Mohon tunggu...
Edward Theodorus
Edward Theodorus Mohon Tunggu... Dosen - Dosen psikologi di Universitas Sanata Dharma

Warga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Film

Film Dune (2024) dan Pemimpin Politik Idaman Kita

8 Maret 2024   14:45 Diperbarui: 9 Maret 2024   02:32 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita bisa belajar tentang proses psikologis pemimpin politik dari film Dune bagian pertama dan kedua. Mirip dengan situasi saat ini, ada karakter dalam film itu yang dianggap terlalu muda dan kurang berpengalaman dalam memimpin. Namun, akibat gejolak geopolitis dan ambisi orang-orang terdekatnya, dia mau tidak mau dihadapkan pada pilihan untuk menjadi pemimpin orang banyak. Hmm... Kira-kira mirip siapa ya di dalam situasi politik Indonesia saat ini?

Kita para penonton film dibuat takjub dan bersimpati akan kisah hidup dan perjuangan Paul. Dia berasal dari keluarga baik-baik. Ayahnya pemimpin politik yang berkuasa atas satu planet yang subur dan tenteram. Dia lagi senang-senangnya dengan kondisi hidup di mana dia dapat menikmati masa muda, belajar banyak hal dari banyak orang yang terbaik di bidangnya, merasakan kasih sayang dan perhatian dari orangtuanya, juga meresapi keindahan pemandangan alam planet daerah kekuasaan ayahnya.

Semuanya berubah ketika ada manuver politik dari kekaisaran untuk memusnahkan keluarga Paul dari kancah politik karena ayah Paul beserta keluarganya disukai banyak rakyat. Kaisar khawatir nanti bisa saja dia dimakzulkan dan digantikan oleh ayah Paul. Melalui surat perintah kekaisaran, keluarga Paul dipindahkan ke planet lain yang jauh lebih tandus, sebuah planet gurun pasir. Belum lagi selesai proses transisi kekuasaan, penguasa planet gurun pasir sebelumnya dibantu oleh pasukan kaisar segera melancarkan aksi pembantaian.

Paul dan ibunya lolos dari upaya pembunuhan dan melalui berbagai tantangan akhirnya diterima dan dibantu oleh penduduk setempat, kaum Fremen. Kaum Fremen sendiri telah diajarkan secara turun-temurun tentang keyakinan bahwa akan ada seorang mesias dengan gambaran tertentu, dan seiring waktu, tampaknya Paul mulai memenuhi gambaran tersebut. Film Dune bagian kedua memperlihatkan proses bagaimana awalnya seorang calon pemimpin dianggap remeh dan belum berpengalaman akhirnya menjadi pemimpin yang dielu-elukan oleh orang banyak. Dialah pemimpin politik idola kebanyakan orang.   

***

 Sampai di sini penonton akan terkesima dan bersimpati kepada Paul. Meskipun begitu, kalau kita pelajari cerita Dune dari novel-novelnya, kelanjutannya akan memperlihatkan Paul pada akhirnya menjadi kaisar yang kurang lebih sama dengan, untuk tidak mengatakan lebih bengis daripada, kaisar sebelumnya. Paul pada awalnya baik, tulus, adil, tidak ingin melukai atau membunuh orang lain, dan menghormati rakyat pribumi Fremen, tetapi seiring perjalanan cerita menjadi teryakinkan untuk menerima peran pemimpin politik yang disematkan kepadanya oleh kaum agamawan, penduduk setempat, dan ramalan-ramalan profetik sakral. Menerima peran tersebut berarti mengeksploitasi berbagai cara legal maupun sedikit membelokkan konstitusi tradisi. Di situ ada nilai tambahnya juga, yaitu kemampuan untuk mendapatkan kekuasaan dan sarana untuk membalas dendam terhadap pihak-pihak yang meremehkan Paul dan keluarganya.

Cerita Dune seakan-akan memperingatkan kita untuk berhati-hati dalam memilih pemimpin. Jenjang karier pemimpin, arah yang dituju dari kebijakan dan manuver politik, serta ekosistem geopolitis perlu dicermati lebih lanjut. Pertama, dari segi jenjang karier. Jika kita melihat CV Paul, dia mendapatkan pendidikan yang bagus, lalu secara tiba-tiba diterjunkan ke lapangan geopolitik yang kejam, dilanjutkan dengan pengalaman belajar sekaligus bertugas menghadapi berbagai tantangan di lapangan, dan dengan begitu dia memperoleh dukungan banyak orang. Sampai tahap ini, tampaknya CV Paul baik-baik saja. Titik beloknya adalah pada saat Paul mulai mematikan hati nuraninya, berambisi untuk merebut puncak kekuasaan, dan terobsesi dengan pembalasan dendam. CV-nya mulai memperlihatkan rapor merah ketika dia merendahkan konstitusi Fremen beserta para penatua Fremen demi memenangkan semacam pilpres, menjadi pemimpin tertinggi Fremen secara instan. Dengan kata lain, Paul adalah anak haram konstitusi Fremen.

Hal kedua yang perlu dicermati adalah arah kebijakan dan manuver politik. Untuk apa Paul menggunakan jalan pintas untuk secepatnya menjadi pemimpin tertinggi? Apakah untuk kebaikan yang lebih besar dan kemaslahatan orang banyak, ataukah untuk kepentingan dirinya sendiri, ayahnya, dan keluarganya sendiri? Sebagian besar penonton film Dune sepertinya akan melihat Paul sebagai hero. Amat memuaskan rasanya melhat pembantai keluarga Paul dibantai oleh Paul. Orang jahat telah dikalahkan oleh orang (yang tampaknya) baik. Akan tetapi, jika diperhatikan secara lebih jeli, rakyat Fremen yang merupakan kunci kemenangan Paul hanyalah dijadikan alat untuk meraih kekuasaan. Manuver politik Paul sebenarnya berlandaskan luka batin, obsesi balas dendam, dan ambisi pribadi untuk berkuasa dan mengembalikan nama besar keluarganya. Hanya saja, manuver tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga terlihat seperti demi kepentingan Fremen. Rakyat Fremen kebanyakan pun teryakinkan bahwa Paul adalah pemimpin politik idaman mereka. Sebagian kecil penonton film Dune, termasuk saya, lebih berelasi dengan tokoh Chani, kekasih Paul, yang merasa skeptis dengan manuver Paul. Chani dapat menangkap arah tindakan Paul dan memudarnya karakter baik Paul ketika melakukan manuver tersebut. Paul yang dia kenal sekarang berubah menjadi orang yang tidak lagi dikenalnya; menjadi penguasa baru yang hampir sama saja dengan penguasa sebelumnya.

Hal ketiga adalah ekosistem geopolitik. Fremen sedang dijajah. Sumber daya alamnya ditambang habis-habisan tanpa ada manfaat bagi mereka. Beredar luas ramalan tentang ratu adil di kalangan masyarakat akar rumput. Ramalan tersebut menjadi keyakinan ideologis yang memberikan harapan akan tokoh sempurna yang akan membebaskan rakyat dari penderitaan dan ketertindasan. Rezim yang sedang berkuasa berkomplot melakukan penyerangan terhadap keluarga Paul. Para penguasa bermain culas, berbasis rasa curiga dan keterancaman. Semua itu mencerminkan situasi geopolitik yang terobsesi dengan permainan kekuasaan, keserakahan, ambisi untuk menaklukkan dan mengalahkan siapapun yang berbeda dan menghalangi. Dalam situasi seperti itu, nilai-nilai moral dan etika luhur seperti kemanusiaan, keadilan, akal sehat, kerja sama, persaudaraan tampaknya tidak mendapatkan tempat. Jika saja Paul bersikeras memegang nilai-nilai luhur yang diajarkan selama masa pendidikannya, maka bisa saja dia mati konyol, luput dari perhatian publik, dianggap terlalu idealis kurang realistis, atau menjalani hidup dalam keterasingan. Akan amat sulit bagi orang jujur untuk menjadi pemimpin sementara ekosistem geopolitik lebih memelihara orang-orang culas. Hubungan antara ekosistem geopolitik dan pemimpin itu mirip dengan hubungan antara tanah dan tanaman. Tanaman tertentu hanya akan bisa bertumbuh kembang di tanah dengan kondisi tertentu. Pemimpin-pemimpin yang jujur, adil, dan bijaksana hanya akan bisa bertumbuh kembang di ekosistem geopolitik yang menghadiahi orang-orang seperti itu dan menghukum serta tidak memberikan ruang gerak bagi orang-orang culas dan narsis.  

Kisah Paul mennggambarkan satu alternatif perjalanan hidup seseorang menjadi pemimpin politik. Meskipun film Dune adalah cerita fiksi-sains, bukan dokumenter kenyataan, kita tetap bisa belajar darinya. Sejak dahulu kala orang mencoba mengolah kenyataan menjadi bahan renungan dan pembelajaran yang bisa dicerna rakyat biasa melalui fiksi, cerita rakyat, mitos, legenda, ataupun perumpamaan. Disiplin ilmu psikologi pun berusaha menjelaskan fenomena psikologis menggunakan mitos, seperti konsep Oedipus Complex dari psikoanalisis Freud, Lucifer Effect dari Zimbardo, dan topi berpikir dari De Bono.

Dari mitos Dune kita bisa belajar tentang kepemimpinan yang bisa dibilang buruk. Dan bisa jadi cerita itu secara implisit menggambarkan kenyataan yang kita hadapi saat ini. Lalu pertanyaannya adalah apakah ada cerita tandingan, yang bisa kita pelajari sebagai model kepemimpinan yang baik? Ada. Saya mengusulkan serial Star Trek The Next Generation (TNG) sebagai narasi idealisme kepemimpinan.

***

Star Trek TNG mengisahkan petualangan awak pesawat antariksa U.S.S. Enterprise D yang dinakhodai oleh Jean Luc Picard. Latarnya abad ke-24. Alkisah, pada abad itu manusia sudah mampu melakukan transportasi dan komunikasi antar-galaksi, juga sudah menjalin hubungan baik dengan berbagai spesies makhluk luar angkasa. Hampir semua warga galaksi, manusia dan non-manusia, menjadi anggota Perserikatan Planet-planet (United Federation of Planets) dengan konstitusi atau undang-undang dasar yang disebut Prime Directives. Walaupun wilayah luar angkasa sudah amat luas cakupannya, masih ada kantong-kantong galaksi yang belum terjamah. Tugas awak pesawat antariksa U.S.S. Enterprise D adalah menjelajahi bagian-bagian galaksi yang belum terjamah oleh UFP. Di situlah terjadi banyak petualangan yang menarik dan membuka wawasan kita.

Sumber gambar: https://memory-alpha.fandom.com/)
Sumber gambar: https://memory-alpha.fandom.com/)
Mari kita jelajahi kisah Jean Luc Picard menggunakan tiga hal sejalan dengan kisah Paul, yaitu  jenjang karier, arah kebijakan, dan ekosistem geopolitik. Jika kita melihat CV Picard, dia mendapatkan pendidikan yang bagus di Akademi Starfleet. Dia belajar banyak tentang sejarah, sastra, budaya berbagai bangsa UFP, olahraga, relasi sosial, keterampilan mempiloti pesawat antariksa, diplomasi, dan strategi perang. Picard merupakan salah satu lulusan terbaik dari akademi. Dia memulai jenjang kariernya dari bawah, menjadi salah satu anggota ABK (Anak Buah Kapal) level bawahan, lalu seiring waktu dan pengalaman dinaikkan jabatan dan pangkatnya secara bertahap sampai menjadi kapten pesawat U.S.S. Enterprise D. Kenaikan pangkatnya didasarkan pada prestasi kerja, keterampilan, kecerdasan, dan kematangan pengambilan keputusannya. Dia tidak sempurna. Ada juga kekonyolan, kekeliruan, dan tragedi yang dia alami. Namun semua itu membuatnya berefleksi dan memperbaiki diri.

Hal kedua adalah arah kebijakan dan manuver politik. Picard secara teguh memegang Prime Directives. Dia tidak menghalalkan segala cara, juga tidak mengeksploitasi apa pun maupun siapa pun untuk mencapai tujuannya. Terlihat dari berbagai rekam jejak dan manuver politiknya bahwa semua yang dia lakukan adalah untuk mencapai kondisi hidup bersama yang lebih baik melalui cara-cara cerdas yang tidak menyimpang dari Prime Directives. Hati nuraninya tetap dijaga meskipun dia sudah mencapai jabatan pimpinan tertinggi. Kelihatan sekali bahwa dia tidak mementingkan kepentingan diri sendiri, keluarga, maupun kelompoknya sendiri. Toh, ayahnya hanyalah seorang petani anggur, bukan presiden ataupun pemegang posisi penting di pemerintahan. Picard memastikan semua bawahannya paham arah kebijakan dan manuver politiknya. Semua arahannya dia jelaskan secara gamblang. Semua awak pesawat sudah tahu arah tindakannya mau ke mana, dan mereka yakin bahwa itu untuk kebaikan bersama. Mereka lalu dengan senang hati, sepenuh hati menjalankan tugasnya masing-masing, berusaha mengeluarkan segala kemampuan mereka sebaik-baiknya untuk mengerjakan arahan Picard. Tidak ada paksaan maupun manipulasi keyakinan di situ. Semua melakukan apa yang mereka lakukan karena arahan Picard masuk akal, etis, sesuai Prime Directives, sejalan dengan hati nurani, dan secara moral dapat dipertanggungjawabkan.

Hal ketiga adalah ekosistem geopolitik. Pada abad ke-24, dikisahkan bahwa galaksi-galaksi secara umum berada dalam kondisi damai. Tetap saja ada pihak yang berseberangan dengan UFP, yaitu bangsa Romulan. Sebelum abad ke-24, bangsa Klingon juga berperang dengan UFP, namun berakhir dengan damai dan akhirnya Klingon bergabung dengan UFP. Warga Klingon jadi mendapatkan hak yang setara dengan berbagai bangsa lain untuk menjadi pemimpin di lingkungan UFP. Salah satu kepala keamanan Picard adalah orang Klingon yang juga merupakan lulusan akademi Starfleet dan meniti jenjang karier dari bawah. "Tanah" geopolitik dalam cerita Star Trek TNG tampaknya mendukung "tanaman" orang-orang yang memiliki etos kerja baik dan panduan moral yang jelas mengarah pada kemaslahatan bersama. Lawan bisa jadi kawan, tetapi didasarkan pada kebutuhan untuk bekerja sama dan menciptakan hubungan baik, bukan untuk menang-menangan atau menjatuhkan pihak lain. Dalam situasi seperti itu, berbagai kebejatan moral dan etika, seperti obsesi terhadap permainan kekuasaan, keserakahan, ambisi untuk menaklukkan dan mengalahkan siapapun yang berbeda dan menghalangi, tidak akan mendapatkan ruang gerak.

***

Kita bisa belajar banyak tentang kepemimpinan dari kisah-kisah fiksi-sains seperti Dune dan Star Trek. Kenyataan kepemimpinan politik di Indonesia saat ini lebih mendekati ke kisah Paul daripada kisah Picard. Kita menyaksikan bahwa cara-cara "gimmick" dan eksploitasi kesan yang bersifat permukaan menarik jauh lebih banyak suara rakyat dalam pemilihan pemimpin politik, daripada cara-cara etis, substansial, dan konstitusional. Melalui tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa jangan-jangan kebanyakan dari kita lebih memilih orang-orang seperti Paul untuk menjadi pemimpin politik idaman kita, alih-alih orang-orang seperti Picard. Jangan-jangan, situasi dan sistem politik di negeri kita menghadiahi para pemimpin yang culas, dan menghukum para pemimpin yang jujur dan meniti jenjang karier dari bawah. Jangan-jangan kita sudah tidak peduli lagi ke mana arah kebijakan dan manuver politik para pemimpin politik kita; yang penting perut kita kenyang, harga barang murah, junjungan kita menang, dan penghasilan kita cukup.

Salah satu penelitian psikologi sosial (Haslam, 2011; Haslam dan kolega, 2014) menunjukkan bahwa pemimpin cenderung mencerminkan sosok terunggul dari harapan para pengikut. Maksudnya, para pengikut punya harapan dan keyakinan tertentu tentang pencapaian tertinggi, lalu pemimpin dianggap sudah atau mampu mencapai harapan dan keyakinan tersebut. Rakyat Fremen misalnya berharap Paul dapat menjadi mesias, pemimpin politik idaman yang akan membebaskan mereka dari ketertindasan. Ketika Paul dapat menjatuhkan penguasa bengis, rakyat Fremen memaknainya sebagai Paul adalah orang terpilih yang mampu mencapai apa yang mereka perjuangkan selama ini, yaitu mengalahkan musuh.

Sumber gambar: https://www.cnet.com
Sumber gambar: https://www.cnet.com

Sedangkan dalam kasus Picard, awak pesawat U.S.S. Enterprise D memiliki harapan dan keyakinan yang termaktub dalam undang-undang dasarnya, Prime Directives. Pencapaian tertinggi adalah ketika orang saling mengisi dan menghargai dalam kehidupan bersama beragam bangsa, bekerja sepenuh hati dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki demi kemajuan ilmu pengetahuan dan budaya, serta menjelajahi hal-hal baru yang belum pernah diketahui sebelumnya. Ketika Picard mampu merintis hubungan baik dengan bangsa lain, menelurkan strategi-strategi cerdas sekaligus etis untuk menjauhkan awak pesawatnya dari marabahaya, dan memberikan teladan di sepanjang kariernya bahwa dia menjiwai dan menjalankan Prime Directives, maka para awak pesawat U.S.S. Enterprise D memaknainya sebagai orang terpilih yang mampu mencapai apa yang mereka perjuangkan selama ini, yaitu kehidupan yang layak dan pantas hasil dari kerja keras dan pengabdian pada nilai-nilai luhur.

***

Indonesia memiliki Pancasila dan UUD 1945. Seharusnya itulah yang menjadi tolok ukur berbagai kebijakan dan manuver politik di Indonesia. Kita perlu membentuk ekosistem geopolitik yang menyuburkan bagi para calon pemimpin yang jujur, cerdas, dan meniti karier dari bawah. Sebenarnya ada partai politik yang memiliki institusi pendidikan semacam akademi untuk mendidik kader dari awal karier politik. Lalu menempatkan lulusan-lulusan akademi itu di berbagai posisi dalam pemerintahan baik di lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dari situ jenjang karier dapat dibangun seiring waktu, pencapaian kerja, dan pengalaman. Skema jenjang karier politik seperti ini yang potensial membentuk ekosistem geopolitik yang menghasilkan orang-orang semacam Picard. Kata kuncinya adalah pendidikan, moralitas, dan pencapaian berbasis prestasi. Lawan katanya adalah gimmick, instan, dan culas.

Sumber gambar: https://id.wikipedia.org/
Sumber gambar: https://id.wikipedia.org/
Bagi para rakyat biasa yang tidak berada dalam organisasi politik, apa yang bisa mereka lakukan? Saran saya, mulailah dari diri sendiri dan lingkungan terdekat untuk mendukung orang-orang yang jujur dan etis, lalu melawan orang-orang culas. Selalu ada pilihan untuk menggunakan cara-cara cerdas dan etis dalam mencapai tujuan bersama. Makanya kita perlu menjiwai dan menjalankan kutipan pembukaan UUD 1945, "Mencerdaskan kehidupan bangsa".   

Akhir kata, film Dune ini memang keren dan inspiratif. Bisa memancing diskusi yang lebih mendalam tentang kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama tentang pemimpin politik idaman kita. Akan tetapi, tidak harus berpikir mendalam untuk dapat menikmati film ini. Penampakan visual yang indah dan artistik, aksi laga yang seru, para bintang film terkenal yang jago aktingnya, serta alur cerita yang sangat menarik sudah merupakan nilai tambah yang bisa dinikmati oleh siapapun. 

Sumber gambar: https://www.odeon.co.uk/
Sumber gambar: https://www.odeon.co.uk/

Daftar Pustaka:

De Bono, E. (2000). Six thinking hats: Revised and updated. Penguin Books. (Original work published 1985)

Hartocollis, P. (2005). Origins and evolution of the oedipus complex as conceptualized by Freud. The Psychoanalytic Review, 92(3), 315-334. https://doi.org/10.1521/prev.92.3.315.66544

Haslam, S. A., Reicher, S., & Platow, M. (2011). The new psychology of leadership: Identity, influence, and power. Psychology Press.

Haslam, S. A., Reicher, S. D., & Birney, M. E. (2014). Nothing by mere authority: Evidence that in an experimental analogue of the Milgram paradigm participants are motivated not by orders but by appeals to science. Journal of Social Issues, 70(3), 473-488. https://doi.org/10.1111/josi.12072

Zimbardo, P. (2011). The Lucifer effect: How good people turn evil. Random house.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun