Mohon tunggu...
Edo Media
Edo Media Mohon Tunggu... Jurnalis -

Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jika Pendidikan Gagal Bangun Kejujuran

14 Juli 2015   01:03 Diperbarui: 14 Juli 2015   01:03 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perburuan sekolah berstatus negeri, baik di Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun Sekolah Menengah Umum (SMU) menyisakan banyak kepedihan para orang tua wali murid. Suara sumbang dan gugatan ketidakadilan bermunculan disana-sini. Entah benar entah tidak. Atau karena faktor emosionalitas para orang tua yang gagal mendudukkan putra putrinya bisa belajar di bangku sekolah negeri. Namun cerita klasik ketidak adilan dan fenomena "siswa titipan" dalam kegiatan penerimaan siswa peserta didik baru di sekolah negeri sudah puluhan tahun jadi momok dan jadi mafia yang tidak pernah bisa diberantas penyakitnya.

Suara sumbang dalam kegiatan penerimaan siswa baru di sekolah negeri muncul mulai dari isu pengatrolan nilai hingga kasus memanfaatkan jabatan untuk menitipkan siswa ke sekolah yang dituju. Isu pengatrolan nilai ini muncul ketika beberapa siswa secara kolektif mendadak memiliki Nilai Ebtanas Murni (NEM) yang "diluar kewajaran" padahal siswa tersebut tidak pernah meraih prestasi rangking atau nilai bagus mata pelajarannya saat belajar di bangku sekolah. Isu ini sempat dikeluhkan beberapa orang tua siswa namun dia tak berdaya karena sistem penilaian NEM menjadi wilayah atau ranah dari Dinas Pendidikan. Dan guru sekolah pun tak mampu menjelaskan fenomena tersebut.

Isu kedua yang marak diperguncingkan diantara para orang tua siswa adalah "jual beli" bangku kosong hingga titipan pejabat Dinas atau "orang kuat" tertentu di beberapa sekolah. Memang sulit membuktikan praktek tidak jujur ini. Namun sebagaimana filosofi korupsi itu ibarat bau kentut, sulit dilihat tapi bisa tercium. Penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan itu sulit dibuktikan secara kasat mata namun bisa tercium baunya. Jika pihak Kementrian Pendidikan Nasional mau melakukan aktivitas bak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemantauan dan pengawasan langsung di lapangan, maka akan tampak sekali sesuatu yang ganjil itu muncul disana sini.

Praktek transaksi ini dari tahun ke tahun biasanya akan muncul usai pengumuman atau usai diketahui siswa yang memang secara legal diterima melalui jalur pendaftaran secara online berdasarkan NEM atau nilai rapornya. Maka sejumlah orang tua yang putra atau putrinya gagal masuk sekolah negeri karena NEMnya tak memenuhi syarat, dia mulai menggunakan akses, pertemanan, sesama PNS, kekuasaan atau "jalur" untuk memaksakan diri meloloskan putra atau putrinya masuk sekolah yang dituju. Tentunya dalam kegiatan ini tidak ada yang gratis meski mereka memiliki akses.

Bagi orang tua yang tak punya akses atau bukan pejabat yang dekat dengan pejabat pendidikan biasanya kemudian muncul penawaran secara kasak kusuk dari pihak ketiga. Maka bermunculan bisik-bisik tim pemandu dari pihak ketiga yang menjanjikan bisa meloloskan putra putrinya bak makelar tiket. Disini Dinas Pendidikan biasanya mulai dibanjiri "tekanan" dan intervensi dari sekelompok orang "kuat" yang ingin meloloskan siswa titipan tersebut bisa lolos masuk ke sekolah yang dikehendakinya. Meski si siswa titipan tersebut tidak memenuhi persyaratan ketentuan batas minimal NEM sekolah tersebut. Disinilah rasa keadilan pendidikan terusik.

Untuk menampung mereka banyak cara dilakukan. Biasanya sekolah "membuka" kelas baru untuk menambah bangku dengan dalih penerimaan siswa berdasarkan seleksi lokal. Yakni memprioritaskan penerimaan siswa tidak dari nilai NEM tapi berdasarkan kedekatan rumahnya dengan sekolah atau biasa disebut jalur lingkungan. Ada juga penerimaan siswa baru dengan dalih siswa tersebut punya prestasi olah raga dan seni. Ada juga sekolah berdasarkan jalur tes khusus, dan segala macam upaya yang menurut parameternya juga memang harus diawasi secara obyektif oleh Kementrian Pendidikan apakah benar faktanya memang demikian?

Dalam tulisan ini penulis hanya ingin mengingatkan kembali pernyataan Bapak Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof Dr Anies Baswedan, bahwa yang terpenting dalam membangun dunia pendidikan itu bukan hasil namun sebuah nilai kejujuran. Ketentuan baru dari Kementrian Pendidikan bahwa penerimaan siswa baru sekolah negeri berdasarkan urutan atau rangking hasil prestasi Nilai Ebtanas Murni (NEM) pun mengusik rasa keadilan penulis terhadap siswa yang berprestasi menduduki rangking di kelasnya secara konsisten.

Ketentuan ini menurut hemat penulis telah banyak membawa korban terhadap siswa yang selama mengikuti proses belajar memiliki rangking kelas dan prestasi bagus di dalam nilai rapornya, namun harapannya sia-sia. Mereka sebagian terlempar dari kesempatan belajar di sekolah negeri harapan mereka karena Nilai Ebtanas Murni (NEM) mereka mendadak sebagian kalah selisih tipis dengan siswa yang tidak pernah memiliki rangking kelas atau prestasi nilai. Padahal alat untuk mengukur parameter konsistensi prestasi atau kemampuan akademik seorang siswa, salah satunya adalah ukuran dari hasil belajar selama sekian tahun dan itu direpresentasikan dalam nilai rapor. Lantas buat apa manfaat nilai rapor siswa?

Sehingga pertanyaannya, bagaimana dengan nasib seorang siswa yang memiliki prestasi konsisten sejak awal kelas hingga lulus SD atau SMP selalu menempati rangking tapi dia kemudian gagal karena kalah selisih dengan NEM temannya yang tidak rangking. Karena jika seorang siswa yang selama enam tahun atau tiga tahun belajar konsisten memiliki prestasi akademik di kelasnya, saya berkesimpulan dia memiliki kemampuan akademis diatas rata-rata teman sekolahnya.

Namun Peraturan Menteri Pendidikan yang menetapkan diterimanya seorang siswa di sekolah berdasarkan Nilai Ebtanas Murni yang siswa itu hasilkan menurut saya kemudian merubah segalanya. Karena kemudian muncul fakta di beberapa tempat, ada beberapa siswa yang sebelumnya tidak memiliki prestasi menonjol di sekolahnya mendadak memiliki NEM bagus dan itu muncul dalam jumlah kolektif tertentu yang menurut saya perlu dilakukan audit.

Dan ketika muncul nilai "keberuntungan" dari sekelompok siswa yang mendadak pintar di hasil akhir NEM ini, sedikit banyak berdampak pada "terlempar"nya beberapa siswa yang punya prestasi rangking belajar di sekolahnya dari impian bisa lolos belajar di sekolah yang diharapkannya. Pertanyaan saya kemudian hanya satu : buat apa dia belajar tekun dan ulet dari kelas awal hingga akhir jika kemudian prestasi akademiknya tidak bermanfaat buat si siswa itu mendambakan sekolah yang ingin diraihnya hanya karena NEM dia kalah bagus dengan NEM "ajaib" beberapa siswa yang kemudian saya tahu siswa tersebut sendiri tidak percaya bisa meraih nilai sebaik ini.

Memang membuktikan sebuah ketidakadilan atau sebuah penyalahgunaan dalam sebuah proses pendidikan sulit. Karena, para pejabat di Dinas Pendidikan selalu memiliki jawaban yang tepat yakni bahwa sistem, pengawasan dan pola seleksi siswa sudah mereka yakini sangat ketat dan dilakukan se obyektif mungkin.

Namun suara sumbang tetap terdengar sangat nyaring. Dan nyaris di depan mata ini banyak orang tua siswa mengaku mendengar suara-suara bagaimana para orang tua wali murid bergerilya menghubungi beberapa oknum pejabat pendidikan untuk memaksakan anaknya --meski NEM nya tak memenuhi persyaratan, bisa masuk ke sekolah tersebut dengan menghalalkan segala cara.

Sekali-kali pak Menteri Pendidikan atau staf yang dipercaya blusukan. Memantau bagaimana suasana kepanikan para orang tua siswa membawa putra putrinya mencari celah bisa masuk sekolah tertentu meski NEM nya tak memenuhi syarat. Bahkan diantara mereka banyak yang berhasil menggoalkan ketidakadilan itu.

Pak Menteri harusnya memantau secara diam-diam atau menyamar bagaimana proses pendaftaran ulang siswa baru dipenuhi isu tak sedap yakni siswa titipan. Apakah memang benar-benar siswa yang diterima di sekolah tersebut semuanya sudah sesuai aturan NEM yang dipersyaratkan. Ataukah ada celah lain yang bisa menimbulkan ketidakadilan dan kekecewaan beberapa siswa yang gagal tapi dia mendapati temannya yang NEM nya lebih rendah bisa menembus sekolah tersebut.

Saya bukan bermaksud menuding adanya "permainan" dalam penerimaan siswa baru di sekolah negeri. Namun jika pak Menteri mau menggelar konferensi pers dan menjelaskan kepada publik bahwa pemerintah menjamin tidak akan ada sekolah atau Dinas Pendidikan yang memasukkan peserta didik berdasarkan "titipan" atau "pesanan" orang tua wali murid tertentu dengan imbalan tertentu. Cara ini setidaknya memberikan rasa kepuasan orang tua yang putra-putrinya gagal memasuki sekolah negeri atau memberikan kepercayaan besar publik terhadap komitmen Kementrian Pendidikan untuk menjunjung nilai kejujuran, transparan dan fair atau adil. Karena kasus siswa titipan sudah merebak dimana-mana. Syukur-syukur kalau kemudian Kementrian Pendidikan menemukan dan menangkap basah praktek tak terpuji tersebut (banyak siswa masuk sekolah negeri karena titipan, tidak dilakukan secara fair dan adil,red) dan mengumumkan ke publik. Saya rasa publik kian besar kepercayaannya kepada Kementrian Pendidikan dan pemerintah.

Menurut hemat penulis dengan cara dan pola apapun, sistem penerimaan siswa baru masih rentan dipermainkan oknum tertentu untuk menitipkan atau memaksakan calon siswa titipan, bisa tembus ke bangku sekolah yang diinginkannya. Jika cara ini tetap dipraktekkan yang muncul adalah sebuah kedzaliman dan ketidakadilan. Yang membuat penulis kian prihatin, adanya informasi dan opini yang beredar di publik bahwa di beberapa sekolah ada jatah untuk pejabat dinas atau profesi putra putrinya guru. Sungguh ini telah merobek rasa keadilan dalam dunia pendidikan.

Saran penulis menghadapi isu tak sedap ini hanya dengan memulihkan kembali kepercayaan publik terhadap sistem seleksi penerimaan siswa baru di sekolah negeri. Jika pemerintah ingin memberikan pesan kepada publik bahwa praktek-praktek seperti itu sudah tidak terjadi lagi hanya dengan langkah nyata.

Pertama, lakukan audit terhadap data siswa yang diterima di sebuah sekolah negeri. Terutama proses masuk dan persyaratannya. Kedua, buka posko pengaduan aspirasi orang tua siswa. Dan kaji dan olah masukan masyarakat terhadap keganjilan penerimaan di beberapa sekolah tertentu yang mencurigakan dan ditengarai banyak yang masuk tanpa proses yang selayaknya. Mudah kok melacaknya. Lihat saja NEM nya apakah si siswa itu memang clean diterima di sekolah tersebut.

Dan jika terbukti ada siswa titipan diterima bukan dengan cara yang sah dan legal, sudah selayaknya untuk dicabut dan diberikan sanksi yang tegas terhadap sekolah yang melakukan tindakan tak terpuji. Ini bisa memberikan pelajaran bagaimana kita menjunjung tinggi nilai-nilai sebuah kejujuran, transparansi dan keadilan (fairness). Keadilan dan kejujuran yang tidak memihak kepada orang-orang tertentu yang kuat karena jabatan, pengaruh atau uangnya untuk dengan seenaknya melabrak aturan dan bisa sewenang-wenang memasukkan siswa titipan tanpa memandang perasaan orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun