Penulis mendapatkan kabar dari whatshapp grup gambar berupa program prioritas Kemendikbusristek tahun 2024 yang berisi bahwa:
1. Kegiatan launcing Kurikulum Nasional menggantikan Kurikulum Merdeka bulan Maret 2024.
2. Pendaftaran Satuan Pendidikan Pelaksana Kurikulum Nasional pada tahun ajaran 2024/2025.
3. Festival Kurikulum Merdeka.
Sontak, penulis yang sedang berdiri di teras sekolah memberitahu Kepala Sekolah dan Waka Humas yang berada disamping  setelah kegiatan Khataman Al Qur'an dan Shalat Hajat untuk kelas XII lalu beliau berkata bahwa "semoga tidak ada perubahan yang sangat banyak lagi, karena baru saja belajar kurikulum merdeka, masa langsung diganti,kasihan guru-guru".Â
Pro dan kontra terkait PMM (Platform Merdeka Mengajar) pun hingga saat ini masih menjadi perbincangan hangat dikalangan guru, ada yang memandang dengan sinis karena membebani pekerjaan guru, disisi yang lain ada yang memandang dengan hati terbuka karena dapat meningkatkan kompetensi guru secara signifikan.Â
Walau setelah membaca beberapa berita online terkait hal ini ada kritik dari aktivis organisasi nirlaba Barisan Pengkaji Pendidikan (Bajik) yang mengatakan bahwa kurikulum merdeka tak layak menjadi kurikulum nasional. Dhita Puti Sarasvati sebagai Direktur Eksekutif Bajik juga menambahkan kurikulum merdeka ini masih compang camping.Â
Banyak kelemahan yang harus diperbaiki. Bahkan naskah akademiknya pun belum ada hingga sekarang yang mengakibatkan sulit untuk memahami apa yang menjadi dasar pemikiran kurikulum merdeka tersebut. Kerangka kurikulum pun masih belum dibuat. Oleh karena itu Dhita tidak setuju jika kurikulum ini disahkan Kemendikbudristek untuk menjadi Kurikulum Nasional.
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Nasional ( BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito pada tahun lalu tepatnya Minggu (17/9/2023) mengatakan bahwa ia memastikan kurikulum merdeka ini menjadi kurikulum nasional pada 2024.Â
Jadi bagi yang masih menggunakan kurikulum 2013 dapat bertahap berubah menjadi kurikulum merdeka, karena tahun depan (2024) kurikulum merdeka menjadi kurikulum Nasional.
Sebagai guru pemula, penulis sadari bahwa ada manfaat dari kurikulum merdeka ini dari aspek sumber belajar yakni PMM (Platform Merdeka Mengajar). Namun, ketika PMM diwajibkan bagi seorang guru, pemerintah wajib menyediakan akses sarana dan prasarana untuk hal tersebut.Â
Tidak semua wilayah dapat mengakses PMM karena jaringan yang sangat lelet contohnya saja ketika penulis sedang di daerah Pangalengan Bandung baru-baru ini, waktu itu sedang zoom acara AGPAII (Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia).Â
Penulis menggunakan kartu Telkomsel, tetapi zoom saja keluar masuk karena jaringan lemah. Â di sisi lain jika mengerjakan PMM diperlukan laptop yang memadai dan handphone yang cukup menyimpan memori untuk membuat aksi nyata.Â
Apakah hal tersebut sudah pemerintah penuhi ? Ujung-ujungnya adalah terkait masalah kesejahteraan. Apakah guru sekarang sudah sejahtera? Belum lagi ketika sudah mengerjakan aksi nyata, validasinya sungguh sangat lama ,sehingga membuat sebagian guru bosan lalu meninggalkan PMM karena tidak mendapat kepastian. Hal ini harus menjadi perhatian jika Kurikulum Merdeka dijadikan Kurikulum Nasional.
Penulis rasakan juga pada kurikulum merdeka , guru menjadi lebih fleksibel dan lebih mendalam dalam merancang  pembelajaran dari materi yang disajikan . Namun, ketika kegiatan Projek Profil Pelajar Pancasila akan berlangsung, selama 2 tahun ini kami paling banyak mengajarkan 2 bab saja atau 1 bab dan tidak tuntas.Â
Dilapangan penulis pun masih bingung ketika mata pelajaran penulis misalnya dihubungkan dengan projek yang disajikan seperti projek mengenai tarian kuda luping dari perspektif Islam atau membuat kain sasirangan dalam pandangan Islam. Mungkin perlu dibuat pelatihan secara khusus dan serius jika hal ini dijadikan Kurikulum Nasional.Â
Penulis sadari ketika melihat di PMM mengenai P5 ini yang dituntut aktif adalah peserta didik dari pra kegiatan- proses-hasil tetapi dilapangan banyak peserta didik yang mengikuti kegiatan karena hanya diperintah guru dan tidak timbul inisiatif dari dalam dirinya. Ini menjadi PR kita bersama juga ketika Kurikulum Merdeka dijadikan Kurikulum Nasional.Â
Guru penggerak pun tidak luput dari  respon pro-kontra  juga yang menjadi salah satu program unggulan dari Kurikulum Merdeka ini. Dengan dikabulkannya gugatan PGRI mengenai dihapuskannya batasan umur maksimal, ini menjadi salah satu kabar gembira bagi guru diatas umur 50 tahun yang ingin menjadi kepala sekolah. Namun, pada kenyataannya banyak oknum guru penggerak yang mengatasnamakan program ini rela meninggalkan kelasnya untuk mengerjakan tugas dari guru penggerak.
Padahal inti dari Guru Penggerak adalah melayani peserta didik dengan kesungguhan dan memberikan pembelajaran yang bermakna bukan hanya sekedar formalitas belaka.Â
Pertanyaan pun muncul, apakah guru penggerak yang menjadi program unggulan di kurikulum merdeka ini sudah membuat guru tersebut menjadi guru yang dirindukan peserta didik? apakah guru tersebut sudah menjadi inspiratif bagi sekelilingnya ? apakah guru tersebut sudah menjadi teladan yang baik bagi semuanya ? Apakah guru pengerak tersebut menjadi obat bagi sekolahan ataukah hanya menjadi bagian yang menghambat ? Mari pembaca kita diskusikan jawaban dari pertanyaan ini melalui tulisan.
Oleh karena itu penulis menyarankan agar kurikulum merdeka yang akan menjadi kurikulum nasional ini dikaji secara lebih dalam dan holistik baik dari aspek teori atau filosofinya maupun dari praksis dilapangan.Â
Jangan sampai hanya karena formalitas belaka untuk menghabiskan anggaran yang triliyunan tersebut mengorbankan peserta didik yang digadang-gadang akan menjadi generasi emas namun akhirnya menjadi generasi lemas.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H