[caption id="attachment_328271" align="aligncenter" width="613" caption="Headline kotaksuara.kompasiana.com | Ilustrasi/ Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]
Suasana kampanye Pileg 2014 terasa sepi. Berbeda dengan Pileg 5 tahun silam 2009. Suasana kampanye kali tak ada gregetnya, padahal jadwal kampanye lebih lama ketimbang 5 tahun silam. Ada apa?
Dari hasil pemantauan di lapangan, sebagian besar caleg enggan menghabiskan "energi" dan buang-buang dana untuk kampanye. Caleg lebih memilih menyimpan amunisi agar punya modal yang cukup untuk menggelontorkan dana jual beli suara dalam strategi "pertempuran" last minute atau strategi mengatur suara.
Ada beberapa modus untuk memanipulasi hasil pemilu.
1. Modus Joki
Modus pertama modus caleg Joki. Partai sengaja memasang caleg bayangan, yang tidak punya modal dana. Caleg ini sekedar boneka dalam daftar urutan suara.
Caleg tersebut cuma dijadikan pajangan dan suaranya akan disumbangkan caleg asli yang dikawal partai melalui intervensi "kerjasama" dengan oknum panitia
2. Modus Money politik (jual beli suara)
Praktek ini dengan cara membeli suara pada calon pemilih yang akan datang ke TPS. Pembelian suara itu dilakukan oleh tim makelar yang disebar untuk lobi dan nego dengan pemilih: berapa suara dia harus dibayar, beberapa jam sebelum pemilih datang mencoblos ke TPS. (Operasi serangan fajar)
3. Modus Order ke KPPS
Timses dan makelar diduga sudah bergerilya sejak awal menggandeng oknum petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), atau Panitia Pemungutan Suara (PPS)
Disinilah birokrat kecamatan yang ditugasi menjadi panitia KPPS jadi sibuk didekati dan dilobi timses dan para broker politik. Tujuannya, menambah jumlah suara caleg tersebut. Agar tidak terbongkar, modus penambahan suara tiap TPS cukup lima suara yang diambilkan dari suara pemilih golput.
Tak sedikit kocek yang dikeluarkan para Caleg untuk membeli suara. Bahkan, satu suara ada yang dihargai Rp 100 ribu hingga Rp 250 ribu.
Biasanya, data suara akan sedikit berubah dengan memanfaatkan ketidakrapian manajemen penghitungan suara.