Mohon tunggu...
Edi Winarno
Edi Winarno Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Selain di kompasiana ini, saya juga mengelola blog di www.ediwinarno.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bapak Tua Penjual Bendera

22 Agustus 2015   14:16 Diperbarui: 22 Agustus 2015   14:16 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Aha, sudah April sekarang. Penjual bendera itu agak girang. Beberapa bulan lagi pasti dagangannya laku. Bukan untuk dikibarkan. Tetapi untuk dibakar. Hei, merah putih dibakar?!

Oh, tentu tidak.Si bapak tua penjual bendera itu tentu takkan menjualnya kalau sang merah putih dibeli untuk dibakar. Seberapa mahalnya pun orang akan membelinya, ia tak akan melepasnya.

Tetapi ingat; beberapa bulan setelah April ada negara adi kuasa yang berulang tahun. Nah, saat itu ia akan menambah koleksi dagangannya. Bendera penuh bintang itu akan laku keras. Ia tak berkibar, tapi berkobar karena dibakar. Menghiasi demo-demo orang kesurupan.

“Itu tak mulia, bapak tua,” si tukang tambal ban berkata.

Ha, orang curang bicara tentang kemuliaan?

“Itu akan membuat orang lain terluka. Harga diri bangsanya diremehkan.”

“Lalu, orang-orang tak membeli daganganku, bendera kebangsaannya sendiri, dan malah menganggapku gila menggelar dagangan terus di luar Agustus. Apakah itu tak meremehkan bangsanya.”

Si tukang tambal ban terdiam. Ia merasa kalah cerdas, tentu saja. Tetapi diam-diam bapak tua penjual bendera itu menyesal; tak perlu sebenarnya ia memaksa orang bersikap seperti dirinya. Ia siapa? Ia punya kuasa apa? Ketika banyak orang besar tak mengajarinya menghargai bangsanya sendiri, ia harusnya belajar pada yang lain. Kepada orang kecil saja, mungkin. Dan justru ia temukan itu, rasa cinta itu, dalam dagangannya sendiri. Bendera-bendera aneka ukuran. Yang ia cantolkan pada seutas tampar kecil yang ia tambatkan pada tubuh pohon sono kembang.

Dagangannya berkibar oleh angin kemarau yang kerasan berlama-lama tinggal. Angkuh menolak musim penghujan datang. Tepat jam dua belas siang, seperti biasa, ia mengambil sikap sempurna. Berdiri tegap. Memberi hormat kepada sang saka merah putih.

Tujuh belas hari selepas tanggal tujuh belas, delapan bulan setelah bulan delapan, ia masih saja sendiri. Istrinya yang lari berkibar ditiup angin, gagal memberinya anak. Padahal, ia menginginkan punya banyak anak. Sungguh, kalau ia punya banyak anak, ia akan pasang di dada mereka bendera merah-putih satu per satu. Bendera itu kecil, dan disematkannya ke dalam jantung anak-anaknya. Agar ia berkibar saban waktu, tak dibatasi waktu. *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun