[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi - Petugas memeriksa data pemutakhiran pemilih pemilu 2014, di Kelurahan Kenari, Jakarta, Selasa (4/6/2013). Komisi Pemilihan Umum mulai melakukan pendataan daftar pemilih untuk ikut dalam pemilihan umum 9 April 2014. (KOMPAS IMAGES/Roderick Adrian Mozes)"][/caption] Hari pencoblosan Pemilu legislatif tinggal satu hari lagi, tepatnya Rabu 9 April 2014. Masa kampanye yang diberikan pihak Komisi Pemilihan Umum atau KPU selama 20 hari terasa sepi dan tidak sehiruk-pikuk kampanye lima tahun silam. Mesin politik beberapa parpol tidak jalan. Ribuan caleg lebih memilih menunggu nasib dan sebagian lagi memilih mengambil strategi jalan pintas. Sehingga yang terasa kencang berhembus di arena pemilu adalah serangan fajar, jual-beli suara dan rekayasa suara. Rupanya, para caleg baru, banyak belajar dari strategi dan pengalaman para wakil rakyat sebelumnya yang mampu mencuri kursi di pemilu lima tahun silam. Banyak pemenang pemilu sebelumnya mengajarkan cara yang salah untuk meraih kursi. Para caleg banyak yang tidur, tidak seratus persen bekerja meyakinkan para pemilihnya untuk mencoblos partainya. Banyak caleg yang justru mengambil jalan pintas. Cara ini sangat merugikan parpol dan capres yang diusung parpol. Karena banyak caleg hanya mementingkan tujuan pribadi. Tidak loyal dan tidak bekerja secara militan untuk mengejar suara sebanyak-banyaknya, agar partai meraih suara signifikan dan menang. Mereka hanya berpikiran bagaimana caranya selisih suaranya lebih unggul dibanding caleg pesaingnya di satu parpol. Karena yang dibutuhkan caleg ini hanya selisih suara untuk meraih kursi. Sehingga ajang kampanye dilakukan sekedar formalitas belaka. Strategi ini untuk menyimpan amunisi sebagai modal membeli suara demi meraih kursi DPR dan DPRD. Mereka tidak sedikit pun memikirkan suara partai secara keseluruhan. Mereka hanya berburu mencari selisih suara untuk memenangkan dia secara pribadi. Sehingga peperangan yang sebenarnya, justru terjadi di tanggal 9 April 2014 hingga penetapan kursi pemenang. Informasi yang berhasil kami himpun di lapangan. Di kalangan para caleg dan tim suksesnya, berhembus informasi mereka terus bergerilya. "Berburu selisih suara". Mendekati sejumlah pejabat dan Petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) di TPS, petugas KPPS, Panitia Pemungutan Kelurahan (PPK), Panitia Pemungutan Kecamatan (PPK) hingga KPU Daerah. Namun dilakukan tidak secara terang-terangan dan melalui jasa pihak ketiga. Deal atau komitmen pun sudah dibuat jauh-jauh sebelumnya. Dan pergerakan ini sangat rapi, hampir tidak terbaca atau teraba. Namun, informasi yang berkembang, manipulasi itu akan terjadi di level ketika penghitungan suara dan pada jalur penyusunan rekapitulasi dan tabulasi suara dari TPS, menuju kelurahan, menuju kecamatan hingga pleno KPU. Konon kabarnya akan banyak terjadi "pergeseran" satu dua suara ke caleg yang memang sudah "memesan". Pemilu kali ini yang menggunakan sistem suara terbanyak terbuka memang rentan dan rawan manipulasi suara. Karena penetapan kursi berdasarkan kelebihan suara yang dimiliki caleg atau suara terbanyak meski hanya selisih satu suara. Dan pertarungan lebih banyak antarcaleg dari satu parpol yang sama. Contohnya, dalam satu daerah pemilihan atau Dapil jatah kursi 8. Sementara secara perolehan total suara, Partai A meraih suara misalkan 300 ribu suara. Di mana perolehan suara itu jika dibagi hitungan pembagi maka Partai A itu akan mendapatkan kemenangan dua kursi. Lantas siapa yang meraih 2 kursi ini? Yang berhak duduk di jatah 2 kursi partai A tersebut adalah caleg yang meraih suara terbanyak meski hanya selisih satu suara dengan caleg pesaing. Misalkan caleg A meraih 120 suara dan caleg B meraih 121 suara maka yang berhak mendapatkan kursi DPR RI adalag caleg B. Di sinilah akan terjadi persaingan selisih suara. Dari hanya satu suara hingga bisa jadi selisih 100 suara. Peran panitia pemungutan suara, petugas kelurahan dan kecamatan hingga KPU akan sangat berperan dalam penghitungan suara secara rekapitulasi. Di tempat rawan inilah yang harus diwaspadai. Sebagai ilustrasi, ada satu Dapil di Jawa Barat terdiri atas 3 kabupaten/kota. Satu kabupaten menyiapkan 4 ribu Tempat Pemungutan Suara (TPS). Bisa dibayangkan bagaimana ruwetnya pola penghitungan rekapitulasi di 4 ribu TPS saat data itu akan naik ke KPU. Sulit untuk dipantau. Apalagi banyak partai yang tenaga sukarelawan saksi di TPS masih rendah pemahaman dan pengetahuan untuk menghitung dan kemampuan politiknya. Ditambah lagi honor petugas PPS, PPK Kelurahan dan Kecamatan yang hanya Rp 100 ribu. Sangat sulit untuk memastikan integritas, kejujuran, dan independensi dari godaan uang para caleg yang berambisi untuk memenangkan kursi. Bahkan di beberapa daerah, petugas PPS dan PPK sudah "dikuasai" oleh beberapa oknum caleg dan timsesnya. Tentunya untuk "menguasai" independensi para petugas PPS dan PPK dengan iming-iming uang yang lumayan. Namun semua modus operandi tersebut dilakukan secara rahasia sekali dan rapi. Ironisnya, kalau kita mau melakukan investigasi dengan cara menyusup menjadi salah satu timses caleg, maka kita akan mendengar strategi dan rencana dari beberapa caleg, untuk membeli suara atau merekayasa suara. Benar-benar memprihatinkan! Para broker politik sudah bergentayangan. Mereka menawarkan jasa jual-beli suara untuk meraih "selisih suara" seperti yang kami jabarkan di atas untuk mengalahkan caleg pesaing. Dan lebih parahnya lagi, bursa jual-beli suara sudah mulai hiruk-pikuk dan menghangat di hampir setiap rapat para timses caleg, mengalahkan hiruk-pikuk kampanye yang justru terkesan lesu di kalangan caleg. Untuk satu kursi DPR-RI dipatok "harga" Rp 1 miliar s.d. Rp 3 miliar di setiap Dapil tergantung apakah dapil itu termasuk dapil berat. Strategi dan permainan "menaklukkan" petugas PPS, PPK, hingga KPU ini yang marak sedang dibahas timses para caleg. Di sinilah nantinya yang perlu diwaspadai oleh semua parpol dan semua caleg. Kami menghimbau agar para caleg dan parpol benar-benar mengawasi proses penghitungan suara dari level TPS hingga proses penetapan melalui rapat pleno di KPU. Pemilu yang jujur dan adil harus terus ditegakkan. Kerawanan manipulasi suara akan terjadi pada tahap pembuatan rekapitulasi suara, pengiriman rekapitulasi suara dan pembuatan tabulasi suara. Selamat mencoblos. Kawal suara Anda dan pantau terus proses penghitungan suara hingga benar-benar memang kursi itu milik Anda secara jujur dan adil. Jakarta, 5 April 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H