Mohon tunggu...
Edrick EmilioSam
Edrick EmilioSam Mohon Tunggu... Mahasiswa - seorang yang sedang berlatih

sedang berlatih

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

"Worth It" kah Belajar Piano bagi Masa Tua?

11 November 2021   04:52 Diperbarui: 11 November 2021   04:55 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Ada sebuah penelitian yang menyatakan bahwa “adolescents with music training have better cognitive skills and school grades and are more conscientious, open and ambitious.”[1] Tetapi, seseorang nantinya akan mengalami kemampuan secara fisik dan kognisi (misal dalam aspek fluid intelligence). Apakah ini berarti orang tersebut akan sia-sia dalam mempelajari piano hingga tua? Bagaimana dengan orang yang telah berumur namun belajar piano? Apakah worth it? Di artikel ini akan dibahas lebih lanjut mengenai kemampuan bermain piano dengan pemakaian The Cattell-Horn theory tentang fluid dan crytallized intelligence serta kegunaannya. 

Menurut Raymond Cattell dan John Horn, intelegensi terdiri dari sejumlah kemampuan berbeda yang berinteraksi dan bekerja sama untuk menghasilkan kecerdasan individu secara keseluruhan. Fluid intelligence merupakan sebuah kemampuan untuk berpikir, bernalar secara abstrak, dan mengatasi masalah. Kemampuan ini memiliki pengaruh learning experience yang sedikit. Menurut penelitian, ada beberapa aspek dari fluid intelligence yang dapat dikembangkan pada orang dewasa dengan brain training

Sebaliknya, crystallized intelligence merupakan “abilities which depend most on sociocultural influences.”[2] Crystallized intelligence terbentuk melalui banyak kumpulan fluid intelligence saat suatu informasi abstrak dipelajari dimana informasi-informasi tersebut bisa dimasukkan dalam memori jangka panjang dengan bentuk lebih aplikatif (menjadi crystallized intelligence). 

Perbedaan antara keduanya ialah fluid intelligence mengalami penurunan setelah memasuki umur 30-40 tahun, sedangkan crystallized intelligence dapat terus dikembangkan hingga seseorang berumur 70 tahun jikalau aktif. Awalnya, teori ini dicetuskan oleh Charles Spearman dengan nama two-factor theory of intelligence. Teori tersebut menyatakan bahwa “every ability can be divided into two contributions: (1) a general mental ability which it shares with all other abilities and (2) an ability absolutely specific to that performance.”[3]

Ada interkoneksi antara fluid dan crystallized intelligence, termasuk dalam bermain piano. Mahir bermain piano merupakan sebuah kemampuan yang dapat dilatih, namun saat pertama kali mempelajarinya seseorang perlu memproses informasi yang abstrak dan belum dapat diaplikasikan secara langsung. 

Contoh, dalam melakukan sight-reading, seseorang harus membaca, memproses, menginterpretasi partitur yang belum dipelajari secara cepat sehingga perlu membangun strategi  dengan tepat (fluid intelligence). Namun dalam prosesnya, orang tersebut memanggil kembali informasi mengenai penggunaan teknik/gerakan tangan yang telah terbentuk dan pemahamannya akan ciri lagu yang sejenis demi penginterpretasian yang sesuai (crystallized intelligence). 

Dalam konteks seseorang yang melakukan improvisasi, ia perlu berstrategi dalam menganalisa dan menginterpretasikan lagu dengan waktu terbatas (fluid intelligence). Namun dalam prosesnya, ia memanggil kembali teknik improvisasi yang ia kuasai secara teknis dan pemahamannya akan improvisasi berdasarkan pengalamannya (crystallized intelligence). Dengan demikian, menurut penulis bermain piano bukanlah suatu kegiatan yang sia-sia selama ada perkembangan fluid dan crystallized intelligence dalam prosesnya.            

Ada sebuah artikel penelitian yang dipublikasikan oleh Psychology of Music dengan judul “Superior fluid cognition in trained musicians.” Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan lebih lanjut penelitian akan pengaruh latihan musik terhadap fungsi kognitif. Alat tes yang digunakan ialah National Institute of Health Toolbox Cognitive Battery dengan peserta berumur 18-29 tahun yang dibagi menjadi 3 golongan: music experts, music amateurs, dan non-musisi. Beberapa klasifikasi peserta yang digunakan ialah dengan melihat kapan peserta memulai musik, berapa lama telah menjalaninya, dan penilaian diri akan sight-reading serta improvisasi. 

Dibanding dengan golongan peserta yang lainnya, peserta dengan klasifikasi music experts memiliki nilai yang lebih tinggi dalam fluid cognition, namun perbedaan yang signifikan dapat dilihat dalam aspek working memory, executive function, processing speed, dan attention.

Aspek working memory bisa saja dikembangkan oleh musisi saat memulai mempelajari suatu lagu dengan pendengaran saja, sembari memberi atensi terhadap partitur, dan instrumen secara bergantian. Aspek executive function mencakup perencanaan, sequencing, problem-solving, inhibtion, task-switching, dll., namun alat tes ini lebih fokus terhadap task-switching dan inhibition. Musisi mengalami proses perlu mengubah pemetaan respons stimulus lama agar terbentuk sebuah kebiasaan yang baru. Musisi juga perlu melakukan task-switching dan multitasking dalam memainkan instrumen yang memerlukan koordinasi berbeda secara independen. Aspek processing speed dalam tes ini diukur dengan secepat apa para peserta dapat meresponi stimulus secara akurat. Musisi perlu memproses secara cepat stimulus yang diterima, mengambil keputusan, dan motor output. Processing speed merupakan kemampuan fluid cognition yang pertama menurun seiring bertambahnya usia. Oleh sebab itu, processing speed belum tentu ditingkatkan berdasarkan lamanya belajar musik.  Terakhir, aspek attention mengukur inhibisi khususnya materi visual yang menggunakan flanker task sebagai alat ujinya. Aspek ini dapat dikembangkan oleh musisi saat fokus membaca partitur bagiannya sendiri/hanya melihat aspek penting saja dalam membaca partitur.

Dari pembahasan sebelumnya, dapat dilihat bahwa terdapat fluid intelligence yang dapat dikembangkan dalam menjalani pelatihan musik. Tetapi, fluid intelligence akan menurun setelah umur tertentu. Apakah ini berarti belajar piano merupakan suatu hal yang sia-sia sebab tidak berguna bagi orang yang lebih tua? Biasanya orang tua mengalami penurunan kemampuan fisik dan kognitif seperti gangguan pendengaran, penurunan akurasi gerakan, gangguan persepsi visual, dll. 

Dengan demikian, akan ada lebih banyak kendala bagi mereka yang berumur dibanding yang masih muda (misal masalah memori jangka pendek dan kesulitan mempelajari konsep musik). Namun, perlu diingat bahwa dua keterbatasan tersebut tidak selalu berjalan beriringan dan “while many people claim that their intelligence seems to decline as they age, research suggests that while fluid intelligence begins to decrease after adolescence, crystallized intelligence continues to increase throughout adulthood.”[4]  Maka dari itu, ada kemungkinan orang yang berumur menjalani pelatihan musik dengan tujuan yang berbeda seperti untuk creative aging, kesejahteraan, dan kualitas hidup. 

In its reliance on past experiences, crystallized intelligence also provides a link with the role that memory plays in music making experiences for older adults.”[5] Terdapat suatu penelitian dimana pengidap Alzheimer dapat mengingat lagu yang pernah didengarnya dulu. Ini disebabkan oleh teraktivasinya memori yang tersimpan dalam medial prefrontal cortex, dimana bagian otak ini merupakan salah satu yang terakhir terdampak oleh Alzheimer. Dalam penelitian lain, orang yang memiliki kerusakan pada lobus temporalnya sekalipun masih dapat menunjukkan reaksi emosi dari perbedaan melodi yang ada. 

Hasil dari sebuah studi eksperimental yang dilakukan oleh Bugos et al. (2007) menyatakan bahwa dalam mereka menguji “Individualized Piano Instruction” (IPI), keterampilan yang dilakukan berpotensi mengintegrasikan beberapa jaringan syaraf sehingga dapat mengurangi/mencegah penurunan kognitif akibat usia. Selain itu, efek ini dapat terjadi tidak hanya dalam bagian kognitif musik saja. Musik dalam penggunaannya sebagai alat terapi untuk korban dementia dapat berkontribusi dalam aspek bahasa, agitation levels, dan ingatan akan diri sendiri. 

Menurut ahli, mendengar musik juga baik untuk para orang yang telah berumur, sebab otak dewasa memiliki plastisitas yang cukup besar sehingga dapat sementara mengubah korteks pendengaran dan meningkatkan attentional processes bagi orang tua yang sehat/yang terjangkit dementia sekalipun. Dengan demikian, mendengar dan belajar musik diyakini memiliki koneksi positif dengan aktivitas otak, namun bagian otak spesifik mana yang terkena efeknya dapat berbeda tergantung banyak faktor (seperti merupakan sebuah rekaman/tidak, berlirik/tidak). 

Pengetahuan tentang instrumen dan musik juga mempengaruhi cara otak mendengar musik (misal gerak tubuh mengikuti alunan musik akibat teraktivasinya korteks motorik dan menebak kelanjutan dari musik yang ada berdasarkan pengalaman dengan lagu-lagu lain akibat teraktivasinya cerebellum).

Secara konklusif, tidak sia-sia bagi orang yang telah tua untuk mempelajari piano, termasuk bagi yang telah menekuninya sejak muda. Belajar musik dapat membuat otak mengambil alih bagian tertentu yang rusak saat mempelajari suatu hal dan nantinya memulai suatu proses belajar secara positif. Di luar segi kognisi, musik (secara aktif/pasif) dapat meningkatkan subjective wellbeing (berhubungan dengan kualitas hidup dan kebahagiaan). 

Ini bisa saja terjadi karena mendengarkan suatu lagu favorit yang berfungsi sebagai katarsis sehingga merasa lebih “bahagia”, terjalinnya koneksi sosial dengan pecinta musik sejenis, rasa bangga dapat menguasai suatu lagu, dll. Efek positif pada kognisi dan kesejahteraan untuk orang tua tergantung pada kualitas/kesuksesan dari aktivitas bermusik, terutama melalui kesenangan yang dirasakan. “This success depends on the learning situation, the didactics, and the communication of teacher and learner.”[6] 

Dengan demikian, dibutuhkan suatu geragory musik yang baik (bagi orang tua) sehingga dapat membimbing mereka belajar instrumen dengan efek meningkatkan kemampuan kognitif dan kesejahteraan (minimal mencegah pengurangan keduanya). Sebagai penutup, menurut penulis belajar piano itu worth it, namun pilihan tersebut kembali lagi terhadap penilaian masing-masing individu. 

Footnote:

[1] Adrian Hille dan Juergen Schupp, “How Learning a Musical Instrument Affects the Development of Skills” SOEPpaper No. 591 (September 2013), 3, https://ssrn.com/abstract=2338467 (diakses 10 November 2021).

[2] Richard L. Sprott, ed., Age, Learning Ability, and Intelligence (New York: Van Nostrand Reinhold Company, 1980), 47.

[3] Raymond B. Cattell, Intelligence: Its Structure, Growth, and Action (Amsterdam, Netherlands: Elsevier Science Publishers B.V., 1987), 23.

[4] Ben Boog dan Rosie Burt-Perkins, “Healthy ageing through music and the arts: a conceptual framework” Semantic Scholar Corpus ID: 221089084 (September 2009), 7, https://www.semanticscholar.org/paper/Healthy-ageing-through-music-and-the-arts%3A-a-Boog/510812b2acff3fef492064e8aefbd6485a408ed6#extracted (diakses 28 Oktober 2021).

[5] Ben Boog dan Rosie Burt-Perkins, “Healthy ageing through music and the arts: a conceptual framework” Semantic Scholar Corpus ID: 221089084 (September 2009), 8, https://www.semanticscholar.org/paper/Healthy-ageing-through-music-and-the-arts%3A-a-Boog/510812b2acff3fef492064e8aefbd6485a408ed6#extracted (diakses 28 Oktober 2021).

[6] Ben Boog dan Rosie Burt-Perkins, “Healthy ageing through music and the arts: a conceptual framework” Semantic Scholar Corpus ID: 221089084 (September 2009), 14, https://www.semanticscholar.org/paper/Healthy-ageing-through-music-and-the-arts%3A-a-Boog/510812b2acff3fef492064e8aefbd6485a408ed6#extracted (diakses 28 Oktober 2021).

Daftar Pustaka:

Boog, Ben dan Rosie Burt-Perkins. “Healthy ageing through music and the arts: a conceptual framework.” Semantic Scholar Corpus ID: 221089084 (September 2009). https://www.semanticscholar.org/paper/Healthy-ageing-through-music-and-the-arts%3A-a-Boog/510812b2acff3fef492064e8aefbd6485a408ed6#extracted (diakses 28 Oktober 2021).

Cattell, Raymond B. “Intelligence: Its Structure, Growth, and Action.” Amsterdam, Netherlands: Elsevier Science Publishers B.V., 1987.

Cherry, Kendra. “Fluid vs. Crystallized Intelligence.” Verywellmind.com, August 23, 2021. https://www.verywellmind.com/fluid-intelligence-vs-crystallized-intelligence-2795004 (diakses 10 November 2021).

Hille, Adrian dan Juergen Schupp. “How Learning a Musical Instrument Affects the Development of Skills.” SOEPpaper No. 591 (September 2013). https://ssrn.com/abstract=2338467 (diakses 10 November 2021).

Jacobs, Tom. “More Evidence that Trained Musicians are Superior Thinkers.” Psmag.com, November 19, 2018. https://psmag.com/education/more-evidence-that-trained-musicians-are-superior-thinkers (diakses 10 November 2021).

Meyer, Jin, Pinar Gupse Oguz, dan Katherine Sledge Moore. “Superior fluid cognition in trained musicians.” Dalam Psychology of Music (2018): 1-14.

Perera, Ayesh. “Fluid vs Crystallized Intelligence.” Simplypsychology.org, December 14, 2020. https://www.simplypsychology.org/fluid-crystallized-intelligence.html (diakses 10 November 2021).

Sprott, Richard L., ed. Age, Learning Ability, and Intelligence. New York: Van Nostrand Reinhold Company, 1980.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun