Ujungnya, di akhir abad ke 20, ideologi kapitalis yang dikampanyekan negara-negara Barat menjalar dan merasuki pemerintah di hampir sebagian besar negara. Mereka telah menyembah dan mendewakan uang. Tanpa modal negara akan sulit maju dan berkembang. Salah satu contohnya Rusia dan China. Kedua negara tersebut dulunya adalah negara penganut paham sosialis, namun kini mereka sudah berubah menjadi negara kapitalis. Menjunjung kekuatan modal untuk menguasai ekonomi dunia dan kedaulatan sebuah negara.
Pemikiran kapitalis dan kekuatan modal inilah yang dipakai dalam mewujudkan sebuah mimpi untuk memberikan kesempatan masyarakat Jakarta dan Bandung bangga memiliki transportasi modern berupa Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Tujuannya sebenarnya mulia sekali, membuka akses ekonomi Bandung sebagai propinsi yang akan mendapatkan cycle impact pesatnya pertumbuhan ekonomi Jakarta. Kereta ini juga akan membuka lapangan kerja cukup besar, dan tujuan lain memudahkan transportasi masyarakat dari Jakarta ke Bandung.
Untuk mewujudkan impian bangsa Indonesia memiliki kecanggihan dan kehadiran Kereta Cepat monorel itu butuh dana tidak sedikit. Investor China yang sudah memiliki komitmen harus merogoh kocek mereka sebesar 5,5 Miliar Dolar Amerika atau setara dengan Rp 75,9 Triliun. Dan mereka pasti berpikir uang itu harus kembali. Tentunya kembali modal dan keuntungan. Itulah hukum ideologi kapitalisme.
Kita harus kembali merenung dan evaluasi diri. Jika melihat fenomena pesatnya ideologi kapitalis merasuki bangsa ini, kita tentu mengelus dada. Dahsyatnya pengaruh kaum kapitalis itu sudah diramal the Founding Father kita, Bung Karno. Oleh karena itu tanpa kenal lelah dan terus konsisten Bung Karno berjuang mengobarkan semangat ideologi Pancasila yang dibangun untuk mempersatukan bangsa ini. Ideologi Pancasila dengan ikon semangat gotong royongnya dalam membangun kemandirian ekonomi sebuah bangsa. Kenapa ini tidak kita lakukan ya???
Bangsa kita sudah melupakan Pancasila yang menjadi roh kita bersatu dalam solidaritas hidup dan mati sebagai bangsa Indonesia. Kenapa sih kita tidak bisa membuat konsep dan sistem ekonomi Pancasila yang menjunjung tinggi semangat gotong royong. Semisal, investasi membangun lembaga penyiaran mahal. Kenapa sih TV-TV daerah kita tidak saweran atau bergotong royong membangun satu infrastruktur bagus dan bisa dipakai berame-rame agar investasinya lebih murah dan adil bagi semua. Inilah sebenarnya jatidiri bangsa kita. Selalu membangun semangat kebersamaan dalam keadilan dan pemerataan.
Kenapa sih proyek Kereta Cepat ini tidak dibangun secara gotong royong? Dengan kerelaan masing-masing potensi bangsa untuk rela dan ikhlas demi merah putih, menyumbangkan apa yang ia miliki. Potensi bangsa yang punya pabrik baja rela menyumbangkan produk bajanya untuk rel kereta dengan harga yang layak demi bangsa. Dan yang penting agar pabriknya terus berproduksi dan tidak mati karena tak ada order. Bahkan rela dibayar dengan cicilan ketika usaha mengelola keretanya sudah jalan.
Kenapa sih yang punya perusahaan beton semen tidak rela dan ikhlas menyumbangkan betonnya sebagai penahan rel baja. Meski tidak harus menuntut biaya tinggi demi rakyat dan demi merah putih. Kenapa sih pabrik pembuat kereta tidak mencoba membangun prototipe kereta ringan dengan rasa keikhlasan demi bangsa.
Bukan seperti mental bangsa kita saat ini. Banyak orang kita yang bekerja hanya jika dibayar tuannya. Tidak mau kerja kalau tidak digaji atau diberi uang. Semua diukur dengan uang. Kalau konsepnya tetap seperti itu, kita akan tetap menjadi bangsa kacung (bangsa budak,red).
Kalau rakyat kita, khususnya orang-orang pintar yang kini duduk dan mengendalikan uang rakyat baik di pemerintahan maupun BUMN bisa merevolusi mentalnya untuk menjadi bangsa maju dan tidak menggantungkan uang sebagai ukuran dan dewa, saya yakin kereta cepat itu akan terbangun dengan konsep ideologi Pancasila, yakni gotong royong. Sebuah ideologi yang menurut saya sudah sulit diwujudkan dan diresapi oleh bangsa kita yang saat ini sudah menjadi hamba uang.
Karena sekarang ini saya menilai pekerjaan atau aktiviras semua diukur dengan uang, pekerjaan dinilai sebagai proyek. Keberhasilan pembangunan dan mensejahterakan rakyat harus diukur dengan uang atau modal besar. Seperti di jaman kerajaan dulu ketika kita mengundang Belanda berinvestasi di bumi nusantara. Akhirnya selama 350 tahun hidup kita bergantung dari belas kasihan uangnya orang Belanda. Kita lebih suka menjadi buruh mereka.
Saya jadi ingat ketika orang tua saya di desa dulu ingin membangun rumah. Dia tidak perlu mengeluarkan biaya besar. Cukup menyiapkan makanan ala kadarnya. Tetangga dan seluruh masyarakat desa dengan ringan tangan akan datang dan membantu membangun rumah itu, menaikkan soko kayunya, menaikkan gentengnya sampai rumah itu berdiri tanpa bayaran, tanpa pamrih. Rumah berdiri berkat gotong royong warga satu desa yang tidak ingin tetangganya menderita karena tidak punya rumah. Inilah pelajaran filosofi yang diajarkan orang tua kita di desa di masa lalu. Dan sekarang sudah punah digerus jaman.