[caption id="attachment_352300" align="alignnone" width="150" caption="dok: kompas.com"][/caption]
Keputusan Presiden Jokowi menyudahi ketegangan antara KPK dan Polri dengan cara "membuang" Ketua KPK Abrahaman Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menjadi pesta kemenangan besar para mafia koruptor. Sebagian besar publik tahu, KPK dibawah pimpinan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dikenal sebagai rejim paling "galak" memerangi kasus korupsi.
Baru di era Samad dan BW-lah, KPK berani memenjarakan banyak menteri, pejabat tinggi, kepala daerah, anggota DPR. Bahkan seorang jenderal aktif sekalipun, yang selama ini menggerogoti uang negara dan menjual kewenangannya. Samad dan BW dikenal sosok pemberani membongkar kasus-kasus besar yang membuat publik kadang tidak percaya.
Namun pasca Jokowi membuang Samad dan BW dari lembaga anti rasuah ini, akankah pimpinan baru KPK masih punya nyali sebagaimana kemarin? Ini pertanyaan besar publik. Dan akan menjadi penilaian publik seberapa jauh komitmen dan keseriusan Jokowi membuktikan janji kampanye akan memerangi korupsi.
Lantas siapa Mr X dan apa faktor yang melatarbelajangi putusan Presiden jadi seperti ini. Faktor itulah yang belum terjawab... Ada agenda apa Presiden mengamputasi pimpinan KPK? Sebuah pertanyaan besar.
Tentu publik akan menduga-duga "pembuangan" AS dan BW bukan sekadar keduanya mentersangkakan Budi Gunawan yang berujung pada konflik KPK-Polri. Putusan Jokowi justru menimbulkan spekulasi terkait dengan beberapa kasus korupsi besar yang selama ini belum terungkap. Saat itu AS sempat menyatakan akan membuka kembali kasus BLBI.
KPK memang masih memiliki pekerjaan rumah untuk menuntaskan kasus korupsi Bukit Hambalang, kasus Bank Century, kasus BLBI, kasus dana haji, hingga kasus mafia di ESDM dan Minerba. Ditambah lagi dengan kasus rekening gendut yang membuat gemas masyarakat karena terus dicoba ditutup-tutupi.
Putusan Jokowi membuang AS dan BW membuat rejim pemegang kekuasaan dan jabatan negara yang merasa gerah karena dapurnya sedang diintai KPK, bisa jadi tersenyum lega. Jokowi telah mengamputasi pimpinan KPK yang punya nyali dan "galak" dengan memasukkan pimpinan baru sesuai seleranya.
Kita perlu meresapi kembali pernyataan tokoh anti korupsi Busro Muqodas bahwa kriminalisasi dan pelemahan KPK secara sistematis dan massif, yang terjadi belakangan ini, didalangi oleh mafia koruptor. Jaringan kekuatan besar --bahkan presiden pun tak mampu menjangkaunya--, sedang mendesain berbagai cara untuk membonsai keberanian para pimpinan KPK yang ingin "membuka" kedok transaksi jaringan kekuasaan mereka.
Saking kuatnya jaringan kekuasaan, mereka bisa mendepak Abraham Samad, Bambang Widjijanto dan sejumlah penyidik KPK yang selama ini sulit dikendalikan.
Samad dan BW selama ini dinilai terlalu idealis dan berani, oleh karena itu harus "dibuang". Karena di era Samad dan BW, banyak petinggi dan politisi dijebloskan ke penjara. Sikap tegas ini sebenarnya upaya Samad dan BW melakukan revolusi besar-besaran merubah mental politisi dan pejabat negara.
Tujuan Samad dan BW menjebloskan pejabat negara dan politisi ke penjara, sebenarnya untuk mengirim sinyal agar ke depan pejabat negara atau politisi harus berpikir dua kali jika ingin menjual kekuasaannya kepada pemilik uang untuk bertindak tidak adil.
Namun keberanian Samad dan BW membongkar korupsi di lingkaran kekuasaan ini justru membuat ketar-ketir para mafia penguasa. Sehingga idealisme Samad dan BW saat melawan kekuatan besar, harus berakhir tragis. Mereka berdua yang justru tersingkir saat akan membuka kotak pandora kasus korupsi besar. Samad dan BW tidak kuat untuk menghadapi "tembok besar" kekuasaan. Samad dan BW tak cukup hanya bermodalkan idealisme mereka.
Saya mengutip pendapat tokoh besar KH Abdurahman Wahid :
"Dalam hidup nyata dan dalam perjuangan tidak ada yang mudah. Karena kita bukan tokoh dongeng dan mitos yang gagah berani dan penuh sifat kepahlawanan kita memerangi kedzaliman. Kita ini bukan tokoh mitos, kita ini punya anak, istri dan keluarga, pasti mengenal rasa takut. Meskipun takut kita jalan terus, ada yang berani melompati pagar batas ketakutan tadi, mungkin disitu harga diri kita ditetapkan"
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Sang Bapak Bangsa
Kini pasca "penyingkiran" Samad dan BW, KPK terus "diintimidasi" dan dikriminalisasi. Bareskrim Polri menyebutkan tetap akan mengambil langkah penyidikan untuk melanjutkan kasus dua pimpinan KPK era Samad dan BW, yakni Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain.
Demikian pula nasib 21 penyidik KPK yang masih punya moral besar untuk memerangi korupsi. Juga sedang "diancam" untuk dipenjarakan dengan kasus kepemilikan senjata yang dokumennya kedaluwarsa.
Menanggapi persoalan itu, Plt Kapolri Badrodin Haiti yang dicalonkan sebagai Kapolri dalam wawancara dengan Harian Kompas, menyatakan:
"..Saya akan berkomunikasi dengan pimpinan baru KPK untuk mencari jalan keluar terkait persoalan hukum pimpinan KPK. Masalah ini bukan persoalan berat. Namun untuk menyelesaikannya perlu persamaan pandangan antara Polri dan KPK. Kita tidak bisa saling ngotot"....
Membaca pernyataan Badrodin, dalam pandangan saya ini merupakan sinyal dari polri agar KPK jangan terlalu idealis hantam sana hantam sini jika tidak ingin dikriminalisasi. Persoalan hukum yang menimpa pimpinan KPK bukan masalah berat. Tapi perlu adanya koordinasi dengan polisi.
Yang amat saya sayangkan dari putusan Jokowi, tidak ada satupun poin memerintahkan polisi menghentikan semua sandiwara hukum dan kriminalisasi terhadap personal KPK. Padahal dimata publik kasus-kasus hukum yang kini dipertontonkan Bareskrim Mabes Polri terhadap baik pimpinan KPK maupun penyidik KPK, sangat ganjil, penuh rekayasa, tidak masuk akal dan layaknya sebuah pergelaran sinetron. Apakah ini merupakan sinyal kepada tokoh-tokoh di KPK agar bisa "dikendalikan" pemerintahan era Jokowi.
Berbeda dengan era pemerintahan SBY yang memberikan ruang cukup luas dan "proteksi" terhadap kebijakan pimpinan KPK dalam memberantas korupsi besar. Sekalipun KPK harus menindak orang kepercayaan SBY sendiri atau para menterinya yang masih aktif.
Artinya, kini pengambil putusan di KPK memang harus bisa menjadi anak manis yang bisa dijinakkan, dikendalikan dan harus tahu diri jika ingin mengungkap kasus korupsi besar yang dekat dengan pusaran istana atau melibatkan petinggi Polri.
Era pemerintahan Jokowi ingin mendesain KPK agar tidak bergaya seperti dulu. Di era pemerintahan SBY, KPK sangat tegas dan berani menangkap siapapun yang terlibat korupsi, tak pandang bulu apakah ia masih pejabat aktif, menteri atau jenderal polisi sekalipun.
Apakah kita kemudian rela melepaskan begitu saja KPK dilemahkan. Pemerintahan Jokowi sudah sukses menjinakkan KPK dengan cara teror kriminalisasi. Dimana endingnya memang "menghilangkan" Samad dan BW yang dianggap membahayakan dan tidak bisa dikendalikan. Dibawah pimpinan sementara yang baru, KPK diharapkan bersedia "berkomunikasi", lebih bisa diajak "berkoordinasi" dengan Polri dan tidak lagi mengutak atik dapurnya Polri.
Kembali saya mengutip kalimat penuh filsafat dari maha guru dan panutan saya KH Abdurrahman Wahid :
"Dalam hidup nyata dan dalam perjuangan tidak ada yang mudah. Karena kita bukan tokoh dongeng dan mitos yang gagah berani dan penuh sifat kepahlawanan kita memerangi kedzaliman. Kita ini bukan tokoh mitos, kita ini punya anak, istri dan keluarga, pasti mengenal rasa takut. Meskipun takut kita jalan terus, ada yang berani melompati pagar batas ketakutan tadi, mungkin disitu harga diri kita ditetapkan"
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Sang Bapak Bangsa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H