RAMBUTNYA sudah berseragam putih.Tak sehelaipun yang mbalela ngeyel pakai hitam.Kompak.Sekompak giginya yang mulai undur diri dari gusi satu per satu.Walau begitu,ingatannya tak kendur mundur."Tahun selikur,"begitu beliau mengingat kelahirannya.Tak terlulis di akte,mungkin.Tapi saya memercainya saja.Sepercaya saya atas segala cerita di masa mudanya dulu. Tentang keahliannya berpencak silat.Tentang peperangannya di masa Belanda sampai bergabung sebagai tentara sukarela (begitu selalu disebutnya) di jaman Jepang.Beliau,yang sekalipun sudah sepuh,tak bersemangat rapuh.Ada saja yang harus menjadi kesibukannya.Apapun itu. Anak-anak saya dan anak-anak kakak-adik saya memanggilnya mbah Kung. Suaranya khas.Logatnya khas.Bahkan bunyi sendal jepitnya ketika berjalan,juga khas.Sangat hapal betul telinga ini mengenalnya.Semengenal kami atas suara dehemnya. "Jangan tidur dulu,tunggu brekat datang,"pesannya selalu setiap berangkat kondangan. Kami,anak-anaknya,taat setaat-taatnya.Karena,kapan lagi bisa makan enak kalau gak ada kondangan begini.Nasi gurih,sesuwir daging ayam.Sejumput mihun,sepotong tahu atau tempe.Duh,sungguh itu sebagai hidangan agung,disaat saban hari bernasi jagung bersayur kelor bersambal terasi.Pasangan menu abadi kami. Itulah mengapa rasa memang tidak pernah bohong.Maksudnya,sekalipun suatu pagi ibu menyulut kayu di tungku agar dapur terlihat berasap,agar sama seperti dapur-dapur para tetangga,tetaplah perut ini berkonser keroncong.Karena ibu sedang berbohong.Lebih tepatnya lagi,ibu sedang bersandiwara.Karena ibu hanya bikin asap.Bukan bikin nasi.Karena hari itu tak ada sebutir beraspun di rumah kami. Sudahlah,itu masa lalu.Lalu sekali.Tapi selalu saja,kalau sampeyan perhatikan,saya sering menuliskan cerita lalu.Sekarang ingin saya sudahi.Stop.Sekarang saya hendak menulis tentang simbah Kakungnya anak-anak saya. Mbah Kung yang selalu suka memakai baju batik lengan panjang bersaku tiga.Dua dibawah (kanan-kiri) satu lagi di dada.Isinya;saku atas adalah kamar 'pak-lopak';Tempat tembakau lengkap dengan semua pemain pendukungnya.Ada cengkeh cap Keris atau cap Dokar,ada kertas rokok cap Pagupon.Satu lagi alat berbahan bakar bensin;korek api.Rokok khas itu,orang kampung kami menyebutnya tingwe.Tentu itu bukan bahasa Mandarin.Ia hanyalah berarti ngelinting dhewe.(rokok lintingan sendiri) Untuk saku bawah,isinya juga amat penting bagi mbah Kung.Satu minyak angin,satunya lagi obat tetes mata.Dan perjalanan kemanapun, perbekalan itu tak komplit kalau satu saja yang tak terbawa. Sepulang dari menengok saya di Surabaya,saya punya tugas mulia.Mengantar mbah Kung pulang kampung setelah empat hari lalu saya juga yang menjemputnya.Karena,tak mungkinlah saya tegakan serenta itu bolak-balik ke Jember-Surabaya seorang diri. Dari Rungkut,saya bawa mbah Kung ke terminal Joyoboyo.Dan di dalam bis kota tua yang masih saja dipekerjakan paksa,ketika saya berkonsentrasi mengumpulkan segenap indera ke dompet saya (karena Joyoboyo saya yakini sebagai sarang pencopet),mbah Kung justru telah menangkap tangan copet yang nyelonong merogoh saku atas. "Jangan begitu kamu,"kata mbah Kung dengan logat Madura yang kental."Seenaknya sendiri merogoh saku orang.Gak sopan tahu!" Ya,mbah Kung hanya menilai dari segi kesopanan saja.Karena,toh si copet telah salah sasaran.Ia tentu tidak tahu,saku atas hanyalah tempat penginapan perlengkapan rokok tingwe mbah Kung. Ah,suatu hari mungkin saya perlu belajar kecepatan tangan mbah Kung yang terbukti bisa mengalahkan kecepatan tangan si copet. Atau itu hanya sekedar beruntung saja.Karena dilain waktu mbah Kung pernah tidak untung.Itu menyangkut isi dua saku bawah baju batik kesayangannya. Mbah Kung tetaplah suka kemana-mana.Walau sepuh,beliau sangat bersemangat menyertai salah satu cucunya yang menikah di Kedewan Bojonegoro sana.Jember-Bojonegoro tentu bukanlah jarak tempuh yang pendek.Apalagi untuk usia mbah Kung yang sudah sembilah puluh.Byuh! Mbah Kung di depan mushola yang terletak di depan rumah kami di sebuah desa di Jember sana. Asal ketiga bekal itu lengkap,tak perlu ada yang dikhawatirkan tentang mbah Kung.Ada 'pak-lopak',ada minyak angin cap 1001 yang jempolan (begitu bunyi jingle iklannya),ada obat tetes mata.Sip.Perjalan melambung dari Jawa Timur,ngincipi Cepu Jateng lalu menusuk masuk ke teritorial Jawa Timur lagi.Uh,Kedewan.Sebuah wilayah kecamatan yang berhutan-hutan di Bojonegoro.Sebuah nama kecamatan yang sempat kondang atas 'prestasi' UAN tempo hari.Bila di Madura ada joki kerapan sapi,di Nusa Tenggara ada joki balapan kuda,di Kedewan ini ada joki UAN.Coreng kedua untuk Bojonegoro.Setelah sebelumnya ada joki napi. Setelah menembus hutan di tengah malam,rombongan merapat tepat di pusar malam.Sebuah kedatangan besan yang kurang sopan kalau langsung menuju ke sasaran.Makanya kami transit di sebuah masjid di desa yang sama.Tapi tamu adalah raja.Kami dijemput paksa oleh perwakilan besan.Diinapkan di sebuah rumah berjarak lima rumah dari kediaman si shohibul bait.Tikar dihampar.Hidangan digelar.Akhirnya perih perut telah terbayar oleh jamuan makan di tengah malam  di sebuah kampung ditengah hutan. Penat lutut diperjalanan,saya selonjorkan.Kantuk menusuk.Serombongan sibuk menuju tempat melampiaskan  kantuk.Mbah Kung sibuk merogoh saku bawah.Perih mata karena terterpa angin dari jendela bus mini non AC carteran ,membuat mbah Kung ingin menetesinya dengan obat mata yang beliau bawa.Dan... "Aduh panas,panas.Perihhh..."erang mbah Kung mengagetkan semua yang nyaris terbang ke alam mimpi. Rupanya mbah Kung keliru menetesi matanya dengan minyak angin cap 1001 yang jempolan.Salah merogoh saku bawah baju batiknya.Sebentuk kesalahan yang sama sekali tak jempolan.Ah,jangan-jangan jurus kung fu tangan mbah Kung hanya untuk pencopet,bukan untuk membedakan obat tetes mata dan minyak angin. Semalaman kami mengkhawatirkan mata mbah Kung.Karena semalaman mbah Kung sambat perih.Pagi menjelang,kata mbah Kung,perih sudah berkurang.Agak siang sudah terasa lebih padhang.Kemudian,"Iya,lebih padhang sekarang.Mata terasa segar.Minyak angin ternyata bisa bikin mata jadi terang."kata mbah Kung. Dari nada bicaranya saya tahu itu tidak guyon.Itu sungguh-sungguh.Tapi kami sungguh tidak ingin mencobanya.Tidak pula mengijinkan mbah Kung menetesi matanya dengan minyak angin lagi.Karena itu bukan ide yang jempolan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H