The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970); The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan HB Jassin (Singapore: University Education Press, 1974); Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978); The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993). Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).
Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: “Krawang-Bekasi”, yang disadurnya dari sajak “The Young Dead Soldiers”, karya Archibald MacLeish (1948). Dia juga menulis sajak “Persetujuan dengan Bung Karno”, yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.
Bahkan sajaknya yang berjudul “Aku” dan “Diponegoro” juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka. Dan ”Aku ” bukan hanya abadi sebagai puisi yang dibacakan pada kelas-kelas pelajaran Bahasa Indonesia atau acara sastra di Indonesia namun juga di Negara Belanda karena karyanya berjudul ”Aku” terprasastikan di dinding Kampus Leiden Belanda. Sungguh karya tersebut membanggakan Indonesia dan juga pengakuan negeri lain terhadap karya kesusatraan kita.
Sepenggal Kisah Cinta Sang Penyair
Kisah sang penyair Chairil Anwar ini bermula di Pantai Cilincing, daerah Jakarta Utara. Suatu hari yang cerah di tengah musim penghujan tahun 1943, Chairil yang asik membaca buku tak menyadari ada seorang perempuan memperhatikannya. Perempuan bernama Sumirat ini terpaku memandang Chairil yang tampak asik dengan buku di tangan dan abai dengan keramaian sekitar.
Sumirat, murid dari pelukis Affandi ini hanya mampu memandang hingga di kemudian hari dirinya mampu berkenalan dengan Chairil Anwar. Chairil kala itu hanyalah penyair kere dengan penghasilan tak menentu. Namun rasa cinta Mirat mengabaikan segala kemiskinan dan cibiran orang yang mengatakan masa depan Chairil suram. Mereka menjadi sepasang kekasih selang berapa lama kemudian, seperti tinta dan canvas, seperti kata dan kertas.
Kehidupan mereka tampak indah dan serasi dengan lukisan Mirat yang menemani Chairil, pun puisi Chairil bersama lukisan Mirat. Namun bukanlah hidup jika tidak memberi masalah. Mirat diminta pulang kampung ke Madiun oleh orang tuanya. Chairil berjanji untuk menyusul dan segera melamar Mirat.
Namun jurang si kaya dan si miskin menjadi halangan bagi Chairil untuk bisa bersama dengan Mirat. Hanya lembaran puisi yang mampu ia bawa untuk menemui orang tua sang kekasih. Lamaran itu pun berakhir dengan jawaban, "carilah dulu pekerjaan yang tetap baru nanti kita bicarakan lagi", oleh orang tua Mirat. Dalam salah satu sajaknya berjudul Sajak Putih-buat tunanganku Mirat, Chairil menuliskan:
Buat Miratku, Ratuku! Kubentuk dunia sendiri,
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!
kucuplah aku terus, kucuplah
dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku
Selang berapa lama setelah Chairil pergi kembali ke Jakarta dengan membawa sakit hati karena penolakan orang tua Mirat, pendudukan Jepang berkobar dan kekacauan meluas. Mereka tak mampu lagi saling berkomunikasi hingga kabar pernikahan Chairil mendatangi Mirat pada tahun1946. Chairil masih sempat menuliskan puisi untuk Mirat berjudul Mirat Muda, Chairil Muda, bait terakhir puisi tersebut berisi :
Dianya pada Chairil makin sehati,
Hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan chairil dengan deras
Menuntut tinggi tidak setapak berjarak dengan mati
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.