Iya aku terpaku
Sekilas melempar senyumÂ
Aku tak pernah bisa
Membuat mimik sedih atau tawa
Salah aku menjamu sobatku
Cuaca terik dengan minuman dingin
Vietnam drip membanjiri gelas es susu
Cobalah kopi favorit kafe ini
Nilainya setara dengan lembaran biru pejuang Bali
Biarlah aku menikmati juga
minuman favoritku
Segelas KoktailÂ
Sesaat kau terkejut menghirup aromanya
Hanya satu seruput kau nikmati
Mengapa sekejap kau semaput
Aku coba menenangkan diriÂ
menghempas tubuhku keluar dari meja 54
Meminta tolong sekenanya
Aku menyesal kejadian ini
Aku terbiasa menangis dalam hati
Aku tak pandai mengumbar tangis
Lihatlah Tengoklah
Aku sedih
Aku tersudut
Memang aku begini adanya
Aku terpapar media begitu keras
Aku disidik para pakar
Mulai pakar mikro mimik
Pakar digital forensik
Pakar psikologi
Pakar apalagi
Haruskah aku terhujat oleh zat kopi itu
Bilamana sianida itu hadir
Di muka persidangan mungkin
Bukti kejadian akan terungkap
Atau hanya bukti dugaan yang terkemuka
Yang jelas aku sedih
Tak bolehkah aku diam dalam sedihku
Perlukah variasi olah kejadian itu
Perlukah rekayasa teknologi ini
Hukum tidak selalu jawabanÂ
Kebenaran sulit diungkap
Kebenaran itu adalah sobatku mati karena sianida
Sianida milik siapa
Dimana sianida itu berada
Mengapa aku tidak ikut terpapar sianida
Aku tidak tahu
Bila sianida, aku sepatutnya hilang bersama dia
Aku sepatutnya juga lenyap dari bumi
Namun apa daya...
Jakarta, 10 Agustus 2016
(nonton sidang pengadilan di kompas TV)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H