Dalam alam reformasi, media massa, khususnya media penyiaran dan media sosial ibarat primadona. Menjadi modal kuat untuk menguasai opini publik. Terutama media penyiaran. Tayangan berbentuk wawancara pengamat, dialog, talk show dan pendapat publik terus digeber secara masif untuk membangun opini melalui televisi. Dan tak jarang didesain menguntungkan sejumlah pihak yang dekat dengan media penyiaran tersebut.
Maka kemudian muncul pandangan bahwa dasar kekuatan politik di Indonesia bukan hanya 3 pilar saja, eksekutif, yudikatif dan legislatif. Namun ditambah satu : kekuatan media atau pilar ke empat.
Media sangat berperan besar dalam menggerakkan opini masyarakat dan bahkan mampu mendorong masyarakat untuk melakukan sesuatu, solidaritas dan militansi pada sebuah keyakinan politik. Kekuatan media penyiaran sebagai pembentuk opini dan membentuk karakter publik inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian pemilik yang belakangan mulai menerjuni dunia politik.
Sehingga kini sejumlah media penyiaran yang pemiliknya mempunyai afiliasi pada kekuatan politik tertentu, akan menjadikan medianya ujung tombak dalam membangun brand dan opini kepentingan politik mereka. Sebagian media penyiaran juga dimanfaatkan untuk memback up para pemiliknya dalam berpetualang di dunia politik. Karena media penyiaran masih dipercaya masyarakat sebagai media yang merepresentasikan informasi dan opini independen dan fakta sesuai kaidah jurnalistik.
Namun jika kita menonton sejumlah televisi yang pemiliknya sudah berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu kita akan merasakan bagaimana perbedaannya. Bagaimana dalam upaya menjunjung independensi dan keobyektifan dari media penyiaran tersebut sulit diwujudkan.
Tengok saja TV One yang notabene milik Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Media penyiaran ini benar-benar dijadikan corong sang pemilik dalam membangun image pribadi dan partainya. Kemudian Metro TV milik Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Surya Paloh. Kita bisa menyaksikan berapa kali kepentingan pemilik akan bisa tertayang di media tersebut berulang kali secara masif.
Dan terakhir, Hary Tanoesoedibjo bakal melaunching partai baru bernama Partai Perindo. HT bahkan langsung memilih dirinya menjadi Ketua Umum di partai bentukannya ini. Konglomerasi media yang dibangun HT, sudah pasti akan dimanfaatkan untuk menjadi tulang punggung dalam membangun brand partainya ke publik
Sebagaimana kita ketahui HT adalah pemilik konglomerasi media penyiaran. Ada tiga stasiun televisi nasional digenggamnya yakni RCTI, MNC TV, dan Global TV. Ditambah puluhan televisi lokal yang disatukan dalam sistem siaran berjaringan miliknya Sindo TV.
Kenapa saya yakin HT akan memanfaatkan medianya untuk menarik militansi publik ke partainya melalui pembentukan opini. Ya karena sudah terbukti saat HT punya konflik hukum dengan pemilik TPI, Ny Siti Hardiyanti Rukmana atau mbak Tutut. HT memanfaatkan media penyiarannya untuk membangun opini melalui informasi yang menguntungkan dirinya dalam kasus hukum TPI.
Yang jelas konglomerasi media dan penguasaan berlebihan atas frekuensi milik negara atau publik sebenarnya sudah tidak sejalan dengan roh Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002. Bahkan bisa dikatakan melanggar. Dalam semangat UU Penyiaran, diversifikasi kepemilikan penyiaran menjadi cita-cita dasar agar ke depan media penyiaran tidak disalahgunakan untuk kepentingan yang sifatnya kelompok atau golongan.
Apalagi ketika penguasaan media penyiaran kemudian dimanfaatkan sebagai basis dalam membangun kekuatan politik tertentu. Pertanyaannya. Apakah kehebatan dalam hal konglomerasi media itu akan berjalan selurus dengan kesuksesan si pemilik nantinya dalam membangun kekuatan politik baru? Waktu yang akan menjawab.
Sejak awal sejumlah aktivis penyiaran memang terus menggaungkan dan melawan praktek monopoli dan penguasaan kepemilikan media penyiaran oleh sekelompok orang berdana besar. Namun hingga detik ini perjuangan tersebut belum membuahkan perubahan. Karena mereka melawan kekuatan ekonomi yang besar.
Pemilik media yang sudah terjun ke politik sulit untuk menjamin media penyiaran tersebut akan menjalankan praktek jurnalisme yang obyektif. Ketika kepemilikan media penyiaran sudah berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu, sulit untuk melindungi publik pemirsa dari opini yang independen dan obyektif. Justru opini yang ditampilkan media penyiaran itu jelas akan berpihak kepada sang pemiliknya.
Informasi dan opini obyektif yang menjadi suara rakyat dan akan disampaikan ke publik harus melalui sensor. Sang pemilik akan menempatkan kaki tangannya di jajaran pimpinan program dan redaksi untuk memudahkan melakukan intervensi. Bahkan ada kewajiban dari para awak media untuk membuat berita atau membangun opini tertentu yang menguntungkan sang pemilik. Dan tugas ini biasanya sudah intervensi dan perintah yang tidak bisa dibantah karyawan media penyiaran.
Ketika media penyiaran konglomerat dengan jaringan kepemilikan yang besar selalu beralasan faktor bisnis yang membuat mereka harus serakah mengambil semua hak frekuensi milik publik yang seharusnya juga bisa dimiliki pihak lain. Mereka beranggapan bisnis penyiaran itu mahal dan tidak semua orang daerah akan mampu.
Sehingga dengan kekuatan uang, hanya sekelompok orang yang kini menguasai penyiaran di Indonesia. Padahal frekuensi itu adalah aset milik negara tidak bisa dikuasai hanya oleh segelintir orang. Frekuensi adalah aset milik rakyat yang harus dilindungi penggunaannya. Agar jangan sampai disalahgunakan.
Frekuensi boleh dimanfaatkan untuk menyiarkan televisi tapi dengan catatan siarannya untuk kepentingan mencerdaskan dan menambah wawasan publik, bukan menarik publik pada kepentingan opini tertentu.
Karena media televisi itu bersiaran dengan pola meminjam frekuensi negara dan tiap tahun mereka harus membayar biaya sewanya atau restribusi frekuensi. Intinya frekuensi bukan milik lembaga penyiaran tersebut, tapi tetap milik negara. Media penyiaran hanya meminjam milik negara.
Artinya, negara bisa mencabut pinjaman itu sewaktu-waktu jika dirasakan media penyiaran itu sudah keluar dari koridor melindungi kepentingan publik pemirsa dari dampak negatif siaran televisi dan kepentingan individu sang pemilik media penyiaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H