Mohon tunggu...
Edmu YulfizarAbdan
Edmu YulfizarAbdan Mohon Tunggu... Guru - Guru Pemula

Penulis Buku Pengabdian Literasi Sang Guru (2023) | Menggapai Cahaya Ramadhan dengan Tadarus Pendidikan (2023) | Guru Pembelajaran Sepanjang hayat (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023) | Antologi Dibalik Ruang Kelas (2024) | Guru SMA |

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Melihat Jakarta Lebih Dekat bersama Istri!

21 Februari 2024   06:44 Diperbarui: 21 Februari 2024   06:50 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis teringat perkataan seorang guru bahwa melakukan perjalanan adalah salah satu langkah untuk mendapatkan kebijaksanaan. Dahulu penulis masih bingung dengan perkataan tersebut, tetapi setelah melakukan perjalanan penulis baru sadar tentang maknanya. Mengapa seseorang dengan modal melakukan perjalanan bisa mendapatkan kebijaksanaan? Karena didalam suatu perjalanan pasti menemui banyak orang dengan beragam kisah, karakter, dan  kebiasaan. Itu lah yang membuat seorang musafir/ traveller bisa mendapatkan kebijaksanaan. Salah satu bentuk kebijaksanaannya adalah menerima dengan lapang dada kebiasaan suatu daerah tertentu yang dikunjungi. 

Penulis sekarang sedang di Jakarta, dengan karakter orang Jakarta yang lugas, spontan, dan agak sedikit tinggi nada bicaranya (Penulis Temui) bagi yang pertama kali pastinya agak kaget dengan kebiasaan tersebut namun ini adalah salah satu kekayaan budaya di Indonesia. Selama perjalanan penulis menemui 3 sopir yang berbeda-beda karakter, ada yang hanya bicara secukupnya, ada yang bicara jika ditanya, dan ada yang selalu berbicara selama kita didalam mobil tersebut hingga sampai di tempat tujuan. 

Sore kemarin penulis baru sampai di Jakarta melihat aktivitas pada waktu tersebut, Kota ini begitu macet.  Dibandingkan dengan kota penulis, Banjarmasin( tempat kerja), Samarinda ( tempat lahir) dari segi mobilitas tentunya Jakarta sangat tinggi. Mungkin hal ini yang perlu diperhatikan oleh pemangku kebijakan nanti ketika IKN (Ibu Kota Nusantara) sudah berjalan, agar bisa mengantisipasi hal kemacetan ini. Karena bagi sebagian orang,  macet adalah suatu hal yang menjengkelkan.

Tentu dengan mobilitas yang sangat tinggi ini membuat sisi ekonomi di Jakarta berlimpah namun disatu sisi  peran orangtua dalam membina anaknya menjadi kurang. Hal ini terbukti ketika penulis baru sampai hotel dan melihat berita TV bahwa terjadi perundungan (bullying) oleh anak SMA Internasional Binus Tangerang. Berita ini sedang hangat di Jakarta. Motifnya adalah siswa tersebut dipukuli oleh belasan seniornya hingga masuk rumah sakit, lebih mengerikan lagi korban disundut rokok.  Bahkan viral videonya, seorang junior ingin masuk gengnya tersebut namun oleh seniornya di ospek dengan dipukul bagian perutnya dengan tangan bahkan balok kayu. Ini sungguh hal yang menyedihkan. 

Terkait hal ini penulis tadi malam berbincang dengan sopir, beliau mengatakan " di wilayah ini  memang biasa bullying begitu bahkan geng-geng sudah biasa disini mas, dari saya sekolah dulu saya sudah merasakan dipalak, dihina. Tapi kalau sekarang saya diperlakukan begitu saya melawan, kalau dulu hanya bisa nangis saja mas, Di jakarta harus kuat mas".  Ditulisan berikutnya nanti kita akan kupas mengenai perkara bullying lebih dalam.

Penulis bersama istri juga menuju monas dengan naik bemo sebesar Rp. 30.000 dari hotel di wilayah jalan hayam wuruk. Namun karena kita sampai jam 16.00 WIB ,tempat tersebut tutup, akhirnya kita hanya berjalan disekitar pinggir monas dan kebetulan ada gedung istana negara, penulis pun mengambil momen tersebut walau dari seberang jalan.

Menyusuri pinggir Monas kita pun menuju tempat penyebrangan disebrang Kantor Kementrian Dalam Negeri. Di Jakarta jika ingin menyebrang ada tombol untuk membuat mobil dan motor berhenti dengan sekitar 30 detik. Hal ini sungguh bagus ,karena membuat penjalan kaki aman ketika hendak menyebrang. Setelah itu kita berjalan menuju Masjid Istiqlal, ditengah perjalanan kami singgah di Gelato. Gelato adalah tempat orang yang menjual ice cream, kisaran harganya dari Rp.50 ribuan tergantung variasi variannya.

Sampailah kita di sekitar Masjid Istiqlal, banyak yang berjual aneka oleh-oleh dan kuliner. Penulis pun memilih makan tepat di antara Gereja Katderal dan Masjid Istiqlal. Sungguh pemandangan yang indah ketika melihat dua bangunan ini menjadi simbol persatuan dan keharmonisan walaupun didalam perbedaan. Penulis pun membeli soto dan air mineral dengan merogoh kocek Rp. 25.000. Setelah perut terisi bersama istri, penulis mengabadikan momen di Masjid Istiqlal. Terlihat banyak orang luar negeri yang non muslim juga berada disekitar masjid Istiqlal dengan indikasi ketika keluar dari wilayah masjid mereka melepas kerundungnya.

Kamera Pribadi
Kamera Pribadi
Malam harinya kami berziarah menuju Kubah Habib Husein bin Abu Bakar Alydrus (Keramat Luar Batang).  Melalui jalan kecil akhirnya sampai ditempat tersebut. Bagi kami ketika disuatu daerah harus ada melakukan kegiatan ziarah dalam rangka mengenal tokoh ulama tersebut beserta mengingat jasa-jasanya bagi Indonesia. Tentunya disamping itu harapan berupa keberkahan pun juga menjadi alasan, karena berkah adalah bertambah kebaikan. Semoga dengan melakukan hal tersebut dapat mencontoh kebaikan apa yang dilakukan oleh ulama tersebut hingga bisa juga dapat dicintai oleh Allah SWT.

Namun, saran untuk pengelola makam atau pemerintah agar bisa menertibkan oknum yang mencoreng keindahan wisata tersebut. Apa hal yang mencoreng keindahan tersebut ? Banyaknya oknum anak-anak dan orang dewasa  yang meminta uang kepada pengunjung bahkan terkesan memalak atau memaksa pengunjung. Apalagi ketika di parkir penulis diminta membayar sebanyak Rp.15.000. Bukan masalah besar atau kecilnya nominal tersebut tetapi kenyamanan menjadi hal yang sangat penting untuk lebih diperhatikan. Bahkan jika pengunjung nyaman 50 ribu pun diberikan dengan landasan keikhlasan. Semoga saran ini dapat membuat pelayananan disekitar makam dapat lebih baik lagi. Bukan hanya makam di Jakarta saja tetapi dimanapun. Perlu regulasi yang dibuat agar semua orang nyaman.

 

Kamera Pribadi
Kamera Pribadi

Jakarta mengajariku tentang toleransi, Jakarta mengajariku tentang kesabaran, Jakarta mengajariku akan pentingnya mengenal antara satu budaya dengan budaya lainnya agar tidak terjadi salah paham yang berujung tidak ada rasa memiliki sebagai saudara satu bangsa yakni bangsa Indonesia. Terimakasih Jakarta !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun