Kalau saya mendengar kata pesta, hal pertama yang terlintas dalam pikir saya adalah perayaan kegembiraan. Semua undangan pesta tentunya turut merasakan kebahagiaan penyelenggara pesta.
[caption caption="Pilkada Serentak (sumber: liputan6.com)"][/caption]
Misal pesta ulang tahun anak , pesertanya anak-anak walaupun penyelenggaranya orang tua anak. Dekorasinya serba tema anak misal tokoh kartun anak seperti Mickey Mouse, Donald Duck, Sponge Bob, Pocoyo, Frozen, dan lain-lain mulai dari ornamen rumbai atau gaba-gaba, balon, topi, hingga kue ulang tahun menggunakan tema tokoh kartun yang disukai oleh sang anak tuan rumah.
Belum pernah ikut pesta ulang tahun anak, belum dapat mencerna makna pesta. Kalo begitu coba begini…mungkin pernah ikut atau lihat atau nonton pesta HUT Kemerdekaan RI atau dikenal acara “Tujuh Belasan” yang diadakan pengurus kelurahan atau Ketua RT atau di televisi. Apa yang dapat kita lihat dan rasakan, kemeriahan umbul-umbul, lomba gembira mulai dari balap karung, panjat pinang, gebuk bantal, makan kerupuk, dan lain-lain dan penuh kegembiraan merayakan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia meski hadiah juara lomba relatif sederhana seperti kaos, peralatan tulis, peralatan dapur, hingga sepeda. Peserta yang menang dan kalah sama-sama gembira dan memperoleh kebahagiaan tersendiri, tidak ada yang ngotot bermain curang guna menjadi pemenang.
Bagaimana pula dengan pesta demokrasi? Toh negara Indonesia baru saja menyelenggarakan pesta demokrasi tanggal 9 Desember 2015 yang lalu, boleh saya katakan pesta demokrasi serentak terbesar di dunia… mungkin memecahkan rekor dunia untuk skala negara demokrasi internasional. Berani bertaruh, peringkat Indonesia per hari ini adalah Rangking Pertama Negara Demokrasi Terbesar di Dunia. Boleh saya uraikan singkat jumlah lokasi pesta dan jumlah peserta serta biaya pesta demokrasinya.
Jumlah Lokasi Pesta : 269 daerah pesta , yakni 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 36 Kota (246.739 lokasi pesta)
Jumlah Peserta Pesta : 100.374.317 orang undangan (Laki-laki: 50.253.046, Perempuan: 50.120.890) termasuk 829 pasangan peserta lomba (690 dari partai politik, 139 pasangan jalur perseorangan)
(sumber: kpu – link https://data.kpu.go.id/dpt2015.php)
Biaya Pesta : Rp 7, 1 Trilyun (7.100.000.000.000) termasuk biaya kampanye (pembuatan bahan-bahan kampanye, pembuatan alat peraga kampanye, debat public dan penayangan iklan)
Sumber Dana Pesta : APBD (kecuali biaya pengamanan kepolisian)
[caption caption="Tumpukan Uang Trilyunan Buat Pilkada (sumber:media.viva.id)"]
Banyak saya lihat di media televisi dan media internet, berdasarkan analisa hasil hitung cepat pasangan pemenang lomba walaupun berindikasi bermoral rendah seperti tersangkut perbuatan curang (korupsi) ataupun petahana yang kinerjanya buruk tetap memperoleh tempat sebagai pemenang.
Para peneliti dan pembicara kajian politik dan demokrasi cenderung mentahbiskan bahwa peserta yang memilih peserta lomba tidak memperdulikan apakah peserta lomba bermoral rendah atau curang melainkan gambar atau nama yang sudah dikenal. Ini artinya seperti pendapat salah satu pengamat politik dari kalangan universitas, sebelum pesta dilaksanakan mengamati bahwa peserta lomba berkualitas rendah dan kurang dikenal atau boleh dikatakan belum pernah terlihat bekerja atau tampil di daerah perlombaannya.
Menurut pandangan saya, pesta demokrasi berhasil menghamburkan uang rakyat untuk menetapkan pemenang yang cenderung berkualitas rendah. Pemenang karbitan ini akan selama masa 5 (lima) tahun tentunya bila berasal dari komplotan partai politik maka akan lebih banyak disetir oleh pimpinan partai dari pada dikendalikan oleh hati nurani rakyat.
Kalau dilihat dari antusiasme teman-teman yang sempat saya tanyakan, kebingungan memilih hingga gagal paham calon pasangan yang ditetapkan (yang akan dipilih) alhasil datang ke lokasi pesta dan asal memilih atau bahkan mentidak-sahkan kertas suara. Ada pula yang absen ke lokasi pesta dan lebih memilih ke taman hiburan atau pusat perbelanjaan mumpung libur nasional.
Pesta demokrasi yang dipaksakan sepertinya. Mengintimidasi rakyat yang tidak datang ke lokasi pesta sebagai golongan abstain atau dikenal dengan GOLPUT, yang memvonis kalau pemimpinnya tidak amanah karena tidak ikut serta pesta.
Boleh dikatakan intimidasi terhadap golput atau pemimpin tidak amanah akibat tingginya golput atau merusak iklim demokrasi. Ini secara logika adalah bentuk provokasi racun alias tidak berakal sehat. Logika sederhana seperti cerita ini:
“Si Dablek walaupun tamatan SD tapi kalau soal masa depan anak tahu memilih yang sekolah terbaik untuk anak pertamanya. Dablek akan melakukan riset dengan tanya-tanya kepada tetangga, saudara, iklan di TV ataupun di facebook tentang sekolah dasar terbaik untuk anaknya. Berdasarkah hasil risetnya diperoleh informasi sebagai berikut:
SD no.1, guru sekolah lulusan S2, kepala sekolah lulusan S3, ditetapkan oleh banyak organisasi sebagai sekolah dasar ramah anak dan berprestasi. Biaya pendidikan mahal dan letaknya sekitar 50 km dari desanya, artinya anaknya harus kost dekat sekolah, tambah biaya hidup.
SD no.2, guru sekolah lulusan S1, kepala sekolah lulusan S2, kualitas pengajaran biasa-biasa saja. Biaya pendidikan beda tipis dengan SD dan letak sekolah sekitar 10 km dari desa sehingga harus naik kendaraan seperti antar sepeda motor atau angkot.
SD no. 3, guru sekolah lulusan SPG, kepala sekolah lulusan D3, kualitas pengajaran di bawah standar, pengajar sangat galak terhadap murid, prestasi sekolah nyaris tidak ada. Biaya pendidikan murah bisa dibayar dengan hasil bumi dan lokasi sekolah 2 km dari desa.
Sesuai dengan impian Dablek maka dia kan memilih SD no.1 tetapi semua tetangga dan saudar dekat mengintimidasinya karena Dablek akan bangkrut dan anaknya bisa putus tengah jalan. Dablek dikatakan sebagai orang gila dan sok kaya. Dablek impiannya adalah anaknya tidak ingin anaknya bernasib sama dengan dia. Dulu orang tuanya, teamn kerabat dan keluarga hanya menyodorkan SD No.3 itupun kadang Dablek tidak bis asekolah karena guru lebih banyak berlibur dari pada mengajar. Dablek sudah melek pendidikan, dari hasil bertani Dablek banyak menyisihkan uang untuk beli buku menambah wawasan dan pengetahuan dan biaya pendidikan si anak. Wawasan dari buku telah membuatnyamengembangkan pendapatan hasil taninya. Menurut Dablek, biaya sekolah dan biaya hidup anak bila diantar ke SD No.1 adalah tujuan hidupnya sejak dulu sehingga kelak anaknya mampu menjadi generasi yang berprestasi dan berkarya buat desa dan negara. Biaya tersebut memang mahal tapi Dablek mampu bersusah-susah makan seadanya demi anaknya menikmati keindahan pendidikan berkualitas. Dablek sudah lama menabung dan menunggu hari depan cerah bagi anaknya dan tidak memaksakan anaknya untuk bernasib sepertinya di SD No.3.”
Kawan-kawan pembaca memilih posisi peran pada cerita tersebut sebagai Dablek, anak Dablek, tetangga Dablek, Saudara Dablek kah atau guru atau kepala sekolah?
Media massa atau opini masyarakat yang mengharamkan GOLPUT adalah seperti saudara, kerabat, tetangga Dablek.
Peserta Lomba Pesta Demokrasi saat ini tak ubahnya dengan SD No.3. Gagal paham makna demokrasi, merayakan pesta kosong. Merayakan seremonial bukan eksistensi fungsi demokrasi. Mengaminkan pemaksaan pemilihan pemimpin karbitan. Membongkar kebobrokan kaderisasi partai politik. Mempertanyakan efektifitas pendidikan politik dan kepemimpinan pada partai politik.
[caption caption="Dablek (sumber:kamusbesar.com)"]
Saya di sini bukan mengajak kawan-kawan menentang pesta demokrasi namun mengajak berpikir Dablek. Memilih yang terbaik untuk masa depan generasi mendatang bukan memaksakan formalitas “harus memilih”
Selamat Dablek
Jakarta, 10 Desember 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H