Aku sudah renta sejak ditinggal Meneer
Sudilah Tuan dan Nyonya menjenguk Ik
Nonie kini selaku tuan rumah
Jadilah tuan rumah yang baik
Sapalah mereka
Nonie berpikir sesaat mulai menyusun kata
Welkom buat Meneer dan Mevrouw terhormat
Selamat datang Tuan dan Nyonya terhormat
Terima kasih atas kedatangan Tuan-tuan dan Puan-puan terhormat
Terima kasih atas kesudian Bapak dan Ibu mengunjungi kami
Seorang perempuan dari sepasang suami isteri berkulit pribumi keturunan Belanda nyeletuk
Tapi Nonie kalau boleh Ik minta izin bicara
Nonie menganguk setuju
Kami ini bukan orang tua mu, sebaiknya jangan panggil Bapak dan Ibu
Panggillah kami sama seperti mereka
Kami juga Tuan dan Nyonya terhormat
Kami termasuk barisan Tuan dan Puan
Lagipula kami masih berdarah Meneer dan Mevrouw
Nonie tersentak kaget
Dalam hatinya:
Itu hanya sebuah panggilan
Mengapa begitu penting
Apakah Bapak dan Ibu dianggap tidak terhormat
Apakah Bapak dan Ibu melanggar panggilan kudus untuk orang tua sahaja
Oh Tuhan... betapa miskinnya bahasa tanah kelahiranku
Betapa mudahnya salah persepsi akibat kataÂ
Lebih berharga dan terhormat menjunjung budaya asing daripada budaya tanah air
Punahnya panggilan itu
Nonie bersikadap, tanda maaf
Berlalu dari para hadirin
Sambil meramu minuman khasnya
Berangan menampilkan kata terhormat : Meneer
Sebagai "Portret" bukan sekedar potret
Tapi kisah perjalanan seorang keturunan penikmat beras pecahan
Iya seorang "menir" yang bermimpi layaknya penghormatan "Meneer"
1919.
Jakarta, 5 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H