Penulis bersama kawan fasilitator daerah utusan BPMP (Balai Penjaminan Mutu Pendidikan) Provinsi Kalimantan Selatan hari ini telah usai melaksanakan pengimbasan kepada 120 sekolah di Kabupaten Tapin. Sekolah tersebut bermacam-macam jenjang seperti TK,SD, SMP, SLB, SMA,SMK,dan PKBM. Kegiatan tersebut terlaksana dari hari Senin, 11 November hingga 12 November 2024 di Aula SMA Negeri 1 Rantau. Kegiatan ini juga difasilitasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Tapin yang langsung dibuka oleh Ibu Kepala Dinas Ibu Ernawati,S.Pd, MM.
Banyak hal yang penulis dapatkan pada pelatihan ini walaupun posisinya sebagai narasumber. Diantaranya adalah semangat dari peserta pelatihan dalam mengikuti kegiatan ini walaupun ada yang posisi sekolah sekaligus rumahnya sangat jauh dari kota Rantau seperti Kaladan, Margasari, Bagak, Batu Hapu, dan sebagainya. Gambaran wilayah yang kami imbaskan sangat bervariasi baik dari pegunungan, sungai, maupun daratan kota.Â
Semangat lainnya adalah tepat waktu peserta yang sangat jauh tersebut. Hal ini menandakan bahwa komitmen peserta tak perlu diragukan lagi. Hingga ada penulis melihat terlintas video di aplikasi tik tok mengatakan bahwa profesi yang paling tulus adalah guru. Semoga ketulusan tersebut dalam mendidik siswa memang kita miliki sebagai guru.Â
Ujung tombak dari segala kebijakan pasti bermuara kepada guru. Oleh karena itu banyak peserta yang meminta bahwa kegiatan seperti ini harus sering dilakukan dan penulis sependapat. Mengapa ? Agar tidak menjadi banyak miskonsepsi terkait regulasi kebijakan. Banyak penulis temui di kegiatan kali ini miskonsepsi yang sangat jauh dari keinginan dari pemangku kebijakan pusat seperti kurikulum merdeka ribet administrasi, polemik kewajiban setiap siswa harus selalu naik kelas, managemen kelas terhadap anak yang sangat aktif, dan kebingungan mengaplikasikan pembelajaran differensiasi serta wacana kurikulum merdeka ditiadakan. Pada kegiatan kali ini semua miskonsepsi tersebut terbantahkan.
Ternyata para peserta memiliki persepsi miskonsepsi tersebut karena banyaknya tayangan dari media sosial yang membanjiri layar kacanya sehingga menjadi keyakinan. Ditambah lagi kurang pahamnya sebagian oknum dinas pendidikan atau kepala sekolah mengenai kurikulum merdeka yang seakan-akan memaksa seperti tidak boleh tidak menaikan anak, administrasi harus seperti dulu, padahal hal itu dibantah sendiri oleh BPMP yakni ibu Rini Fitriani pada saat pelatihan di hotel QIN Banjarbaru. Oleh karena itu ini merupakan tantangan kementrian dan BPMP untuk mengimbangi opini miring terkait kurikulum merdeka di dunia media sosial.
Penulis pun selalu melakukan assemen awal terkait literasi para guru berupa pertanyaan ringan seperti " Apakah bapak atau ibu guru disini sudah membaca 20 buku dalam sebulan?". Ternyata tidak ada satu pun guru membaca buku terkait profesi diatas 20 buku dalam sebulan. Paling banyak 1 hingga 3 buku. Padahal kita mengetahui kurikulum merdeka ini sebenarnya dirancang bagi guru yang mempunyai literasi yang aktif sehingga dapat merancang pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dengan sifat kontekstual. Bagaimana guru dapat menerapkan hal itu jika hanya copy paste namun tidak memahami maknanya? Oleh karena itu ini menjadi refleksi bersama untuk menjadikan pendidikan bermutu untuk semua seperti tagline Menteri Dasar dan Menengah Prof Bapak Abdul Mu'ti.