Aku sangat menyukai anjing. Tampangnya lucu menggemaskan, dan konon sangat setia pada majikannya. Sebenarnya aku lebih suka jenis anjing yang besar dan gagah, seperti golden retriever atau labrador karena dapat dipeluk dengan mapan. Nimo memang jenis anjing kecil, namun aku pasrah saja menerima apa adanya yang kudapatkan saat ini. Datangnya Nimo merupakan berkah bagiku. Dia kumandikan, kuberi makan, dan kurawat sepenuh hatiku.
***
Ayu bertemu pertama kalinya dengan Beni saat menempuh kuliah S3. Ada teman SMA Ayu yang mencomblangi mereka.
Postur tubuh dan tampang Beni tergolong biasa-biasa aja. Badannya tidak terlalu tinggi, tidak kekar cenderung agak gendut, dan wajahnya tidak ganteng-ganteng amat. Penghasilannya tidak begitu besar; dia adalah seorang pekerja level menengah di suatu perusahaan.
Ayu sebenarnya suka pria yang tinggi, gagah, ganteng, cerdas, dan kaya. Namun, seiring waktu dia mulai menyukai Beni dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Beni tampak sangat perhatian dan melindunginya. Pria itu sangat jujur dan selera humornya tinggi, mampu mengurangi stres kuliah Ayu dan membuatnya tertawa terpingkal-pingkal. Â
Ayu akhirnya berdamai dengan fakta bahwa dia tidak akan mendapatkan lelaki ideal yang diharapkannya. Dia pasrah menerima apa adanya yang dia dapatkan saat ini. Toh, Beni itu tidak buruk buruk amat. Dia adalah orang yang baik-baik dan terhormat.
Beberapa waktu sebelum mereka bertunangan, Ayu memergoki Beni berselingkuh. Ayu begitu marah saat itu, bahkan sempat menampar Beni. Mereka bertengkar cukup lama.
Beni menunjukkan penyesalannya dan berjanji bahwa kejadian itu tidak akan terulang lagi. Tatapan Beni sangat memelas, membuat hati Ayu meleleh dan memaafkannya. Tak lama kemudian mereka bertunangan. Â
 ***
Aku membungkus jenazah burung gereja itu dengan kain sobekan bekas dasterku. Aku membuat lubang di tanah, lalu menguburnya. Nimo memperhatikan dari kejauhan, terlihat ragu-ragu untuk mendekatiku.
Aku berpikir, mungkin pemilik Nimo sebelumnya melatih dia untuk menangkap burung hasil buruan tuannya. Nimo jadinya dibiasakan untuk menyergap burung. Selama Nimo bersamaku, dia tidak pernah bersikap agresif terhadap tamu-tamu yang datang ke rumahku, maupun terhadap hewan-hewan lain. Dengan kucing pun, mereka hanya saling tatap; Nimo menggonggong, kucing mengeong. Lalu kucingnya pergi. Aku berusaha melatih Nimo untuk membunuh tikus, tapi dia hanya memain-mainkan hewan pengerat itu secara lemah lembut, seperti teman bermain. Dia enggan membunuh tikus.
Lain halnya dengan unggas. Nimo sigap sekali menyergap burung dan ayam. Aku bersusah payah meneriakinya agar tidak memburu unggas-unggas malang itu. Jika sudah terobsesi mengejar unggas, biasanya anjing itu mengabaikan hal-hal lain, termasuk teriakanku.