Sebuah kesetiaan, pada apa pun itu, adalah juga mengherankan awalnya. Suami yang sangat menyetiai istrinya, dan tak pernah terbersit untuk merasakan ‘menu lain’ adalah juga mengherankan di zaman ini. Ini, sungguh. Karena, penjual bendera iru pun adalah seorang laki-laki. Tulen. Maka sedikit-banyak ia tahu hati laki-laki. Tetapi, sebentuk kesetiaan, sebetapa pun ia dituangkan sepenuhnya kepada pasangannya, ia pernah sangat terluka karenanya. Istrinya, yang entah sekarang berada dimana, menumpahkan balasan kesetiaannya justru tidak kepadanya. Istri keparatnya itu menumpah-ruahkan kesetiaanya malah kepada sopirnya. Gila!
Oo, kalau begitu penjual bendera itu pernah kaya? Pernah punya sopir? Pernah punya istri?
Anda tahu, ia takkan menceritakan asal muasalnya, pun cerita masa lalunya kepada siapa pun. Ia lebih senang bercerita tentang bendera. Kapan pun. Tak peduli bulan dan tanggal berapa. Ia begitu menikmati dagangannya berkibar-kibar ditiup angin. Menatapnya dengan pandangan hormat. Lalu berdiri tegap. Sikap sempurna. Mengangakat tangan dan meletakkan jari tangan kanan yang dirapatkan menempel di alis kanannya. Saat-saat itu, sungguh, ia laksana patung pejuang yang gagah tapi tak dikenal. Yang karena patung, ia selalu begitu di sebuah taman di bawah jembatan layang tengah kota.
Sebagai pedagang ia sungguhlah jujur. Atau memang tak mampu ia menciptakan ranjau atau semacam perangkap agar dagangannya laku. Agar bendera itu kibarnya tidak dinikmatinya seorang diri saja. Ya, ia selalu ingin setiap orang mengibarkan bendera kebangsaan ini saban waktu. Sebagai tanda nasionalisme. Menghormati para pejuang yang rela bertaruh nyawa deminya. Demi merah putih. Tetapi kini, hitunglah kalau kau mau, berapa tetanggamu yang mengibarkan bendera. Jangankan membeli yang baru, mengibarkan yang telah dipunyainya, yang itu dibeli sehari sebelum tanggal tujuh belas delapan tahun yang lalu. Hei, sungguh, itu bukan bendera pusaka. Kibarkanlah! Tak akan robek ia diterbangkan angin. Percayalah.
Percayai saja ucapannya. Atau setidaknya dengarkan saja, karena itu gratis. Lebih-lebih itu tak melukainya. Oh, tidak. Ia tak akan terluka lagi kini. Oleh apa pun. Ia kebal sekarang. Kalau tidak kebal, mana mungkin ia tahan berjualan bendera tanpa pernah ada yang membelinya dalam waktu yang lama.
Oya, sepertinya ia memang tak mampu membuat jebakan agar orang-orang pada membeli bendera. Ia sering melihat tukang tambal ban di sebelahnya itu menabur paku-paku kecil di sekitar tempat mangkalnya. Ia pernah memergoki tukang tambal ban itu membeli segenggam paku kecil kemudian membakarnya, agar paku itu kelihatan sebagai barang lama. Lalu menyebarnya dari perempatan sana sampai sini. Ia taburkan begitu saja, seperti orang-orang membuang kembang di perempatan jalan kala sore pada hari Kamis Kliwon. Dan hasilnya?
Belum setengah hari ia sudah memanen hasilnya. Tujuh orang sudah mendorong motornya, karena ban kempes, menuju tempat mangkalnya. Si tukang tambal ban itu tersenyum.Tersenyum pula penjual bendera itu melihatnya. Dua senyum yang punya makna berbeda.
Tetapi, kalau kau cerdas, coba kasih tahu kepadanya cara agar orang-orang membeli bendera dagangannya. Sampaikan usulmu itu padanya, agar ia tidak menikmati setiap kibaran merah putih itu seorang diri.
“Yang kulakukan ini tidak ada apa-apanya dibanding para pejuang,” katanya suatu ketika.
Benar, yang kau lakukan pun lebih tak ada apa-apanya dibanding penjual bendera itu. Kau harus sadari itu.
“Dia saja yang tak pintar. Jualan bendera kok tidak lihat waktu. Sekarang sudah tanggal empat bulan empat, Bung.”