Mari kita jelajahi kisah Jean Luc Picard menggunakan tiga hal sejalan dengan kisah Paul, yaitu  jenjang karier, arah kebijakan, dan ekosistem geopolitik. Jika kita melihat CV Picard, dia mendapatkan pendidikan yang bagus di Akademi Starfleet. Dia belajar banyak tentang sejarah, sastra, budaya berbagai bangsa UFP, olahraga, relasi sosial, keterampilan mempiloti pesawat antariksa, diplomasi, dan strategi perang. Picard merupakan salah satu lulusan terbaik dari akademi. Dia memulai jenjang kariernya dari bawah, menjadi salah satu anggota ABK (Anak Buah Kapal) level bawahan, lalu seiring waktu dan pengalaman dinaikkan jabatan dan pangkatnya secara bertahap sampai menjadi kapten pesawat U.S.S. Enterprise D. Kenaikan pangkatnya didasarkan pada prestasi kerja, keterampilan, kecerdasan, dan kematangan pengambilan keputusannya. Dia tidak sempurna. Ada juga kekonyolan, kekeliruan, dan tragedi yang dia alami. Namun semua itu membuatnya berefleksi dan memperbaiki diri.
Hal kedua adalah arah kebijakan dan manuver politik. Picard secara teguh memegang Prime Directives. Dia tidak menghalalkan segala cara, juga tidak mengeksploitasi apa pun maupun siapa pun untuk mencapai tujuannya. Terlihat dari berbagai rekam jejak dan manuver politiknya bahwa semua yang dia lakukan adalah untuk mencapai kondisi hidup bersama yang lebih baik melalui cara-cara cerdas yang tidak menyimpang dari Prime Directives. Hati nuraninya tetap dijaga meskipun dia sudah mencapai jabatan pimpinan tertinggi. Kelihatan sekali bahwa dia tidak mementingkan kepentingan diri sendiri, keluarga, maupun kelompoknya sendiri. Toh, ayahnya hanyalah seorang petani anggur, bukan presiden ataupun pemegang posisi penting di pemerintahan. Picard memastikan semua bawahannya paham arah kebijakan dan manuver politiknya. Semua arahannya dia jelaskan secara gamblang. Semua awak pesawat sudah tahu arah tindakannya mau ke mana, dan mereka yakin bahwa itu untuk kebaikan bersama. Mereka lalu dengan senang hati, sepenuh hati menjalankan tugasnya masing-masing, berusaha mengeluarkan segala kemampuan mereka sebaik-baiknya untuk mengerjakan arahan Picard. Tidak ada paksaan maupun manipulasi keyakinan di situ. Semua melakukan apa yang mereka lakukan karena arahan Picard masuk akal, etis, sesuai Prime Directives, sejalan dengan hati nurani, dan secara moral dapat dipertanggungjawabkan.
Hal ketiga adalah ekosistem geopolitik. Pada abad ke-24, dikisahkan bahwa galaksi-galaksi secara umum berada dalam kondisi damai. Tetap saja ada pihak yang berseberangan dengan UFP, yaitu bangsa Romulan. Sebelum abad ke-24, bangsa Klingon juga berperang dengan UFP, namun berakhir dengan damai dan akhirnya Klingon bergabung dengan UFP. Warga Klingon jadi mendapatkan hak yang setara dengan berbagai bangsa lain untuk menjadi pemimpin di lingkungan UFP. Salah satu kepala keamanan Picard adalah orang Klingon yang juga merupakan lulusan akademi Starfleet dan meniti jenjang karier dari bawah. "Tanah" geopolitik dalam cerita Star Trek TNG tampaknya mendukung "tanaman" orang-orang yang memiliki etos kerja baik dan panduan moral yang jelas mengarah pada kemaslahatan bersama. Lawan bisa jadi kawan, tetapi didasarkan pada kebutuhan untuk bekerja sama dan menciptakan hubungan baik, bukan untuk menang-menangan atau menjatuhkan pihak lain. Dalam situasi seperti itu, berbagai kebejatan moral dan etika, seperti obsesi terhadap permainan kekuasaan, keserakahan, ambisi untuk menaklukkan dan mengalahkan siapapun yang berbeda dan menghalangi, tidak akan mendapatkan ruang gerak.
***
Kita bisa belajar banyak tentang kepemimpinan dari kisah-kisah fiksi-sains seperti Dune dan Star Trek. Kenyataan kepemimpinan politik di Indonesia saat ini lebih mendekati ke kisah Paul daripada kisah Picard. Kita menyaksikan bahwa cara-cara "gimmick" dan eksploitasi kesan yang bersifat permukaan menarik jauh lebih banyak suara rakyat dalam pemilihan pemimpin politik, daripada cara-cara etis, substansial, dan konstitusional. Melalui tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa jangan-jangan kebanyakan dari kita lebih memilih orang-orang seperti Paul untuk menjadi pemimpin politik idaman kita, alih-alih orang-orang seperti Picard. Jangan-jangan, situasi dan sistem politik di negeri kita menghadiahi para pemimpin yang culas, dan menghukum para pemimpin yang jujur dan meniti jenjang karier dari bawah. Jangan-jangan kita sudah tidak peduli lagi ke mana arah kebijakan dan manuver politik para pemimpin politik kita; yang penting perut kita kenyang, harga barang murah, junjungan kita menang, dan penghasilan kita cukup.
Salah satu penelitian psikologi sosial (Haslam, 2011; Haslam dan kolega, 2014) menunjukkan bahwa pemimpin cenderung mencerminkan sosok terunggul dari harapan para pengikut. Maksudnya, para pengikut punya harapan dan keyakinan tertentu tentang pencapaian tertinggi, lalu pemimpin dianggap sudah atau mampu mencapai harapan dan keyakinan tersebut. Rakyat Fremen misalnya berharap Paul dapat menjadi mesias, pemimpin politik idaman yang akan membebaskan mereka dari ketertindasan. Ketika Paul dapat menjatuhkan penguasa bengis, rakyat Fremen memaknainya sebagai Paul adalah orang terpilih yang mampu mencapai apa yang mereka perjuangkan selama ini, yaitu mengalahkan musuh.
Sedangkan dalam kasus Picard, awak pesawat U.S.S. Enterprise D memiliki harapan dan keyakinan yang termaktub dalam undang-undang dasarnya, Prime Directives. Pencapaian tertinggi adalah ketika orang saling mengisi dan menghargai dalam kehidupan bersama beragam bangsa, bekerja sepenuh hati dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki demi kemajuan ilmu pengetahuan dan budaya, serta menjelajahi hal-hal baru yang belum pernah diketahui sebelumnya. Ketika Picard mampu merintis hubungan baik dengan bangsa lain, menelurkan strategi-strategi cerdas sekaligus etis untuk menjauhkan awak pesawatnya dari marabahaya, dan memberikan teladan di sepanjang kariernya bahwa dia menjiwai dan menjalankan Prime Directives, maka para awak pesawat U.S.S. Enterprise D memaknainya sebagai orang terpilih yang mampu mencapai apa yang mereka perjuangkan selama ini, yaitu kehidupan yang layak dan pantas hasil dari kerja keras dan pengabdian pada nilai-nilai luhur.
***
Indonesia memiliki Pancasila dan UUD 1945. Seharusnya itulah yang menjadi tolok ukur berbagai kebijakan dan manuver politik di Indonesia. Kita perlu membentuk ekosistem geopolitik yang menyuburkan bagi para calon pemimpin yang jujur, cerdas, dan meniti karier dari bawah. Sebenarnya ada partai politik yang memiliki institusi pendidikan semacam akademi untuk mendidik kader dari awal karier politik. Lalu menempatkan lulusan-lulusan akademi itu di berbagai posisi dalam pemerintahan baik di lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dari situ jenjang karier dapat dibangun seiring waktu, pencapaian kerja, dan pengalaman. Skema jenjang karier politik seperti ini yang potensial membentuk ekosistem geopolitik yang menghasilkan orang-orang semacam Picard. Kata kuncinya adalah pendidikan, moralitas, dan pencapaian berbasis prestasi. Lawan katanya adalah gimmick, instan, dan culas.
Bagi para rakyat biasa yang tidak berada dalam organisasi politik, apa yang bisa mereka lakukan? Saran saya, mulailah dari diri sendiri dan lingkungan terdekat untuk mendukung orang-orang yang jujur dan etis, lalu melawan orang-orang culas. Selalu ada pilihan untuk menggunakan cara-cara cerdas dan etis dalam mencapai tujuan bersama. Makanya kita perlu menjiwai dan menjalankan kutipan pembukaan UUD 1945, "Mencerdaskan kehidupan bangsa". Â Â
Akhir kata, film Dune ini memang keren dan inspiratif. Bisa memancing diskusi yang lebih mendalam tentang kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama tentang pemimpin politik idaman kita. Akan tetapi, tidak harus berpikir mendalam untuk dapat menikmati film ini. Penampakan visual yang indah dan artistik, aksi laga yang seru, para bintang film terkenal yang jago aktingnya, serta alur cerita yang sangat menarik sudah merupakan nilai tambah yang bisa dinikmati oleh siapapun.Â