Mohon tunggu...
Edmu YulfizarAbdan
Edmu YulfizarAbdan Mohon Tunggu... Guru - Guru Pemula

Penulis Buku Pengabdian Literasi Sang Guru (2023) | Menggapai Cahaya Ramadhan dengan Tadarus Pendidikan (2023) | Guru Pembelajaran Sepanjang hayat (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023) | Antologi Dibalik Ruang Kelas (2024) | Guru SMA |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Indonesia: dari Krisis Integritas Menuju Meritrokrasi

21 Juli 2024   18:02 Diperbarui: 21 Juli 2024   18:12 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Berita bersileweran di media sosial, TV nasional mengenai pendidikan hari demi hari ini menunjukkan kecendrungan tidak sehat diantaranya, dimulai dari skandal gelar guru besar, panja pembiayaan pendidikan yang bocor, honorer di cleanshing, skandal katrol nilai puluhan siswa di depok dan lain-lain. Lantas, apa yang salah dengan pendidikan kita ? Apakah sistemnya yang keliru? Apakah SDMnya yang tidak berkualitas ? 

Belum lagi permasalahan di dalam sekolahan seperti budaya gosip, geng antar guru, oknum guru yang tidak maksimal mengajar dikelas, oknum guru yang tidak mempunyai jiwa keteladanan, oknum guru yang tidak mau mengembangkan kompetensinya, tekanan mental dan lain lain. Hal ini menambah deretan keruwetan dunia pendidikan. Darimana kita harus memperbaikinya ?

Pemberitaan dari TEMPO bahwa peneliti dari Republik Ceko, Vit Machacek dan Martin Srholec (2022) mengatakan Indonesia berada di peringkat kedua dalam hal ketidak jujuran akademik. Mereka meneliti artikel para akademikus yang terbit diberbagai jurnal predator sepanjang 2015-2017. 

Jika melihat dari paparan diatas,sungguh pesimis memeluk jiwa dan pikiran penulis. Telintas di pikiran penulis, apakah dalam mereformasi dunia pendidikan saat ini diperlukan "Nabi" untuk menjalankannya? Apakah ada sosok manusia yang dapat memberikan oase pencerahan untuk menyembuhkan penyakit di sistem pendidikan kita?  

Meritrokrasi

Sebentar lagi bulan Oktober. Oktober dapat dikatakan sebagai bulan pergantian pemerintahan kepada presiden dan wakil presiden yang terbaru. Penulis menitipkan secercah harapan kepada presiden dan wakil presiden yang tepilih agar untuk urusan pendidikan dikembalikan kepada yang ahli, berkompeten, memahami medan permasalahan beserta solusi. Bukan karena dipilih sesuai selera atau hanya karena tim sukses belaka. Mungkin salah satu obat yang mujarab bagi penyakit pendidikan kita sekarang menurut penulis adalah Meritokrasi dari pusat hingga daerah.

Seperti yang dikatakan oleh praktisi pendidikan Indra Charismiaji bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi itu harus memiliki visi yang besar dengan membuat kebijakan pendidikan bukan kebijakan persekolahan. Tentunya juga untuk menopang kebijakan tersebut harus melalui riset yang mendalam terlebih dahulu bukan karena ingin menghabiskan anggaran belaka. Walaupun penulis melihat rapat DPR RI Komisi X pendanaan kita sebenarnya sangat besar berjumlah kurang lebih 665 Trilyun, namun karena bocor yang terpakai hanya 90an trilyun. 

Menurut Indra Charismiaji hingga sekarang pendidikan di Indonesia tidak memiliki peta jalan pendidikan. Sehingga gonta-ganti kurikulum menjadi pilihan yang seksi bagi Menteri yang menjabat. Akhirnya guru yang menjadi ujung tombak kebijakan pun menjadi bingung. Bagaimana nasib peserta didik jika gurunya pun bingung?

Kurangnya koordinasi antara Kemendikbudristek dengan daerah mengakibatkan beban guru menjadi bertambah. Selain tugasnya berupa mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi, guru pun disibukkan dengan berbagai pelaporan baik RHK (Rencana Hasil Kerja) hingga administrasi kepegawaian yang banyak. Sehingga guru tidak fokus lagi untuk mengembangkan kompetensinya. Puncaknya adalah memilih zona nyaman dengan mengajar hal yang mungkin tidak dibutuhkan oleh peserta didik maupun kehidupan masa depan.

Teladan

Obat kedua menurut penulis dari kanker sistem pendidikan ini adalah keteladanan dari seluruh stakeholder. Guru disekolah hanya mengikuti sistem yang dibuat oleh para stakeholder. Seperti kasus katrol nilai oleh guru di Depok yang sedang hangat ini. Padahal jika mau objektif semua satuan pendidikan melakukan hal tersebut, ucap influencer pendidikan bernama Ichalago Chaniago. Sebenarnya nampak jelas terlihat dari zaman UAN (Ujian Akhir Nasional) dahulu, bahwa stakeholder meminta guru untuk membantu siswa agar nilainya dapat tinggi, minimal diatas batas minimal kelulusan. Guru pun dengan berbagai cara melakukan hal-hal yang pragmatis tersebut sehingga daerah yang dipimpin stakeholder tersebut dianggap berhasil dalam pendidikan, padahal itu hanyalah ilusi keberhasilan semata.

Guru menjadi teladan, namun tidak didukung oleh stakeholder yang berjiwa guru maka menurut penulis sia-sia saja. Karena lebih banyak sistem tersembunyi yang berjalan ketimbang jargon manisnya seperti tidak ada pungli, sekolah gratis, dan lain-lain. Kenyataannya jargon tidak ada pungli di daerah tertentu berbanding terbalik dilapangan hingga menjadi suatu keharusan jika ingin permintaannya dikabulkan dengan cepat baik seperti meminta bantuan hingga meminta pindah tugas karena jauh dari rumah,urusan kenaikan pangkat, dan pengangkatan honor daerah. Bahkan setiap dapat bantuan DAK pun harus berbagi persenan sehingga bangunan tersebut jauh dari anggaran awal. Apakah terjadi hal ini didaerah pembaca?

Sekolah gratis pun hanya menjadi jargon belaka juga. Karena ambisi politik, ia tebar janji-janji yang tidak masuk akal. Walaupun kita mengetahui bahwa undang-undang dasar mengatakan pendidikan adalah hak bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga pembiayaannya pun harus ditanggung Negara. Namun pada kenyataannya banyak pembiayaan sekolah yang masih menjadi tanggung jawab sekolah seperti listrik, air, wifi, dan banyaknya kegiatan siswa baik yang resmi maupun non resmi sehingga jika pemerintah tidak turun tangan membantu hal ini sekolah gratis hanyalah utopia karena sekolah tidak mampu membiayai. 

Mengandalkan BOS semata menurut Indra Charismiaji maka sampai kapanpun pembiayaan pendidikan tidaklah cukup. Harusnya bukan bantuan, tetapi KOS (Kewajiban Operasional Sekolah). Karena jika taat konstitusi pembiayaan seluruh pendidikan adalah kewajiban pemerintah.

Oleh karena itu teladan antara perkataan dengan perbuatan hari-hari ini sangat dibutuhkan terlebih bagi stakeholder di bidang pendidikan. Penulis pernah mendengar anekdot dimasyarakat bahwa banyak orang pintar, namun kepintarannya digunakan untuk kecurangan. Semoga hal tersebut hanyalah sebuah anekdot saja bukan sebuah kenyataan. 

Kesimpulan

Meritrokrasi dan teladan merupakan langkah awal untuk reformasi pendidikan kearah yang lebih baik. Dari dua hal ini jika dimiliki oleh stakeholder maka akan memudahkan dalam pembuatan peta jalan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Tantangan kedepan semakin banyak, janganlah membuat kebijakan karena tergantung selera namun harus berbasis data. Teladan bukan hanya harus dimiliki oleh guru yang mengajar siswa namun stakeholder pun harus berusaha menjadi teladan yang baik untuk jajaran dan bawahannya.

Mari kita bersama-sama mengkampenyekan meritrokrasi dan teladan dalam dunia pendidikan. Jika suara kita tidak dapat didengar hingga pusat maka mulailah mengubah diri sendiri untuk ditularkan kepada sekitar mengenai meritrokrasi dan keteladanan ini. Guru yang mampu memiliki 2 hal ini maka energi pengabdiannya tidak akan pernah kering, kehidupannya selalu bermakna, dan dapat menghadirkan pembelajaran yang gembira.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun