangunan jalan layang dan jalan tol yang berfungsi mengurai kemacetan bukan menjadi solusi efektif karena volume kendaraan yang masuk wilayah Ibukota bagaikan raksasa yang berjalan di titian jembatan goyang. Selama vplume kendaraan tidak dibatasi maka kemacetan transportasi di jalanan akan selalu menghasilkan polusi udara yang sudah melewati ambang batas normal.
Pada akhirnya bila tidak segera diatasi penyakit kritis ini maka ibukota negara Jakarta hanya akan menampilkan kota metropolitan yang terbelakang dan sakit bukan maju seperti yang didengungkan selama ini.
Sudah sehatkah engkau wahai calon Pemimpin Jakarta?
Salam Sehat,
Edrol70
Sumber referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H