Keputusan Menteri Pemuda dan Olah Raga Iman Nahrawi membekukan aktivitas pengurus dan kegiatan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) mayoritas di dukung publik. Sudah hampir 4 tahun silam hingga sekarang PSSI menjadi sumber kekecewaan publik pecinta bola di Tanah Air. Dari komentar yang saya sering baca di media sosial, ribuan netter memandang kinerja PSSI negatif, sejak kekalahan demi kekalahan timnas dalam berbagai ajang.
Keputusan pak menteri membekukan kegiatan PSSI dengan alasan pengurus mengabaikan tiga surat peringatan tertulis yang telah disampaikan sebelumnya. PSSI dinilai secara sah dan meyakinkan telah terbukti tidak mematuhi kebijakan Pemerintah melalui surat peringatan tersebut.
Menpora Iman Nahrawi sebelumnya telah melayangkan tiga surat peringatan dalam satu pekan terakhir kepada PSSI. Salah satu isi surat itu adalah memerintahkan Arema Indonesia dan Persebaya Surabaya untuk memenuhi permintaan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI).
Pembekuan PSSI ini adalah bagian dari upaya pemerintah mereformasi total dan merubah citra dan "kekuasaan" kelompok tertentu di PSSI yang selama ini telah membuat sepak bola di Indonesia terpuruk. Kita tahu tokoh-tokoh yang selama ini duduk di kepengurusan PSSI telah gagal mengangkat prestasi sepak bola Indonesia dan mereka juga harusnya malu dan menyerahkan kepengurusannya pada sosok profesional di bidang manajerial olah raga atau minimal orang yang sudah malang melintang di dunia sepak bola.
Keputusan Menpora hanya bagian kecil dari persoalan besar yang harus dibenahi dalam tubuh internal PSSI selain memang harus merubah para pengelolanya yang telah gagal menjalankan amanah publik bola. Kasus Persebaya dan Arema yang dimintakan klarifikasinya oleh Badan Olah Raga Profesional Indonesia hanyalah bagian kecil itu.
Beberapa masalah besar yang harus dibenahi adalah masalah ketidakprofesional pengelolaan PSSI dalam menjamin dan melindungi pesepakbola nya. Banyak kejadian menimpa para pesebakbola mengalami keterlambatan gaji atau bahkan gaji tidak dibayar oleh klub. Bagaimana dia akan bermain secara maksimal dan profesional jika jerih payahnya justru menimbulkan masalah dalam kehidupan ekonomi pemainnya.
Belum lagi Cerita getir dan miris pemain asing yang merumput di Indonesia. Pernah terjadi pemain asal Rusia, Sergei Litvinov harus hidup menderita. Demi menyambung hidup, Litvinov berjualan jus lantaran belum digaji manajemen Persis Solo.
Nasib Litvinov masih lebih baik dibanding dua pemain asing lainnya, Salomon Begondou dan Diego Mendieta. Dua pemain itu meregang nyawa karena ditelantarkan manajemen tim. Sementara itu, pemain asal Prancis, Moukwelle Ebanga Silvain memiliki nasib lebih baik, namun dia kapok bermain di Indonesia
Pemain asal Paraguay, Diego Mendieta menghembuskan napas terakhir karena sakit pada 4 Desember 2012. Tidak memiliki biaya untuk berobat, Mendieta menyerah pada virus dan jamur yang menyerang telah menyerang otaknya. Gaji yang tidak dibayarkan manajemen Persis Solo membuat pemain 32 tahun itu hanya bisa berobat seadanya. Mendieta juga tidak bisa pulang ke Paraguay karena tidak memiliki ongkos.
Selama sakit, Mendieta berusaha mencari keadilan. Dia berusaha menemui pengurus klub, pengurus cabang PSSI menuntut haknya yang tertunggak selama 4 bulan ditambah sisa kontrak yang dibayarkan. Baru setelah Mendieta meninggal, manajemen Persis membayar gaji Mendieta dengan total keseluruhan mencapai Rp 131 juta.
Nasib serupa juga dialami pemain asing lainnya, Salomon Begondou. Pemain Persipro Probolinggo itu juga meninggal karena sakit. Lantaran tidak memiliki biaya berobat, pemain asal Kamerun itu terlunta-lunta di Indonesia. Begoundou meninggal di Indonesia pada 29 November 2013.
Masalah besar lainnya yang menjadi rapor merah PSSI dalam mengelola persepakbolaan Indonesia adalah kian menurunnya prestasi tim nasional Indonesia di semua kelompok usia. Kegagalan demi kegagalan prestasi ini mencerminkan kepengurusan organisasi dan pembinaan yang dilakukan berantakan. Hal itu tidak hanya terjadi di pusat, tapi juga di level daerah.
Prestasi timnas Indonesia sekarang ini mengalami titik rendah. Untuk tingkat Asia Tenggara saja, timnas sudah tidak mampu bersaing dengan Thailand, bahkan selalu menjadi bulan-bulanan lawan.
Sejumlah faktor menjadi penyebab kegagalan PSSI dalam mengembangkan dunia persepakbolaan yang memuaskan publik. Faktor pertama adalah masuknya kepentingan politik dalam organisasi sepak bola itu. Faktor kedua, minimnya pengurus PSSI yang berlatar belakang profesional dari dunia sepakbola yang pernah merasakan sebagai pemain maupun pelatih. PSSI juga kurang menerapkan prinsip keterbukaan, kepastian dan pertanggungjawaban kepada publik. Faktor ketiga adalah jebloknya prestasi timnas dalam beberapa even dan bahkan dalam ajang paling kecil, di level Asia Tenggara.
Contoh sepele yang dipandang dan dirasakan publik soal ketidaktransparan pengelolaan, ketika timnas kalah beruntun, bahkan dari timnas yang dulu pernah jadi bulan-bulanan Indonesia. Tapi kenapa PSSI tetap mempercayakan pelatih yang prestasinya kalah beruntun itu. Memang tidak ada pelatih lainnya yang sekaliber?
Ironisnya, Badan Tim Nasional (BTN) justru terlihat ngebet untuk melengserkan pelatih timnas U-19 Indra Syafri yang pernah memberikan nama harum Indonesia karena timnas U-19 berhasil mengalahkan Korea Selatan. Ada apa di tubuh PSSI?
Banyak sekali kejanggalan kebijakan PSSI yang dikritik penikmat bola Indonesia, namun PSSI sepertinya lebih suka melakukan pendekatan kekuasaan daripada mendengar masukan publik bola. Itulah kenapa ketika prestasi timnas jeblok. Kekalahan demi kekalahan menimpa, publik bola justru mengecam habis-habisan PSSI ketimbang pemain timnas nya.
Tidak ada kata yang bisa kita ucapkan lagi jika bicara sepak bola Indonesia kecuali merubah total PSSI. Oleh karena itu saya yakin publik bola di Indonesia akan mendukung langkah tegas Menpora untuk merevolusi PSSI agar publik kembali memiliki kepercayaan terhadap sepak bola Indonesia. Sehingga alasan pak menteri bahwa PSSI tidak mengindahkan surat peringatan pemerintah itu hanya pintu masuk untuk membongkar pandora kegagalan PSSI dan melakukan perubahan total sehingga PSSI ke depan akan dipegang oleh sosok yang paham sepak bola, bukan PSSI yang dikendalikan sosok politik atau sosok lain yang belum merasakan bagaimana sedihnya ketika jadi pemain tidak dibayar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H