Mohon tunggu...
Edo Media
Edo Media Mohon Tunggu... Jurnalis -

Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Siapakah yang Pantas Pimpin PAN?

28 Februari 2015   04:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:23 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_353272" align="alignleft" width="150" caption="Hatta Rajasa (Gambar diambil dari Google)"][/caption]

Kongres IV Partai Amanat Nasional (PAN) di Bali akan digelar akhir pekan. Perhelatan politik akbar itu diwarnai pertarungan ketat antara Hatta Rajasa bersaing dengan Zulkifli Hasan. Banyak kalangan mengatakan persaingan ini akan cukup panas. Bahkan persaingan paling sengit sejak partai ini berdiri. Siapakah dari kedua kandidat tersebut yang bakal menguasai pertarungan dan menahkodai Partai Berlambang Matahari Terbit ke depan?

Kedua kubu mengklaim mendapatkan dukungan paling besar di kalangan grass root atau pengurus daerah. Dari kubu Hatta Rajasa tampaknya mulai diatas angin. Karena figur Hatta masih cukup kokoh di kalangan internal partai. Bahkan Hatta dijuluki politisi paling handal berkomunikasi dibanding rivalnya, Zulkifli Hasan.

Saat dipercaya sebagai Ketum, Hatta direpresentasikan sebagai sosok pemimpin yang mampu mengantar partai yang dibentuk di awal reformasi ini menjadi partai modern. Hal itu sejalan dengan semangat kongres PAN ke IV pada 28 Februari 2015 ini yang akan dijadikan momentum partai matahari biru menuju partai modern.
Istilah partai modern mengacu pada bentuk partai yang terlembagakan secara politik dan mampu menjadi saluran aspirasi masyarakat. Namun tak mudah mewujudkan partai modern, khususnya di negara-negara demokrasi baru, termasuk Indonesia. Perlu komitmen dari elit partai tersebut dan dukungan anggota partai.

Zaenal A Budiyono, Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) Jakarta mengatakan, setidaknya ada empat syarat jika PAN ingin menjadi partai modern.

Pertama, meninggalkan tradisi dominasi elit. Dalam sistem partai modern di negara-negara demokrasi, partai adalah “alat perjuangan” kepentingan seluruh anggota dan simpatisan, bukan milik sebagian elit. Dalam konteks PAN, sebagai partai reformis, penting untuk memastikan bahwa tidak ada elit yang “menguasai” partai dan menjadi patron satu-satunya.

“Apa yang terjadi di PDIP misalnya, dengan patron tunggal Megawati Soekarnoputri, tak boleh mengkristal dan terlembagakan di PAN, karena bila ini terjadi, ruh reformis di PAN bisa dipertanyakan publik," ujar Zaenal saat ditemui di rumahnya, kawasan Cijantung, Jakarta Timur, Jumat, 27 Februari 2015.

Kedua, lanjut Zaenal, sistem organisasi bekerja di atas kepentingan personal dan kelompok. Teori sistem dalam politik menegaskan partai politik harus membangun sistem yang kuat untuk mengatur organisasi. Dengan sistem yang kuat, maka pergantian pimpinan atau elit partai (sirkulasi politik) tidak akan mengganggu performa partai.

“Misalnya di AS, Partai Demokrat dan Republik tetap kuat dan “warna politiknya” cenderung konsisten dari tahun ke tahun karena sistem telah terlembagakan. Tak peduli pimpinan partai berganti tiap tahun sekalipun”, tambahnya. Dalam hal ini menurut Magister Ilmu Politik itu, Hatta Rajasa yang mengusung ide revitalisasi sistem kepartaian menuju partai modern, memiliki peluang untuk mendapat dukungan DPW dan DPD PAN (voters) karena penguatan sistem menjadi kebutuhan PAN di masa depan.

“Ketiga, PAN harus menjadi partai yang bergeser ke tengah. Sejak 1999-2009 identitas politik PAN sulit dilepaskan dari Muhammadiyah. Sepintas hal ini menguntungkan karena Muhammadiyah adalah ormas Islam terbesar kedua di Indonesia. Namun dalam konteks kekinian, dimana preferensi pilihan rakyat Indonesia lebih rasional, dan jumlah pemilih di luar Muhammadiyah jauh lebih besar, reposisi PAN dari “partai kanan” (bercorak agama) ke “partai tengah” (bercorak nasionalis) harus menjadi menjadi agenda prioritas.”, timpalnya. Di era Hatta, 2010-2015, pergeseran PAN ke tengah lebih terlihat nyata di lapangan.

Indikasinya, makin banyak pengurus partai dari berbagai latar belakang, baik suku, agama maupun basis kultural. Aktivis NU juga banyak menjadi pengurus PAN di era Hatta. Sebagaimana diketahui, sejak 1999 suara PAN terus menurun hingga 2009 ke titik terendah (6,1 juta suara). Dan momentum pergeseran PAN ke tengah di era Hatta diganjar pemilih dengan peningkatan suara 53% menjadi 9,5 juta suara.

Yang terakhir, keempat, kata penulis buku Memimpin di Era Politik Gaduh itu, kapasitas pemimpin diakui publik. “Di era pemilihan langsung, kapasitas ketua umum partai, besar pengaruhnya dalam mendongrak suara. Kapasitas berbeda dengan ketokohan semata, karena kapasitas lebih menitikberatkan pada kemampuan dan kinerja serta rekam jejak”, imbuh Zaenal.

Kapasitas tidak bisa hanya berdasarkan klaim, melainkan track record dan pengakuan dari lingkungan politik. Di PAN, antara Hatta dan Zulkifli Hasan, kapasitas Hatta masih unggul dibanding ZH. Ukurannya, Hatta mampu menjadi jangkar KMP dimana ia muncul dengan solusi-solusi ketika terjadi kebuntuan politik, seperti hubungan KMP dengan pemerintah dan berakhirnya dualisme di DPR beberapa waktu lalu.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun